Angka 29

10 1 0
                                    

Apa kau tahu, ada pengecualian yang harus kugambar sendiri. Seperti biasanya, jikaku tengah merindu akan kusambung cerita kita dengan hiasan kata-kata cinta. Ada saat yang paling kunanti. Adalah ketika kau tersenyum hingga pipimu jadi ranum. Sebab membaca tulisan yang sederhana. Sebab bait-bait kau nikmati dengan perasaan jatuh cinta lagi. Dan seketika itu aku merasa jadi penulis paling bahagia di dunia.

Begitulah kira-kira caraku merindukan Sipembon. Yang kubayangkan ialah suatu hari nanti aku akan menjadi penulis paling bahagia. Mengatakan ia adalah lelaki paling beruntung yang menemukan cintaku dalam tulisan. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dan aku menangkap quotes tersebut sebagai motivasiku untuk menjadikan cerita kita bersejarah dan abadi dalam tulisan.

Ada satu hal yang juga tak kupercayai dari hasratku. Ialah mengorbankan perasaanku dan juga Bang Dhamar demi cita-cita. Semasa SMA dahulu, kami sempat pernah saling jatuh cinta meski tak penuh. Aku yang semasa itu membagi hatiku pun juga dirinya, tentu saja keyakinan kita akan berbanding lurus dengan pembagian masing-masing itu. Setahuku, cinta itu rela meniadakan alasan meski terlalu banyak alasan yang akan membuatnya pisah. Ini berbeda. Cintaku terlalu berhati-hati untuk memilikinya. Dalam hatiku apakah memang titah itu ditakdirkan untuk menyatukan aku dengannya. Atau hanya ditakdirkan untuk saling mengenal sebelum menemukan maktub yang lain.

Tanggal 29 adalah tanggal yang kujadikan sejarah dari persembunyian. Ia sudah mulai kuliah dan tentu saja membuat kami tak leluasa bertemu.

"Ada hati yang perlu aku jaga. Kau pasti mengerti maksudku, kan?"

"Iya."

Aku tak mengatakan hal yang lebih panjang. Kupikirkan kembali maksud perkataannya. Seakan ia sedang sembunyi dan menjadikanku sebagai tempat perselingkuhan. Padahal saat libur semester itu, aku dan dirinya hanya dua kali makan bersama. Bahkan juga makan bertiga bersama Kak Yani. Aku menganggap hal itu sebagai persahabatan yang menyenangkan.

"Jadi aku harus menjauhimu, Bang?"

"Bukan, maksudku jangan menghubungi sebelum aku yang memberikan kabar."

Untuk kesekian kalinya, aku merasa tolol.

***

BONSAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang