Goes to Kendari.
Sipembon, berangkat ke Sulawesi meninggalkan kota kediamanku yang berarti juga kediamanmu jua. Hanya sebentar dan kira-kira seminggu. Lagian, dalam kepergianku kali ini aku tak lagi memberikan kabar kepadamu sebab kau telah tahu jua sebelumnya. Mungkin kau akan menyindirku saat kita diizinkan bertemu seperti waktu aku pergi ke Surabaya selama tiga hari di tahun kemarin.
"Hmm... yang pergi diam-diam. Tak menganggap Abangnya masih ada. Mentang-mentang dek. Mentang-mentang." Begitulah ia menyindirku sewaktu itu.
Aku sudah harus check-in sejam sebelum pukul 10.40 dari jadwal penerbangan. Pagi itu Papa lah yang mengantarkanku menuju kampus dan aku berangkat bersama staff ahli dan teman sesama kontingen. Kami berangkat menuju bandara menggunakan bus kampus. Pagi itu kota seakan menularkan keceriaannya kepadaku melalui sinar mentari. Tubuhku mendadak bersemangat dua kali lipat dari biasanya. Di dalam hatiku aku akan pergi ke kota lain bahkan pulau lain dan itu cukup jauh.
Di atas pesawat, sambil melihat gedung-gedung yang perlahan mulai mengecil dan secepatnya terganti oleh pemandangan awan yang sangat menakjubkan, aku merasakan bahwa kepergian dengan meninggalkan itu memang adalah cara yang ampuh untuk lari dari kenyataan. Mungkin sebab itulah barangkali di dalam cerita-cerita, seseorang yang begitu patah hati bisa saja terobati karena merantau. Aku ingin merasakan sensasi seperti itu jua.
Aku telah sampai ke Bandara Halu Uleo, Kendari. Hawa kota yang sedikit berbeda. Aku tak sabar lagi menuju lokasi penginapan untuk segera beristirahat. Ternyata duduk sekian lama juga membuat otot-ototku menjadi kaku. Sampai hal itu berdampak pada keesokan harinya. Terpaksa aku harus melumuri badanku dengan balsem yang telah kupersiapkan.
"Ya... Ampun Kakak. Kasihan sekali kakakku ini." Ucap junior yang sudah kuanggap adik yang merupakan teman sekamarku selama berada di hotel.
"Iya. Sepertinya kakak masuk angin, Lina."
Seharian setelah itu aku terlalu bosan berada di hotel secara penuh. Aku ingin menikmati suasana di luar hotel yang kebetulan dekat dengan pasar. Aku mengajak Lina untuk menemani sekaligus mencari serbuk jahe untuk aku minum. Kami pun meminta izin kepada dosen pembimbing. Aku menikmati perjalananan pagi itu sampai jelang siang.
Selain serbuk jahe, kami juga berencana mencari apa saja yang tidak ada di kota kami di kota ini. Salah satu yang menarik perhatian kami waktu itu adalah buah-buahan bewarna putih yang mirip dengan jambu monyet. Ternyata jambu itu bernama Manggopah. Mereka malah menjajakan buah-buahan itu kepada kami sebagai Jambu Putih. Rasa buah itu begitu kecut. Mataku sampai sipit mencobanya. Walau demikian, aku tetap membelinya dan menyukai rasanya yang sampai membuat liurku muncul hanya dengan membayangkannya saja. Aku memang suka buah yang rasanya asam.
***
Sehari sebelum perlombaan, ternyata ada acara hunting khusus para peserta lomba menulis dan fotografi. Aku begitu bersemangat mendengar kabar tersebut. Selain memberikan inspirasi, aku dapat merasakan langsung area wisata kota Kendari. Namun mendadak muncul kabar pengunduran jadwal hunting bagi peserta menulis puisi. tentu saja aku sangat kecewa. Aku telah menghitung waktu yang sangat tidak adil menurutku antara peserta menulis cerpen dengan menulis puisi. Mereka mendapat jadwal dari pagi sampai Maghrib. Sementara peserta menulis puisi hanya dari pukul 08.00 malam sampai pukul 12.00 malam. Aku membayangkan betapa pendeknya waktu untuk melihat kota Kendari.
Susun strategi. Aku sangat dan teramat ingin ikut pergi bersama teman sekamarku itu. Kudengar ternyata masing-masing peserta dibolehkan membawa satu official. Aku langsung menyamar menjadi official juniorku itu. Sayangnya bus peserta dengan official rupanya berbeda.
Aku tentu saja tak sendiri. Sebelumnya aku sudah mengajak teman yang baru saja kukenali di ruang technical meeting lomba puisi. Mereka adalah Ridlo dan Zulfi. Teman dari Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan. Hari itu adalah hari yang sangat mengesankan bagi kami. Saat bercerita kembali tentang masa itu, kami selalu bilang bahwa saat-saat menjadi penyusup adalah saat-saat yang paling berkesan di Kendari. Ya... aku sangat menikmati persahabatan dari pulau yang berbeda ini.
Ridlo, Zulfli. Maaf tidak menyamarkan nama kalian pada bagian ini.
Sipembon, aku mendapatkan sahabat baru di sini. Dan apa kau tahu, perjalanan di kota ini memberiku pelajaran bahwa aku bisa saja melupakan masalah yang kutinggalkan. Seketika aku berangkat dan mencapai penerbangan lebih tinggi dari gunung-gunung, pun melihat hamparan laut yang sangat luas dan indah, tak terasa sedikit pun masalah besar. Ada dunia yang lebih luas dibandingkan dunia masalah yang hanya ada di dalam pikiranku sebelum keberangkatan menuju kota ini.
Perlombaan usai, pemenang pun sudah diumumkan dan itu bukan aku. Aku merindu pada kekalahan yang membuatku ingin mengulanginya sekali lagi dan lagi. Aku belum puas. Dan memang teman-temanku adalah orang-orang terhebat di daerahnya masing-masing. Sampai saat ini kami masih menargetkan sebuah proyek antologi puisi yang masih belum penuh terkumpul hingga saat ini.
Malam pengumuman itu aku berhutang mencari Zulfli dan Ridlo. Hanya saja aku cuma berhasil menemukan Zulfli. Aku telah membawakan kenang-kenangan dari kotaku untuk teman baru yang akan menjadi sahabat baruku. Sebuah gantungan rumah gadang yang bergonjong tajam.
"Hati-hati menaruhnya, nanti kau bisa terluka." Pesanku kepada Zulfli sebelum berpisah. Ia sangat senang mendapatkan kenang-kenangan itu dariku.
***
Satu kesempatan yang tak boleh aku sia-siakan adalah menikmati hari yang tersisa. Aku dan para kontingen kampusku berangkat menuju Pulau Bokori dengan menaiki kapal. Betapa indah laut di Pulau itu. Aku menyaksikan sendiri pemandangan tentang warna air lautan yang begitu jelas tepisah antara biru dan hijau. Aku seperti tak ingin memicingkan mata. Dapat kupastikan sampai saat ini, Pulau Bokori adalah tempat paling indah yang pernah aku kunjungi.
Sipembon, suatu saat kau harus merasakan keindahkan dan kenikmatan ini jua seperti keinginan Kak Yani yang meminta ingin diberikan salam melalui sebuah kartu yang bertuliskan namanya. Aku memotret kartu itu untuknya. Sayangnya aku tak melakukan hal yang sama untukmu Sipembon.
Aku benar-benar menjadikan kepergianku sebagai sebuah usaha melupakan. Meski memang usaha itu masih dengan menuliskannya, namun akan kuungkapkan agar perasaan itu bisa habis. Anggap aku sedang menumpahkan secangkir kenangan di atas kertas. Kertas itu segera menyerapnya dan dengan mudah aku membuangnya begitu saja. Sepertinya tidak sesederhana itu.
Besok aku akan pulang. Rasanya untuk mengingat kepulangan, aku perlu melakukan hal ekstrim seperti merekat tubuhku di kota ini. Lalu membubuhkan sebuah alasan gila bahwa lem perekatku begitu ajaib. Tak satu pun orang yang mampu melepaskannya. Aku tak bisa pulang terlalu cepat. Serasa ingin menambah waktu selama satu minggu lagi di kota ini. Masih banyak tempat yang belum kukunjungi. Masih banyak hal yang ingin kurekam dalam ingatan. Tentang pohon kacang mete, tentang pisang eppe, tentang Tugu Religi, dan kesemua hal yang masih ingin kurasa dan kusaksikan.
Sipembon, kau mungkin tahu tentang kabarku sebagaimana yang kau katakan dulu.
"Mengapa kau selalu datang di saat yang tepat?"
"Maksudmu? Aku hanya ingin menanyakan kabarmu saja."
"Nothing." Aku tak mungkin mengatakan kepadanya bahwa ia datang di saat aku memang membutuhkan tempat untuk bercerita.
"Kau pasti sedang sedih, ya?"
Aku tak mengerti mengapa ia bisa sepandai itu menebak apa yang tengah kurasa.
"Kau tahu dari mana?"
"Tahulah, dari sosial mediamu."
Oh my God. Kurasa aku terlalu berlebihan menganggapnya sebagai orang yang memiliki insting yang kuat. Aku akan pulang dan akhirnya pulang ke kota tempat di mana rumah kami berada. Sebuah usaha melupakan itu mungkin saja sebatas menyinggahi kota. Mungkin aku harus mencari cara lain setelah sampai di kotaku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Teen Fiction"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."