PAWANA

1 0 0
                                    

31 juli 2014

Serasa baru bangun dari tidur panjang di masa hibernasiku dari hal-hal yang berkaitan dengan menulis. Rasanya sudah terlalu lama. Mungkin NB-ku juga sudah menunggu sentuhan jemariku. Malam ini entah mengapa rasanya begitu indah. Bintang itu sepertinya telah sampai di mataku. Sinarnya tajam. Tiada menampaki pekat di hati. Setiap hari setelah selesai dari sujud, aku selalu berdoa perihal jodoh. Semoga Allah memberikan aku jodoh yang bisa membimbingku ke surga. Tahu dengan agama dan pandai untuk menjaga hubungan antarsesama. Ramah tamah dan tahu bagaimana membuat seorang wanita merasa dihormati.

Aku sempat bingung dengan segala keadaan yang pernah terjadi padaku. Berkali-kali disakiti hingga hari ini pun ia tetap menghilangkan kepercayaanku.

"Aku sekarang juga dekat dengan teman sekelasku."

"Terus?"

Aku sangat ingin mengatakan terus hubungannya dengan aku apa? Apa aku perlu tahu tentang itu?

"Ya, dia seusia denganmu."

"Oh, begitu."

"Jadi Abang ada adek baru."

Ia mengatakan itu dengan bersemangat. Apa aku harus mengucapkan selamat kepadanya. Atau aku harus marah karena merasa tersaingi. Ah, rasanya ingin segera menutup telepon darinya tapi takut dibilang tidak sopan.

Mendengar ceritanya, aku seperti sedang membayangkan posisiku yang dahulu. Yang juga dianggapnya sebagai seorang adik. Tepatnya hubungan kami berawal dari sebagai adik kakak. Aku menganggapnya seorang abang dan ia menganggapku sebagai seorang adik. Saat itu ia juga mempunyai seorang kekasih. Dan setelah ia putus dengan kekasihnya, keaadan menjadi berbalik. Ia kucurigai putus dengan kekasih lamanya adalah karena ketidakpercayaan antara satu sama lain. Bisa saja itu karena kehadiran diriku yang dicemburui. Kini, posisi kekasih lamanya akulah yang merasakan itu. Aku tak ingin mengatakan ini karma karena di sini posisinya cukup berbeda.

Aku bukanlah kekasihnya. Melainkan masih seorang adik-tepatnya adik yang mencintai abangnya sendiri-tapi si abang masih belum ingin memberi kejelasan. Ia masih mencari dan mencari. Mempermainkanku atau bagaimana? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku merasa begitu bodoh mencintainya. Mencintai orang yang tak pernah berniat serius menganggap perasaanku.

Kini aku mulai menyesalinya. Sikapku yang seperti itulah yang sesungguhnya membuatnya bisa jadi takut.

Seketika aku berubah menjadi posesif. Walau aku tak pernah melemparkan kata-kata yang melarangnya secara langsung, tapi dari sikapku yang terkadang merajuk membuatnya merasa aku sedang melarangnya.

"Adek kenapa malah jadi sering ngambek nggak jelas gini."

Ia masih sanggup menanyai itu. Dasar lelaki tidak peka.

"Lagi tidak semangat."

"Yah, kurang asik nih Adek. Nggak seperti biasanya lagi. Apa Adek nggak takut nanti Abang hubungi yang lain."

"Ini sedang membujuk atau mengancam?"

"Keduanya."

Lagi-lagi ia membuatku tak bisa memperdebatkan lebih jauh. Kadang lelaki memang seenaknya. Mereka selalu ingin dilayani dengan baik. Jika tidak mereka akan mencari pelayanan lain dan lagi-lagi memang wanita yang salah. Dengan mudah mereka mengatakan segala yang dilakukan lelaki itu tergantung wanitanya.

"Salah Adek yang membiarkan Abang." Ucapnya suatu hari.

"Kenapa bisa gitu?"

"Iya, Adek yang menjauhi Abang. Adek yang menyerah."

Baiklah. Aku harus bisa menahan perasaan cemburu.

Aku tak tahu bagaimana hal yang kurasakan saat ini. Semua campur aduk. Terkadang mungkin ini rasa penyesalan yang dalam atau memang aku merindu.

"Lupakan masa lalu, jangan jadikan penyesalan melainkan jadikan pembelajaran," kata seorang teman.

***

Ada yang bilang rumah itu

Akan lebih dirindukan

Ketika kita terlalu lama berlayar

Tapi kau malah lupa menepi

Dan berlabuh sesekali ke rumah yang lain

BONSAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang