Bukankah telah ditundukannya fajar agar kau dapat berhenti sejenak menghilangkan lelah dari mengejar waktu. Maka bermunajatlah kepada-Nya.
Senja itu, kusaksikan langit begitu ramai dengan warna jingga. Kerumunan itu bak kesaksian warga langit padanya yang telah menculik siang. Aku masih menunggu teman-temanku yang berjanji datang pada sore itu. Sambil menatap senja yang sedang dihakimi masa, aku kembali pada kebiasaanku yang senang menunggu sambil membaca buku. Jika kuhitung-hitung, buku-buku yang telah kubaca itu semuanya adalah hasil dari menunggu. Aku kerap membaca buku kemana-mana karena aku paling tidak suka menunggu sia-sia.
Sudah pukul 17.30 WIB. Aku tentu tak ingin melanjutkan membaca lagi mengingat rasa sayangku pada mata yang sudah minus. Kututup benda yang berhalaman lebih dari lima ratus itu, sebuah karya dari sastrawan ternama di Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bumi Manusia. Aku menuju kamarku mengambil telepon gengga yang tertinggalkan. Benda itu sengaja kusingkirkan karena bisa menjelma jadi penggoda paling dahsyat setelah cinta kepada seorang laki-laki.
Ada BBM masuk.
"Bagaimana menulis kalimat efektif untuk membuat kesimpulan tugas akhirmu?" itu pesan dari Bang Dhamar.
Aku segera menjawab pertanyaannya-tak ingin mencoreng jurusanku sendiri.
"Kau lagi apa?" tanyanya. Barangkali saja itu adalah pertanyaan basa-basi yang membuatku bisa terhindar dari prasangka bahwa ia hanya mendatangiku di saat butuh saja.
"Aku sedang menunggu teman-temanku yang janji akan datang."
"Ooo... ada acara apa?"
"Perayaan ulang tahun kepengurusan yang sudah berlangsung satu tahun."
"Kapan kau mulai praktek lapangan?"
Ia melanjutkan pertanyaannya seperti seseorang yang begitu ingin tahu tentang kesibukanku.
"Tiga hari lagi. Rasanya aku tak sabar lagi. Bagaimana dengan skripsimu?"
Aku mencoba mengajukan pertanyaan kepadanya untuk menghindari prasangka yang barangkali mengatai aku bukanlah seseorang yang asik diajak ngobrol sebab hanya menjawab apa yang ditanya tanpa menanyakan balik.
Ia pun menjawab pertanyaanku. Maka mulailah cerita yang cukup panjang. Dari segi penceritaannya, kutangkap makna bahwa ia begitu tidak bersemangat menyelesaikan program untuk tugas akhir. Ia juga menceritakan seputar bisnis yang sudah lama ia jalankan yang mulai menurun sebab sudah ada pesaing bisnis yang mengambil pelanggan. Ia juga menceritakan tentang job yang diajak oleh temannya. Membuatkan program dengan pendapatan yang perminggunya bisa mencapai tiga juta rupiah.
"Wah... bagus itu. Kalah juga gaji PNS olehmu kalau mendapatkan yang sebanyak itu."
Aku menanggapi dengan bahagia. Aku merasakan bahagia itu sedang bergantung kepada harapannya yang akan segera jadi nyata.
"Semoga sukses selalu," kataku kepadanya.
"Iya. Aamiin. Sukses juga buatmu, Dek."
Kupikir kata-kata yang menunjukkan saling mendoakan itu adalah cara kami untuk mengakhiri percakapan hari itu. Namun ternyata tidak. Ia kembali menimpaliku sebuah pertanyaan.
"Tahun ini mau dihadiahkan kado apa?"
Pipiku memerah seketika. Aku tak lagi mencintainya namun aku masih sangat sadar bahwa diriku masih seorang penyayang yang menyayanginya. Aku tak ingin mencari tahu rasaku sebab telah kukatakan kepadanya bahwa aku tak ingin jatuh cinta.
"Hm... masih ingat saja. Bukankah kau yang lebih dulu ulang tahun dibandingkan aku. Harusnya aku yang menanyakan itu."
"Hahaa. Apa ya. Katakan dulu kau ingin apa," desaknya.
"Apakah kau sudah pandai menggabungkan foto yang dapat membentuk satu wajahku di sana?"
"Sudah. Tetapi memakan waktu cukup lama," jawabnya.
Sebelum aku sempat membalas katanya, ia kembali menimpali.
"Kau ingin dibuatkan itu untuk menjadi kado?"
Dari dulu ia memang orang yang selalu peka. Ia menangkap semua makna tersirat yang selalu kuberikan kepadanya.
"Iya, kalau kau bersedia," jawabku singkat.
"Kalau nanti ada waktu akan kubuatkan," katanya.
Aku tak ingin mengharapkan itu. Aku tahu ia begitu sibuk menyelesaikan tugas akhir beserta dengan program yang tak kunjung selesai. Beban yang begitu berat menurutku. Waktu begitu berharga dan sayang jika sekadar dihabiskan untuk membuat sesuatu untukku. Kutanggapi janji yang tidak pasti itu dengan mengatakan iya dan aku kembali menanyakan kepadanya perihal kado yang ia inginkan.
"Aku belum memiliki ide untuk menginginkan suatu kado seperti apa."
"Pikirkan saja dulu, kalau sudah ketemu kasih tahu aku."
Tuhan, di antara senja yang akan dikurung malam. Aku bermunajat kepada-Mu tentang takdir yang tak ingin menjadi sesuatu yang berselisih dengan hati dan apa yang telah kupelajari. Tentang takdir cinta yang berkali-kali telah menghanyutkanku. Sebab makhluk yang tak sabar ini telah mencuri waktu hingga tak mampu bersikap adil pada dirinya sendiri. Aku telah jatuh kepada orang yang salah berkali-kali. Kali ini aku tak ingin jatuh cinta [lagi] walau aku tak tahu bahwa dia adalah sosok yang benar atau salah untukku.
KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Teen Fiction"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."