Kausa Waktu

43 2 0
                                    

Kau mungkin pernah bersembunyi dari rasa senang hingga mencoba menundukkan pandangan kepadanya. Kau merasa semesta sedang menggodamu untuk marah. Ia bahkan berani mengatakan betapa cantiknya dirimu saat sedang marah. Aku tak tahu, mungkin banyak lelaki tak pernah menginginkan wanita pemarah, walau sebagian lain masih ada yang menganggap bahwa terdapat kelembutan dalam kemasan wanita justru terlihat saat mereka sedang marah.

Setiap Sabtu, kami selalu pulang lebih awal dari hari lainnya. Ia mengikuti ekstrakurikuler Pasukan Baris Berbaris, sementara aku merupakan anggota Pramuka. Ini bukan pekan untuk mengejar suatu perlombaan hingga hari ini masih seperti Sabtu biasanya. Di depan gerbang sekolah, aku bersama teman-teman membeli beberapa jajanan. Ia rupanya juga berjalan ke arahku. Sebagai junior aku harus menjaga wibawanya hingga terpaksa melupakan gengsi untuk menganggap persepsi tentang wanita tak perlu menyapa lelaki lebih dulu.

"Eh, ada Abang lewat."

"Eh, Ada Adek beli jajanan. Bisa tuh dibagi.haha"

Terjadilah percakapan yang benar-benar klise yang membuatku susah menahan tawa. Aku sudah akrab dengannya, tapi aku tetap harus menyembunyikan kedekatan itu walau hanya sebagai adik-kakak zone. Entah mengapa aku lebih merindukannya ketika jauh dibandingkan pertemuan yang hanya bertanya tentang hal-hal klise. Mari pulang!

***

Sejelek-jelek panggilan, meski bukan namaku setidaknya ia mengucapkan itu untukku. Aku senantiasa menikmatinya. Menikmati semua yang keluar dari bibirnya sekali pun berupa ejekan. Ia mungkin saja tak pernah mengerti bagaimana aku menyembunyikan kesenangan itu dalam gerutu. Pada tahun 13 dalam masa 2000 itu, aku tak tahu ingin memanggilnya apa atau siapa.

Aku telah meminta izin kepadanya bahwa aku ingin membuat cerita tentangnya dengan memberikan nama "Beringin"—sebagaimana ia memanggilku "Bonsai". Namun, ia tak mengizinkan aku memberi nama itu karena menurutnya nama itu sangat jelek. Padahal, menurutku beringin itu sangat pantas untuk mengilustrasikan dirinya. Dirinya yang tinggi besar, langka, dan dapat melindungi di kala panas terik menerpa. Ia juga kuat dan takkan mudah rapuh meski badai melanda. Namun, ada satu hal yang membedakannya dengan pohon beringin. Ia tak seangker pohon beringin sehingga aku selalu nyaman dengannya. Sungguh tak adil jika ia tak mengizinkan aku memanggil 'beringin'. Aku saja bisa menerima panggilan bonsai yang telah diberikannya. Lengkap dengan filosofi 'bonsai' yang sesuai dengan diriku. Kecil, pendek, aneh dan langka. Begitulah yang ia nyatakan kepadaku.

Aku masih bingung memilih panggilan untuknya. Panggilan yang mungkin saja berkesan sebagaimana aku yang sudah terkesan. Sebagaimana aku yang membayangkannya setiap melihat hal-hal yang berhubungan dengan 'bonsai', aku juga berpikir hal yang sama (memberi panggilan kepadamu berupa 'sipembon').

'Sipembon" adalah kependekkan dari "Si Pemanggil Bonsai". Namun ia tak membalas pesanku dan memberi kesempatan untuk sekadar memberi tahu bahwa aku sedang berusaha menjadikan dirinya terkesan di mataku.

03/03/2013

BONSAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang