"Adek. Abang sudah jadi milik Adek sekarang."
"What do you mean?"
"I am seriously. Abang sudah putuskan."
"What?"
Dari perasaan yang pernah ia tuangkan padaku. Begitu banyak perubahan yang terjadi. Aku yang tak lagi ingin menyimpan rasa kepadanya. Tiba-tiba diberikan kabar yang aku sendiri tidak mengerti harus senang atau bagaimana.
Ia memberikan kabar kepadaku melalui telepon. Aku yang saat itu terpaksa berhenti menyiapkan bahan masak karena telepon bordering. Dalam logikaku ingin mengatakan bahwa mungkin ini adalah hasil dari penantian selama ini. Namun di dalam hati merasakan sesuatu yang biasa saja dan belum puas. Apakah perasaan ini seperti sebuah permainan yang tak ingin cepat kuselesaikan.
Aku tahu ada sebuah implikatur dari apa yang ia bicarakan. Sepertinya kata-kata yang telah disampaikannya itu hanya sebuah kata penghibur untuk dirinya yang meyakinkan diri bahwa ia tak ditinggalkan, ia tidak juga dilupakan. Apa aku harus menerima keadaannya yang belum jelas.
"Apa Adek udah bahagia sekarang?"
Aku hanya diam. Ia kembali menanyakan itu sekali lagi. Seketika pertanyaan semacam itu menjadi sulit bagiku. Ia begitu menginginkan jawaban sesegera mungkin.
"Hm... bagaimana ya."
"Kenapa?"
"Kau butuh jawaban cepat?"
"Iya."
"Ingin yang jujur atau yang bohong?"
"Jujurlah. Ayolah, Dek."
"Biasa saja."
Dari dulu aku memang tak bisa membohonginya. Aku tak bisa sengaja menyenangkan hatinya.
"Kenapa tidak senang, Dek? Bukankah ini yang selama ini Adek tunggu?"
Mengapa kata-kata itu tiba-tiba terlontar dari mulutnya. Apa aku sejahat itu sehingga menunggu putusnya sepasang kekasih. Apa aku begitu egois sehingga harus bersenang dengan keadaan seperti itu. Sama sekali tidak. Aku bahkan ingin marah kepadanya. Hanya saja mengingat kondisi yang demikian, aku hanya bisa bertanya balik.
"Apa kau sendiri bahagia?"
"Mengapa kau menanyakan itu kepadaku."
"Iya, kalau kau bahagia maka aku akan turut bahagia."
"Kan aku yang lebih dulu menanyaimu. Mengapa kini kau bertanya balik kepadaku."
"Aku kan sudah menjawab. Sekarang giliranmu."
"Aku tidak tahu."
Ia bahkan sama sekali tidak tahu lantas bertanya dan memaksaku untuk memberikan sebuah kepastian tentang perasaan yang sedang sontak terkejut.
"Kau putus karena aku?"
"Tidak. Karena ada sesuatu."
"Apa?"
"Rahasia."
Seperti biasa. Setiap kali aku bertanya, ia tak pernah memberikan jawaban yang mendekati sebuah kepastian. Bahkan keambiguan itu membuatku seakan berpikiran bahwa hanya dirinyalah yang banyak mengetahui tentangku, dirinyalah yang lebih mengenalku, tapi ia sendiri masih asing.
Hari-hari berlalu. Sejak resmi menjadi seorang jomlo, ia lebih sering menghubungiku. Begitu sering ia mengungkit hal patah hati, tersakiti, dan terkhianati tanpa sadar. Aku tahu perasaannya yang masih belum berpaling. Hanya mencoba bahagia.
Aku tahu keinginannya yang sebenarnya. Terlalu sering aku menanyakan itu kepadanya. Namun kerap kali aku menyadarkan apa yang ia butuhkan, ia selalu memintaku untuk memercayainya. Hal yang membuatku menjadi enggan menjawab kata-kata. Aku tahu ia sedang membohongi diriku. Beberapa hari kami melewati segalanya dengan firasat tak mengenakkan.
***
Tangan malam telah terbuka menyambutku. Aku terjaga dari mimpi. Kulihat jam yang telah menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Aku segera menuju kamar mandi yang tidak terlalu jauh—karena rumahku adalah rumah sederhana. Kuambil wudhu untuk menenangkan perasaan dan sholat tahajud. Ada perasaan yang menganggu, yakni ketika virus merah jambu harus menjadi lawan dalam mencari kekhusyukan. Ada bayangnya yang berlari di kepalaku. Segera kuucap istighfar.
Aku tak pernah mendoakan sebuah nama meski nama itu telah mencuri hati. Usai shalat, aku berdoa agar Tuhan menetralkan hati ini kembali. Jika perasaan ini amat mengangguku, juga menganggu orang lain, dan begitu takut bila saja ada kabar mengecewakan seperti kembalinya dia kepada mantannya. Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih untuk tidak jatuh cinta. Kumohonkan petunjuk pada sang Illahi. Pemilik dan pemberi cinta.
Aku benar-benar ingin lepas dari perasaan ini. Dalam logikaku, aku sadar bahwa ia bukanlah seorang yang aku impikan. Tapi mengapa aku selalu saja nyaman berada didekatnya, dapat tertawa dan selalu tersenyum. Setiap kata-kata yang ia tuai begitu membuatku melayang dan berangan tentangnya. Tentang masa depan dia dan aku. Aku meminta Tuhan untuk memberiku petunjuk melalu mimpi.
Aku pun tertidur dan memimpikan mendatangi sebuah sungai yang ingin aku seberangi. Dipertengahan, aku bertemu dengan seorang lelaki. Aku pun tak berhasil menyeberanginya sampai habis. Kemudian aku terbangun dan segera mencari arti mimpiku. Ternyata arti dari mimpiku adalah kepergianku yang takkan kembali.
Mimpiku itu langsung kuceritakan padanya—tanpa ia tahu bahwa aku telah meminta petunjuk terhadap perasaanku sendiri. Ia pun merasakannya.
"Arti mimpimu adalah sebuah tujuanmu yang tidak tercapai. Itu barangkali aku."
Aku menjadi mengingat sesuatu yang pernah kukatakan kepadanya bahwa ialah salah-satu tujuan dari hidupku. Aku amat memercayai dan berfirasat suatu saat aku dan dia akan berjodoh.
"Apa benar itu?"
"Mungkin saja. Aku bukanlah orang yang baik untukmu."
Aku segera mengalihkan pembahasan. Aku tak ingin hatinya terluka dengan mimpi tersebut.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Novela Juvenil"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."