Tepat di hari ini, ia mengirimkanku pesan dan menelpon. Aku sempat tersontak terkejut dan berusaha bersikap biasa. Ternyata benar, ia hanya menanyakan tentang pendaftaran SBMPTN. Syukurlah aku telah menyurutkan perasaan sebelumnya dan kemudian menjelaskan kepadanya terkait apa yang ditanyakannya. Saat ia telah menangkap penjelasan, tiba-tiba percakapan terhenti, telepon terputus. Tak selang beberapa lama, telepon kembali berdering.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Ada apa, Bang?"
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
Aku cukup membutuhkan waktu untuk berpikir sebelum mengatakan boleh kepadanya. Namun kediamanku justru membuat Bang Dhamar langsung mengenai sasaran.
"Aku ingin menanyakan perasaanmu."
Kata-katanya membuat jantungku berdesir. Seperti ada angin yang menyapu pasir yang berada di pantai dekat lautan perasaanku. Dada ini seperti telah dipenuhi air laut dan seketika sesak. Oh Tuhan, perasaan macam apa ini. Aku segera mengatur napas dan menanggapi pertanyaannya.
"Mengapa kau menanyakan ini? Apakah ini penting?"
"Aku hanya ingin tahu sebab aku mengalami perasaan yang berbeda tentangmu. Aku tak bisa lebih lama menyimpan ini."
"Maksudmu?" Kucoba memastikan lagi. Barangkali saja ia tidak sadar atas pertanyaannya.
"Kau dari dulu sampai sekarang memang tidak peka," ucapmu.
Tanpa sadar ucapannya membuat seseorang yang tidak sedang meminum apa-apa tersedak. Aku tak kuasa menahan tawaku.
"Kau orang yang ke.....," belum usai aku menyelesaikan kalimatku, kau langsung menyanggah perkataanku untuk tidak bercanda. Meski sebenarnya itu adalah caraku menghilangkan rasa gugup, ia mungkin tak pernah tahu.
"Aku menyukaimu."
Ia langsung berterus terang. Mungkin saja ia menganggap aku terlalu lama menangkap tanda-tanda. Aku tak mengerti harus menanggapi atau mengekspresikan diri seperti apa. Harus senang atau biasa saja. Aku benar-benar tahu bahwa ia memiliki kekasih.
"Apa?" Sebuah kata tanya yang sangat lamban keluar dari bibirku. Nada bicaraku sama sekali tidak seperti orang yang terkejut, bahkan lebih pantas dikatakan berpura-pura terkejut. Ternyata setelah mengetahui perasaan orang yang kusayangi ini, justru yang kutemukan adalah perasaan yang biasa. Begitu biasa. Ada sebuah rasa tidak puas yang menyelimuti jiwa.
Sipembon, hari itu kau mengatakan bahwa perasaanmu kepada dua orang perempuan yang dekat denganmu kini berbanding 50:50. Sebenarnya kau ingin melupakanku namun tetap juga tak bisa. Mimpi apa aku semalam? Mengapa begitu mendadak? Di saat aku telah ingin melupakanmu dan menetap untuk setia padanya, kemudian kau hadir membawa pernyataan hatimu. Aku tak bisa berbohong dengan hatiku. Aku juga sama.
Ia mengatakan aku adalah orang yang bodoh. Dulu ia telah memancing perasaanku, tapi aku tak pernah memberi respon yang meyakinkannya untuk tak akan ditolak. Ia takut ditolak. Bang Dhamar mengatakan seperti itu kepadaku dan di saat itu aku berpikir ia lah yang pantas disebut orang bodoh itu. Mengapa begitu cepat menyerah?
Namun, setelah kupikir kembali. Andai waktu itu ia berani mengatakan pun, aku mungkin akan berusaha menolak demi temanku yang menyukainya juga waktu itu. Aku merasa tak perlu melanjutkan untuk menjaga banyak perasaan. Aku sungguh bingung menceritakan ini. Kisah ini terlalu rumit untuk dipikirkan dan tidak penting untuk menambah persoalan. Kenyataan yang memang aneh tetapi begitulah kenyataannya.
Aku ingin sekali, ingin bercengkrama dengannya sedikit lebih lama. Lebih lama dari biasanya untuk saling beradu argumen tentang segala hal yang menjadi topik cerita. Topik yang biasanya tak pernah membahas perasaan dan kini secara tidak langsung seperti telah menjadi menu yang ia suguhkan kepadaku.
Setelah kita sudah sama-sama tahu seperti ini, terungkap semua firasat yang ada pada masing-masing kita benar? (firasat ia memang menyukaiku, firasat bahwa nomor 083182010xxx itu ternyata memang dirinya, firasat perasaan yang hadir semenjak awal keakraban kami. Ternyata semuanya benar. Disaat aku berpikir ia hanya memiliki pacar khayalan, diwaktu itu ia mengakui bahwa saat itu ia memang belum memiki pacar). Mengapa semua ini bisa terjadi? Sulit merasupi logikaku. Tapi apa ini yang dinamakan takdir? Apa langkah yang kita ambil setelah mengetahui ini? Bermacam-macam tanya memenuhi otakku yang tiada sabar.
Ia mengatakan kepadaku bahwa ia tak ingin kehilangan keduanya. Aku dan Kak Yani. Namun apa ia tahu, pernyataannya ini justru kembali meragukanku. Aku ragu untuk mengambil langkah. Aku pun juga takut terhadap karma. Ingin kukatakan kepadanya bahwa ia tak akan selalu bisa memiliki dua orang ini.
Sipembon, kau harus memberikan ketegasan secepatnya. Aku rela melepas pacarku demi dirimu, karena aku juga tak ingin terlalu jauh menyakitinya serta membohongi perasaanku. Dan jika kau tak bisa melepaskan pacarmu demi aku, aku juga rela mengubur rasaku demi bahagiamu dan mencoba mencintai orang yang mencintaiku. Aku tak ingin menyakitinya dan menyakiti pacarmu. Aku juga perempuan yang memiliki rasa sayang yang sama untukmu sepertinya. Namun, jika kau masih saja memikirkan kesenanganmu dengan memiliki keduanya. Apa kau tahu, di saat itu aku mencemaskanmu. Aku cemas kau akan kehilangan kedua-duanya. Atau pun jika kau menunggu takdir merekalah yang memutuskan kita, kemudian kita bersama, kurasa utu bukanlah ending yang kuharapkan dari kisah ini. Karena aku selalu berharap tiada satu pun yang tersakiti, begitu pun dengan penyesalan karena terlalu lama mengambil langkah.
"Orang-orang yang mencintaimu akan rela melepaskan hatinya asalkan kamu bahagia." Kukirimkan pesan kepadanya. Pesan yang maknanya bisa lebih diperluas. Menjadi aku yang mencintaimu dengan damai. Jika kau bahagia bersamanya, aku rela melepasmu dan tersenyum demi bahagiamu.
Aku hanya menunggumu untuk bertanya pada hatimu dan berilah kepastian agar aku dapat melangkah. Melangkah maju bersamamu atau melangkah mundur demi bahagiamu. Melangkah maju atau mundur hanya demi kebahagiaanmu.

KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Teen Fiction"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."