PATERA: Lima Tahun Berlalu

4 1 0
                                        

2011-2016

Aku mengenalnya sejak 2011 sampai sekarang. Lima tahun telah berlalu. Kami terkadang sama-sama hilang dan aku mencoba menyibukkan diri dengan komunitas baru yang aku ikuti. Komunitas menulis yang berhasil membuatku mengisi kekosongan waktu. Aku lagi-lagi kembali jatuh cinta. Dan kali ini lain Sipembon. Aku jatuh cinta kepada buku-buku dan ingin mengoleksinya satu persatu.

Kau masih ingat Sipembon, tentang bisnis yang membuatku telah bangkrut dan karena aku masih ingin mencoba jua, aku bahkan beralih kepada bisnis yang kedua. Kedua bisnis itu kujalani masing-masing selama satu tahun. Dalam waktu dua tahun itu, memang tak ada yang patut kubanggakan dari hal yang memang menjadi prioritas keempat setelah akademik, organisasi, dan prestasi. Barangkali sudah menjadi suatu kewajaran bagiku akan kemerosotan itu. Ya, aku tak bisa membagi diriku menjadi empat. Kegagalan itu membuatku berkesimpulan bahwa untuk menjadi pengusaha membutuhkan suatu totalitas yang juga berarti akan sekaligus menyita waktuku. Termasuk waktu untuk menuliskanmu.

Sore itu kami kembali bertemu setelah sekian lama. Aku merasakan bahwa cara bercerita kami saat ini dan dulu sudah jauh berubah. Apa itu karena aku yang sudah semakin kaku dan menjadi wanita yang tidak lagi kanak-kanak seperti dahulu yang ia senangi. Aku merasakan kecanggungan setiap melontarkan pertanyaan yang sebenarnya tidak lagi ingin kuketahui jawabannya.

Diam-diam aku kembali menganalisis perkembangan ini dengan menyimpulkan-ini adalah salah satu sifatku yang pernah ia protes-bahwa aku sudah tidak lagi kepo dengannya. Aku hanya ingin sekedar membuat waktu itu menjadi lebih berisi dengan percakapan-percakapan yang sering kami sampaikan satu sama lain. Namun dari kesemua itu, percakapan langsung dari pertemuan lebih baik dibandingkan percakapan melalui media sosial yang tidak didukung oleh ekspresinya. Ekspresinya yang selalu bisa membuatku tertawa. Ia yang terkadang selengekan dan aku tak pernah memikirkan siapa yang akan melihat kami saat itu.

Aku selalu merasakan perubahan itu saat masing-masing kami menyatakan pendapat yang berbeda.

"Pola pikiran kita berbeda." Katamu siang itu.

"Iya, memang berbeda. Karena itu kita belum berjodoh."

Ia malah tertawa lepas. Tak ingin kalah aku pun ikut menertawai keadaan. Meskipun begitu, di dalam hati aku bertambah yakin bahwa memang kami tidak cocok. Aku memantapkan diri. Memang dari dulu selayaknya kami tidak memiliki perasaan seperti ini. Aku merasakan adanya kelunturan dari perasaanku sendiri untuknya yang tak mengalir lagi. Seperti itulah Tuhan membolak-balikkan perasaan.

BONSAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang