10 November 2013

6 1 0
                                        

Aku harus bersembunyi

Meski dalam perinduan malam

Di tengah lautan duka

Bukan mengenang masa dalam dunia khayangan dahulu

Tak jua manis terhisab

Bukan juga takut kembali

Tapi celah sinar telah kutemukan menerangi

Akhir kisah dalam mimpi kusampaikan

dalam rundungan kalbuku

Kau berkutik dalam keriuhan malam

Bersemai angin yang membendung badai yang sulit pulih

Tak mampu lagi bersenandung

Karena telah jera dalam persakitan ini

Bukan sebilah pisau emas, namun sebilah pisau karat

Yang menyayat jiwaku sampai ke dalam luka

yang telah bertubi-tubi terluka

Ia tak mampu menjerit

Ku tahu kau takkan menangis, sayang

Tak jua hatimu

Namun pikiranmu

Surat ini kulampirkan padamu.

Teruntukmu, Sipembon yang mungkin takkan ada lagi.

Mungkin perkenalan dan proses saling memahami antara aku dan Bang Dhamar tidaklah melebihi perkenalan dirinya dengan kekasihnya. Sudah berulang kali pergi-kembali pun hilang-bertemu atau berganti. Begitu banyak hal yang terkesan indah, menyenangkan, sedih, menyakitkan, dan kecewa atau pun sederet kebohongan.

Mulut yang menjadi penghantar ucapan yang tak sama dengan hati adalah kemunafikan yang berusaha mendapatkan pengertian "menyembunyikan".

Hari ini, malam ini, ia menuangkan segelas perkataan kecewa. Ia memaksa telingaku meneguknya. Mengatakan bahwa aku adalah wanita yang sama seperti wanita lain.

"Kupikir kau adalah wanita yang berbeda. Tapi ternyata sama saja. Suka menyakiti."

Entah gelombang apa yang telah menggulungkannya untuk menghubungiku. Apa lelaki memang sulit dipahami?

Berbagai kata-kata ungkapan kekecewaan ia lontarkan kepadaku malam ini. Aku sejauh ini telah bersembunyi hingga sengaja membuatnya terluka. Tentu saja aku tak ingin disamakan.

"Kau seperti tokoh Hayati pada novel yang kau berikan kepadaku dulu."

Aku tak membalas ucapannya meski di dalam hatiku menolak untuk disamakan dengan tokoh wanita dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang pernahku ceritakan kepadanya. Bukan dirinya yang mengalami nasib sama seperti Zainuddin itu. Bukan aku yang mendorongnya ke dalam lautan cinta, dan kemudian pergi setelah berhasil membuat dirinya berenang di dalamnya, lantas membiarkan ia karam sendiri. Bukan, bukanlah diriku yang mendorongnya. Kisah kita tak sama dengan novel itu. Jangan pernah samakan lagi.

Aku masih diam, begitu Bang Dhamar—mungkin saja ia telah merasakan ada sesuatu yang salah dari ucapannya.

"Mengapa dirimu diam, Dek?"

"Aku tidak mengerti dan tidak tahu harus menjawabmu dengan apa."

"Kau kehilangan kata-kata?"

"Iya."

"Maafkan aku."

Kau menutup telepon. Malam itu telah berhasil membuat dirinya asing di mataku.

BONSAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang