Aku mendadak pendiam dan sudah mulai nyaman dengan kesendirianku. Mungkin ada beberapa teman yang memang dengan baik aku jaga. Teman-teman wanitaku yang kuanggap akan memberi pengaruh lebih baik. Seperti Kak Yani dan sahabat sejak SMP yang tiada putus sampai sekarang. Aku meyakini mereka sebagai sahabat yang tak pernah membawaku kepada jalan yang buruk. Mereka selalu mendukung bagaimana kemajuanku. Aku paham betul saat ini, teman tak perlu terlalu banyak. Yang perlu adalah bagaimana kualitas dari teman itu sendiri. Jika kau belum begitu meyakini diri bisa memberikan pengaruh baik kepada teman-temanmu, maka setidaknya kau jangan berteman dengan teman-teman yang bisa memengaruhimu. Mewarnailah dan jangan sampai terwarnai. Begitu kira-kira suatu ungkapan yang pernah kubaca.
Aku masih harus meningkatan pondasi diri agar menjadi pribadi yang kuat. Aku ingin menuliskan orang-orang berpengaruh ini pada kesempatan lain. Terimakasih Sipembon, kau memberikan banyak pelajaran tentang cinta. Terimakasih karena kau telah membuatku membuka mata perihal lelaki mana yang baik dan tidak hingga aku memutuskan untuk tidak berpacaran lagi. Semoga aku bisa tetap pada pendirian yang sudah kutekadkan bersama Kak Yani.
Masih Januari
Hari ini Kak Yani kembali menghubungiku. Ia menceritakan tentang Bang Dhamar yang kembali menghubunginya setiap saat. Aku membayangkan keadaan dan suasana itu seperti saat Bang Dhamar menghubungiku setiap saat. Ternyata masih sama caranya untuk muncul setiap waktu dengan menanyakan sedang apa, lagi dimana, atau meminta ditemani karena tengah tidak ada kesibukan di tiap waktu istirahat dari kerja sambilannya.
Kak Yani meyampaikan hal itu ditambah dengan memastikan apakah aku juga dihubungi olehnya atau tidak.
"Bang Dhamar tidak menghubungiku."
"Emang ada yang salah jika Kakak dihubungi Bang Dhamar?" tambahku.
"Aku takut luluh olehnya." Kak Yani mencertakan bahwa perhatian Bang Dhamar ternyata telah kembali merebut hatinya. Aku bisa melihat itu dari cara ia menyampaikan itu kepadaku.
"Dia meminta kakak untuk bisa kembali menjadi pacarnya lagi. Sementara kakak sudah berkomitmen untuk tidak pacaran."
Saat-saat yang seperti itulah yang kadang membuatku bingung harus memberikan masukan seperti apa. Aku katakan kepadanya kalau memang kakak sudah bertekad seperti itu kakak harus tegas. Kak Yani pun bilang kalau ia telah dengan tegas mengatakan itu kepada Bang Dhamar.
Sejujurnya di dalam hatiku ada perasaan sedikit geram terhadap Sipembon. Ia menanyakan hal itu kepada Kak Yani disaat masih berstatus sebagai pacar orang lain. Meski ia mengungkapkan itu kepada Kak Yani dengan mengatakan perandaian yang jika ia putus dengan gadisnya dan kemudian mengingkan Kak Yani untuk menjadi kekasihnya, apakah Kak Yani ingin.
Aku tidak tahu apa aku harus tertawa, geram, jengkel, geli, jijik, atau senang. Aku tak tahu. Yang jelas hal itu cukup menggambarkan dirinya yang begitu sulit berubah. Ia masih suka menjadi seorang yang harus mendapatkan ganti setelah putus-barangkali seperti itu. Seperti sebagaimana dulu ia dengan mudah menambahkan tokoh lain dalam cerita yang telah rumit antara kami bertiga.
Sewaktu itu tokoh baru yang saat ini adalah pacarnya-yang kuanggap sebagai ending cerita aneh kami. Bang Dhamar telah membuat cerita ini berputar-putar. Dalam cerita ini aku telah menyingkirkan diri atau jua tersingkirkan karena cinta segitiga itu kini berada di antara Bang Dhamar, Kak Yani, dan Risma kekasihnya.
Aku masih ingat saat terakhir aku ingin menjauhkan diriku darinya.
"Kau harus berubah menjadi lelaki yang tegas dan menjaga perasaan wanita." Namun ia begitu kreatif hingga pesan itu dikembangkan menjadi eksperimen yang menjaga perasaan dua wanita. Ia menambah satu variabel lagi supaya lebih menantang. Aku menganalogikan hal ini menjadi suatu hal yang menjadi lebih kompleks.
Sepertinya cerita ini telah menjadi laporan pengamatanku tentang Bang Dhamar. Kak Yani sebagai narasumber untuk memenuhi dataku. Namun, di sisi lain terkadang Bang Dhamar muncul untuk menceritakan tentang dirinya kepadaku.
Aku masih menjadi pendengar yang baik untuknya. Namun, terkadang aku juga mencoba memberikan pendapat-pendapatku tentang apa yang seharusnya ia lakukan. Sayangnya, aku tak pernah didengarkan. Wajar saja, aku terkadang tak mampu untuk memberikan masukan atas masalahku sendiri. Bukankah itu yang selalu ia nilai dariku.
Tugas-tugas kuliah sudah mulai menumpuk. Aku baru saja tersadar bahwa memikirkan masalah perasaan akan membuat kita menjadi wanita yang semakin lemah. Kuputuskan untuk mengerjakan tugas-tugasku dan seperti biasa, aku masih menunda menyelesaikan masalah rasaku-barangkali lebih tepat disebut rasa penasaran.
Buku-buku sudah tak tersusun rapi lagi. Aku mengambil buku-buku yang kuperlukan di rak dan membiarkan buku-buku lain yang ditinggali temannya. Semua itu akan kubiarkan sampai aku dapat mengumpulkan keinginanku lagi untuk membereskannya. Terkadang bagiku, buku-buku yang terlihat berantakan itu sedikit menghiburku. Setidaknya aku seperti mendapati teman senasib yang sama-sama berantakan seperti pikiranku.
Sipembon, tidak semua ini adalah tentang dan karenamu. Aku masih memiliki masalah lain selain rasa penasaran yakni masalah keteguhanku untuk berubah. Aku yang telah mengubah cara bersalaman, ingin mengubah cara berteman, mengubah kebiasaan burukku jua. Namun, semua itu seakan kini seperti bunga yang ragu berkembang.
Keadaan tetap terkadang membuat seseorang mendadak bosan. Itu adalah saat memiliki harapan untuk berkembang. Sementara perubahan akan membuatmu takut menjadi makanan renyah orang lain. Aku hanya bisa sembunyi dengan rindu. Rindu yang barangkali bisa hanyut menuju hilir dan tergenang. Mungkin begitulah kenangan.

KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Fiksi Remaja"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."