Awal Tahun 2017

4 1 0
                                    

Aku sudah menuliskan kisah ini hampir pada halaman ke seratus. Sebelumnya aku telah memperlihatkan draft cerita ini kepada Kak Yani karena ia meminta dengan berbagai bujukan. Sebenarnya waktu ia menanyakan aku sedang apa dan aku menjawab sedang menulis novel, aku tak ingin menceritakan lebih detail mengenai rencanaku terhadap novel ini.

Sejujurnya aku tidak begitu percaya diri untuk membiarkan seseorang membaca hasil tulisanku ini. Aku juga tak berniat untuk menyelesaikan tulisanku ini karena hanya menganggap menulis sebagai cara curhat paling elegan seperti apa yang pernah dikatakan oleh dosen sastraku. Sejujurnya aku tentu saja membayangkan bila nanti tulisanku ini menjadi sebuah novel dan bukanlah novel sastra, maka yang kutakutkan adalah keilmuanku yang tidak bisa kurealisasikan dengan baik.

Awalnya cerita ini hanya sebuah curahan hati yang dituliskan dengan mengalir sebagai hadiah kepada seseorang. Aku meniatkan cerita ini menjadi saksi jikalau suatu saat aku berjodoh dengan Sipembon. Maka dengan segala bayangan bodoh yang membayangkan bahwa suatu saat ketika ia melamarku lalu menikah, aku telah menuliskan kisah sebagai suatu kenangan yang diperuntukkan kepada anak-anak kami. Betapa akan menjadi keluarga yang begitu romantis bila nanti anak kita membaca kisah ayah dan bundanya begitu berliku dan memahami bahwa jodoh takkan kemana-mana walau sudah berlika-liku. Aku bahkan kini geli dengan bayanganku sendiri.

Tentu saja kau paham Sipembon, bahwa kegelian itu menjadi awal bagi niatku yang ingin menjadikan cerita ini sebagai draft tertinggal yang tak diingat masa-apalagi anak.

***

Kak Yani kembali merayuku untuk melanjutkan cerita ini. Ia selalu memintaku untuk memperlihatkan kelanjutan dan memastikan bagaimana gaya bahasaku menceritakan sifat Bang Dhamar yang dianggap Kak Yani sebagai seorang yang plin-plan itu.

Saat aku menuliskan cerita ini, aku dengannya masih saling berbagi dan kembali menceritakan ingatan masa lalu. Barangkali saja secara langsung ia memberikan referensi tentang segala cerita. Aku menanyakan kesan kepadanya terhadap ceritaku ini.

"Gaya bahasa yang menarik." Kak Yani mengapresiasi tulisanku. Meski saat itu aku belum yakin, aku menjanjikan kepadanya untuk memenuhi keinginannya.

Kak Yani juga mengatakan bahwa tulisanku ini telah berhasil menyeretnya kepada bayangan masa lalu.

"Ternyata Dhamar mempermainkan kita." Ucapnya. Ia bahkan berulang kali mengatakan itu.

"Begitulah uniknya masa lalu kita bertiga. Walau begitu aneh, setidaknya Bang Dhamar telah mempertemukan kita, Kak. Aku senang mengenalmu dan bahagia dianggap sebagai adik oleh orang sebaik Kakak."

"Iya, juga ya. Kakak juga senang kenal dengan Bina." Katanya sambil mencubit pipiku.

"Aku bersyukur bertemu Kakak. Tapi kakak menemukan Adik sepertiku sepertinya tidak patut disyukuri." Pungkasku.

"Hush... Jangan seenaknya menilai sendiri."

Aku selalu dilarangnya untuk merendahkan diri. Di matanya aku tetap orang baik. Ia menjelaskan semua ini terjadi karena aku tidak tahu dan perasaan tidak bisa dipaksakan juga.

Aku selalu memandang hal itu menjadi sesuatu yang begitu sulit diterima jika aku berada di posisinya. Berkat tanggapannya yang seperti itu, aku lagi-lagi memandang itu sebagai suatu yang membedakan diriku dengan Kak Yani.

Sipembon, aku masih ingat dahulu kau sempat mengatakan bahwa aku dan Kak Yani adalah sosok yang tidak bisa kau pilih. Ada hal yang ada pada diriku yang tidak dimiliki Kak Yani dan begitu pun sebaliknya. Barangkali itulah yang kini aku rasakan. Jika aku jadi Kak Yani, tentu saja aku tidak bisa mengikhlaskan begitu saja seorang yang aku sayangi untuk membagi rasa sayangnya kepada wanita lain. Dan jika aku menjadi seorang lelaki sepertimu Sipembon, aku mungkin kehilangan keyakinan bahwa apakah mungkin Kak Yani menyayangiku dengan kepasrahan seperti itu.

Dari sisi lain sebenarnya bisa saja mengambil suatu pandangan yang berbeda yaitu Kak Yani dengan sifatnya yang tidak ingin memaksakan sesuatu adalah bukti bagaimana ia menyayangimu dan membiarkanmu tanpa usaha selain merelakanmu memilih kebahagiaan sendiri. Apakah kau tidak menyesal pernah membuatnya terluka Sipembon? Jika aku menjadi dirimu, tentu saja aku sangat menyesalinya.

***

Sudah beberapa lama sejak Kak Yani memintaku untuk meneruskan cerita ini, aku menemukan kesulitan untuk mengumpulkan hasrat. Tapi lagi-lagi hal yang sudah terlanjur basah itu harus kubasahi sampai kuyup agar tak menjadi tanggung. Maka kusentuh kembali apa yang telah lama tak tersinggung. Kubuka layar computer dan menuliskan kembali apa yang telah lama terpendam.

Malam semakin hening saja. Kuhidupkan musik untuk meramaikan suasana agar kantuk tidak datang menghampiri. Kalau sudah mengalir ya mengalir saja sampai lupa waktu. Suara ketikan sudah dikalahkan oleh musik itu. Berbagai media sosial yang biasanya memunculkan status puitis atau sekadar curhat colongan di berbagai grup telah kujauhkan sejenak. Barangkali ada yang menyadari ketiadaanku sehingga tidak jarang dari mereka yang mengirimkan info di grup atau undangan menghadiri acara langsung memberikan pesan secara pribadi.

Aku menanggapi hal tersebut dengan cepat. Aku juga merasakan sensasi berbeda. Kurasa aku hanya terlalu menjadi seorang yang berpikiran positif-walau pikiran positif dengan gede rasa alias geer memiliki perbedaan yang tipis.

Aku menikmati kebiasaan baru ini. Menjadi sosok yang lebih misterius dengan sedikit lebih pendiam dari biasanya. Tidak terlihat aktif nimbrung di grup yang bisa saja menjadi suatu cara untuk mengeratkan ikatan pertemanan atau menghabiskan waktu dengan sia-sia. Namun aku tak perlu menjadi terlalu paranoid, aku akan membalas chat itu jika waktu luang datang.

Aku akan meneruskan cerita ini dan menjadikan Bang Dhamar sebagai dua hal yang berbeda. Bisa menjadi subjek sekaligus objek. Subjek dari tokoh cerita dan objek tempat ceritaku. Aku tak peduli berapa kali ia melarangku untuk menuliskan tentangnya, namun ia harus tahu bahwa aku memang wanita yang keras kepala. Aku tidak tahu apa yang akan dibolak-balikkan Tuhan tentang cerita ini. Tentang aku, dia, dengan dia-dia yang lain.

Hujan membasuh kelam

Kasihku berpendar

Ke balik jendela

Yang malu

Sementara biarlah kubangku

Menetap rasta

Aku daun yang menanti dihembus angin

Merindu tanah hingga bersenyawa

Mengebumikan cerita

Mengolah historis, melapukkan kata-kata

Menjelma jadi humus yang memupuki masa

BONSAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang