Ada kalanya kita harus menyerah untuk membiarkan kebahagiaan lain masuk dan datang menggantikannya.
Sebuah kalimat yang amat mengena dihatiku. Memang aku sudah menyerahnya. Hanya saja aku masih belum yakin bahwa kebahagiaan lain akan datang. Yang lebih menganehkan lagi, akhir-akhir ini aku sering memimpikannya. Padahal, aku sudah yakin akan mimpi petunjuk sewaktu itu. Mudah-mudahan dirinya baik-baik di sana dan menjadi yang lebih baik juga.
Hari ini aku membuka facebook-ku yang telah lama tak pernah kukunjungi. Ku post-kan kalimat itu menjadi status terbaruku. Kulihat segala pemberitahuan dan beranda yang ada. Kusukai status-status yang kurasa bagus dan menarik. Memang aku adalah tipe orang yang suka pilih-pilih. Namun, tak banyak juga dari orang-orang sepertiku justru salah memilih. Yaaaaa, Sipembon yang dulu sempat kupilih sekarang sudah jauh karena keputusanku memilih untuk pergi.
Satu hal yang mengganjal di otakku. Jika memang petunjuk itu melalui mimpi, seharusnya takkan hadir mimpi lain yang justru membuatku rindu kepadanya.
Kali ini aku memimpikan sore dengan cuaca sedikit mendung dan suram. Di tepi jalan, tepat di depan sebuah toko yang samar, aku melihatnya yang sedang duduk termenung. Aku yang langsung terkejut melihatnya, secepatnya melangkah menjauhi toko itu. Kuputuskan untuk segera mencari angkutan umum agar bisa segera pergi sebelum ia melihatku. Namun sayang, angkutan itu malah terasa begitu lama. Ada pengendara motor yang memboncengi entah dua atau tiga orang anak-yang juga masih samar-samar. Yang terekam olehku adalah pengendara motor yang tidak melihat jalan. Bahkan tidak melihatku yang tepat berada di pinggir jalan sewaktu itu. Aku baru tahu hal itu ketika motor itu sudah sampai berjalan tepat di depanku. Hal yang menjadi penglihatan aneh ketika sebuah sepeda motor membawa penumpang yang begitu banyak-apalagi dengan keadaan pengendara yang tidak taat aturan. Mana mungkin pengendara yang hanya melihat handphone sambil berkendara bisa selihai itu untuk menumpangi banyak anak. Sungguh berbahaya. Dan apa kau tahu? Pengendara itu adalah Sipembon.
Aku tak tahu arti dari mimpiku serta maksud tingkahnya di mimpi itu. Apa ia sengaja melihat telepon genggamnya hanya untuk mengalihkan pandangan dariku atau bagaimana.
Aku tak ingin bingung memikirkan mimpi itu. Mimpi itu mungkin hanya bunga tidur saja. Atau karena kemarin malam aku teringat dengannya sehingga aku memimpikannya Ingatan ini bukan kemauanku. Tak pernah aku sengaja ingin mengingatnya.
Ada suatu masa di mana aku ingin mengenang kembali kenangan buruk yang terasa indah dahulunya. Tapi, semua kenangan itu telah kuhapus. Pesan-pesan indah, pujian-pujian, rayuannya, semuanya telah kuhapus. Karena semua hanyalah kebohongan. Itu yang amat sangat bisa membuatku tak lagi ingin bertahan. Aku harus melupakan namun apa bisa?
Ada satu kenangan yang biarlah itu cukup untuknya dariku. Facebook yang kubuatkan untuknya. Dahulu kami pernah chatting bersama. Kini kalimat-kalimatnya kembali kulihat. Kembali pula terbukti usahanya untuk mencintaiku. Ingatan yang kembali mengenang, membuatku memutuskan melihat berandanya. Hal yang membuat aneh dan kuusahakan untuk mewajari sekaligus memungkirinya. Ia membuat status tepat pada hari Senin tanggal 19 Januari 2014. Dirimu hadir dimimpiku, entah aku yang merindukanmu atau kau yang merindukanku. Aku tak tahu. Itulah kalimat statusnya yang membuatku tidak tahu harus berpikir apa.
Dua hari yang lalu aku baru kembali galau terhadap kebiasaan baruku yang terus berusaha membenamkan kebiasaan lama. Telepon genggamku tidak lagi perlu diisi pulsa. Pesan dari teman-teman kuabaikan. Aku sudah tak berminat lagi sms-an. Menghabiskan waktu. Apalagi hanya untuk laki-laki yang mendekatiku saat itu. Sungguh muak diriku dengan laki-laki yang sudah kuanggap sama saja. Jika menilai mereka melalui kebaikan, semuanya baik. Tapi aku tak tahu akhirnya. Baik itu belum tentu baik-baik. Kepada orang yang disukai, tentu berlagak baik. Aku bingung, mengapa aku mendadak berubah menilai laki-laki. Semua sama. Mereka makhluk yang berlagak hebat dan menganggap hati wanita adalah permainan kebaikan yang dipura-purakan. Bukankah begitu? Hanya beberapa jenis laki-laki saja yang bisa dibuktikan kebaikannya. Pertama, yang tidak pernah pacaran dan langsung serius untuk menikahi. Kedua, laki-laki itu hanya teman atau sahabat tanpa rasa.
***
Aku tak ingin mempermasalahkan dan menambah beban pikiran atas semua ini. Aku kini menjadi enggan bercerita tentangnya secara detail kepada siapa pun-sekali pun itu kakak kandungku sendiri yang kerap mengetahui dengan cepat perubahan tingkah lakuku. Diamku, marahku, tawaku, dia tahu perubahan dinginku kini.
"Kau ada masalah ya, Bina. Dari kemarin aku melihat dirimu yang mudian. Terlalu mudah marah bahkan. Ada masalah dengan Dhamar, ya."
"Jangan tanyakan itu lagi, aku sudah melupakan semuanya."
"Ah, paling sebentar. Dulu juga gitu. Mau melupakan tapi nanti balik lagi akrab."
Seketika aku beranggapan bahwa menghibur dan menggoda itu beda tipis. Kakak sedang berusaha mencairkan suasana agar aku tak lagi terlihat murung. Namun aku memutuskan segera menuju kamar dan mengurung diri.
Jiwa ini seperti sudah mati rasa. Aku yang tahu kuburannya. Dan hanya aku yang tahu kapan aku harus bangkit dari kubur untuk mengeluarkan segala uneg-unegku.
Berlama-lama mengurung diri dengan tidur membuatku menjadi bosan. Dunia seakan hanya berukuran 3x3 meter saja. Aku memutuskan untuk kembali menuliskan segala uneg-uneg sebelum uneg-uneg ini justru memakan korban. Seketika aku mendadak bngkit dari kubur untuk menyatakan semua yang ingin kunyatakan. Bang Dhamar sendiri yang pernah berpesan agar aku tidak bercerita kepada orang. Ia yang menceramahiku untuk menjadi seorang yang harus mampu bertahan sendiri.
Meski awalnya aku merasa itu bukan diriku. Namun sepertinya menulis adalah curhat yang paling bergengsi. Aku tak perlu mengantarkan makanan berupa cerita kepada orang lain yang entah bisa benar-benar empati atau malah bisa jadi suka dengan kesusahan orang lain.
Apakah cara melupakan adalah dengan memenuhi kemauan orang yang telah berhasil mematahkan hati?
Semakin lama waktu berlalu, semakin banyak aku menahan. Selama ini dirinya menjadi tempatku bercerita. Apa pun yang aku rasa kukatakan kepadanya. Namun sepertinya kini telah jauh berbeda. Apa yang kami diskusikan justru tidak memberikan jalan. Ia tetap pada keinginannya, sementara keinginanku tergantung ancamannya. Perlahan aku masih bersabar. Hanya saja ungkapan cinta yang ia utarakan membuatku lama kelamaan berpikir. Apakah ada orang yang mengakui cinta mampu memberikan ancaman kepada orang yang dicintainya? Apakah itu masuk akal? Bukankah itu pertanda bahwa dirinya tak pernah takut ditinggalkan. Ia tak pernah takut kehilangan.
Hati dan logika kali ini berlawanan. Aku kembali sulit memercayai. Lagi-lagi implikaturnya yang membuatku sulit percaya.
Sipembon, bagaimana pun untuk saat ini atau berikutnya. Dalam waktu yang tidak singkat namun mungkin akan terasa singkat setelah dilalui. Dimana nantinya skenario perasaan itu akan berubah. Meskipun aku tak tahu kapannya. Mungkin inilah yang terbaik.
Ia takkan pernah tahu bahwa aku di sini memerhatikannya-meski sulit karena ia tak memiliki media sosial apa-apa selain FB, peninggalan kenangan dariku yang mungkin dalam waktu dekat atau lama apakah masih update atau tidak.
Aku tak ingin ia tahu bahwa aku sedang mengingatnya karena aku tak ingin memancing keadaan rindu. Aku tak ingin ia tahu hingga mungkin aku hanya bisa diam dan menuliskannya dalam draft yang hanya aku sendiri yang akan menikmatinya. Karena itulah, mulai kini aku tak pernah ingin menuliskan status terhadap sesuatu yang jelas untuknya. Karena aku tak ingin ia tahu.

KAMU SEDANG MEMBACA
BONSAI
Tienerfictie"Seandainya kau tak pernah menyisakan tanda, tentu aku takkan mencari cara untuk memaknai cinta [sekali lagi]."