Sore ini, seorang gadis manis cantik yang kuanggap begitu baik telah sampai ke Padang. Katanya ia rindu ingin bertemu denganku berbagi cerita. Cerita tentang pekerjaannya di Kepulauan Riau yang menjadi Bidan. Cerita tentang bagaimana belajar untuk betah dalam keadaan yang seperti itu. Keadaan bagaimana yang awalnya kau paksaan sebab mencari kerja itu sulit katanya.
"Dimana?" katamu sekitar pukul 14.15 WIB. Aku sedang berada di ruangan kelas. Kebetulan saja saat itu aku sedang mengikuti rapat redaksi. Langsung kukatakan kepada pimpinan redaksi untuk menyudahi rapat dengan segera.
"Selesai. Semoga tabloid kita sukses dan menjadi terbaik."
Segera kulangkahkan kaki untuk menghampirinya. Ia telah menungguku di mesjid kampus. Kulihat ia membawa suatu bungkusan berwarna hijau bergambar boneka. Bungkusan itu berbentu persegi panjang. Di bagian kanan atas ada tulisan nama dan alamatku. Ia menuliskannya di sana. Ia memberikan itu kepadaku.
"Apa ini, Kak?" tanyaku.
"Itu hadiah dari kakak untuk ulang tahunmu."
"Itu kakak sendiri yang buat lho. Kalau jelek bilang bagus saja biar kakak senang ya." Sambungnya sambil tersenyum.
"Ah... Kakak ini yang benar saja. Mana ada yang tidak bagus dari kakak," jawabku menggombalinya.
"Hahaha, gawat. Dasar anak sastra. Pandai sekali menggombal." Ia tertawa dengan anggun. Seperti biasa, aku memerhatikannya seperti seorang lelaki yang sedang terpikat. Tentu saja aku masih normal. Ada hal lain yang kulihat dari wanita lembut ini. Begitu baik. Ia adalah kakak kedua setelah kakak kandungku. Aku merasakan kasih sayang yang diberikannya kepadaku. Dan sekarang aku mulai merindukannya saat menuliskan ini.
Riyani. Begitulah nama wanita yang kukagumi sebagai seorang kakak ini. Kau mungkin takkan pernah mendapati kenyataan bahwa ada seorang wanita yang begitu rela kekasihnya memiliki adik yang bukan adik kandung-yang berarti juga akan berpeluang besar bisa merebut kekasih-dan juga menganggap adik itu sebagai adiknya sendiri. Kak Yani adalah wanita yang kuceritakan di awal. Kekasih Sipembon sewaktu dulu. Dan itulah yang terjadi pada kisahku yang kuanggap penuh hikmah dan perasaan bersalah.
Siang itu, kami memutuskan pergi ke mall terdekat untuk bisa saling membagi cerita. Terkadang Kak Yani selalu menanyakan Sipembon kepadaku. Terkadang ia juga menanyakan bagaimana perasaanku sekarang dengan beberapa lelaki yang pernah mendekatiku. Ya, itu berarti Kak Yani serba tahu tentang bagaimana aku. Memang, sejak kejadian yang tidak baik itu, sejak kejadian salah menaruh rasa dan berakhir pada kekecewaan, Kak Yani yang selalu mengingatkan aku untuk pandai-pandai menjaga hati.
Bukan hanya itu, kami juga telah sepakat saling mengingatkan. Terkadang, ada-ada saja yang menganggu perasaan hati atau menggoyahkan tekad untuk tidak berpacaran lagi. Saat-saat seperti itulah kami saling menghubungi satu sama lain. Bahkan, barangkali mungkin kau harus tahu Sipembon. Setiap kami bertemu, barangkali topik yang akan menjadi pembahasan kami selain karir, masa depan, dan perbaikan kualitas diri, kami juga membahas tentangmu. Atau, bisa jadi secara tidak sadar atau baru disadari, kaulah yang mempertemukanku dengan wanita sebaik ini. Kau juga yang membuatku menemukan tempat berbagi yang membuatku nyaman. Dan apa kau tahu, saat-saat seperti itulah yang juga menjadi sisi kelemahanku untuk merelakanmu untuknya.
Aku tidak tahu pasti apa kau berjodoh dengannya atau tidak. Aku juga tidak terlalu berharap-meski aku tak bisa menyangkal lagi bahwa juga masih ada sedikit harapan-untuk masih memendam. Kau masih berhutang kembali padaku Kak Yani. Dan aku masih berhutang untuk mengembalikanmu pada Sipembon.
***
Hari itu matahari tepat di atas kepala dan membuat bayangan semakin mengecil. Sepanjang perjalanan menuju toko buku, aku masih bertanya-tanya tentang siapa sosok yang sebenarnya aku inginkan. Walau lisanku sering mengatakan aku tak ingin lagi memikirkan perihal jodoh atau sosok idaman, namun tentu saja aku tak bisa lagi memungkiri usiaku yang wajar saja untuk memikirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Teen Fiction"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."