-BAGIAN DUA PULUH DUA-
"Semua orang berhak merasakan kebahagiaan, walaupun hanya kebahagiaan sesaat."
________________________"Kak!"
"Hmmm..."
"Cupid nembak berapa panah? Sampe senyum-senyum nggak jelas gini?"
Kedua ibu jari Kania berhenti menyentuh layar ponsel yang hendak membalas chat dari Mylan. Matanya kini fokus menatap Aira yang tengah memeluk boneka pinguin kesayangannya. "Kenapa? Nanta ngilang lagi ya?" ledek Kania berhasil membuat Aira melayangkan boneka ke wajahnya.
"Iya, iya... mentang-mentang kak Nia udah diresmiin," cibir Aira sebelum berbaring di samping tubuh Kania. Sesekali dia melirik kearah ponsel Kania, berusaha mengintip tentang apa yang sedang mereka bicarakan.
Sudah bukan keanehan lagi, jika belakangan ini Aira melihat Kania tersenyum tidak jelas di depan ponsel. Dan bukan rahasia lagi untuk Aira, tentang Mylan yang menjadi alasan utama kakaknya menjadi gila. Tidak ada rahasia yang membentengi kedua saudara itu. Mereka saling mengetahui segala masalah satu sama lain, sebab mereka selalu memilih untuk saling terbuka. Sebuah keuntungan untuk mereka yang memiliki saudara perempuan, selain sebagai teman bercanda, mereka juga bisa dijadikan sebagai teman curhat.
"Kak!"
"Hmmm..."
"Sadar nggak, kalau kak Salman sama kak Mylan itu mirip?"
"Ngaco banget deh! Mirip dari mana? Orang beda jauh juga."
"Ih, coba deh perhatiin baik-baik. Dagunya, matanya, hidungnya itu sama. Bedanya, kak Salman orangnya ngumbar senyum manis, kalau kak Mylan orangnya udah judes, ketus, dingin lagi. Curiga ibunya kak Mylan dulu ngidam kulkas deh."
Kania menyenggol bahu Aira dengan keras. Bisa-bisanya Aira berbicara seperti itu tentang Mylan. Memang pandangan anak kecil selalu saja tidak tidak logis. "Urusin Nanta sana deh, masih aja ngilang nggak jelas. Ya kali dia Naruto!"
"Aku sama Nanta itu lagi marahan!" rajuk Aira tak tahan mendapat godaan dari Kania.
Kania tertawa lepas saat mendapati Aira mengerucutkan bibirnya. "Pantes aja Hpnya sepi."
Aira menghembuskan nafas gusar, membiarkan kakaknya bertingkah semaunya.
"Berantem itu bumbu hubungan!" cibir Kania.
"Udah tau!" ketus Aira. "Masalah sama ayah gimana?" lanjut Aira yang membuat Kania diam, menjatuhkan ponselnya di kasur. Dia memilih untuk menutup wajahnya dengan bantal, ketimbang membicarakan masalah itu. Ayahnya terlalu egois untuk Kania.
"Nggak usah bahas itulah, males bahas tentang ayah."
Baru juga Kania hendak mengusir Aira dari kamarnya, suara ketukan pintu sudah berhasil membujuk kakinya untuk berjalan malas mendekati pintu kamar.
"Belum ngantuk?" tanya Lisa dibalas gelengan oleh Kania. "Ayah baru pulang dari kantor," lanjutnya membuat Kania bingung.
"Kenapa?"
"Ayah mau bicara sama kamu di ruangannya."
Kania diam tak bergeming. Ini adalah kali pertamanya berbicara dengan Fakih, selama ayahnya kembali ke rumah ini. Dan, berbicara kepada Fakih adalah hal yang paling dia hindari. Tapi, dia juga tidak memiliki daya untuk mengabaikan semua ucapan yang telah keluar dari mulut Fakih. Dia tidak ingin membawa Lisa menanggung hukumannya.
Dengan ragu Kania membuka pintu ruangan yang berada di sudut rumah. Sebuah ruangan yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun kecuali bundanya dan sang pemilik ruangan, yang tidak lain adalah Fakih. Kania kini berada dihadapan seorang lelaki dingin yang pandangannya tak terlepas dari layar laptop. Sangat jarang Fakih mengajaknya berbicara empat mata seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful✔️[Complete]
Teen FictionRE-WRITING (SOON)!!! Pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan, walaupun juga bukan sebuah takdir. Namun tetaplah, bersamamu adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Aku tahu setiap pertemuan akan ada perpisahan, namun akan ada dimana sepasang insan...