-BAGIAN DUA PULUH ENAM-
"Tolong tetaplah seperti ini, teruslah tersenyum untukku, aku tidak ingin kamu pergi seperti yang lain."
________________________Dengan perlahan Mylan mengetuk pintu kamar yang baru saja Aira hendak ketuk. Ya, kamar siapa lagi jika bukan kamar Kania? Bukan tanpa alasan Mylan datang menjemput perempuan itu. Semalam Mylan sudah mendapat beberapa pesan dari Kania untuk menemaninya membeli buku. Kebetulan juga Mylan ingin mengajaknya untuk jalan-jalan sekedar menghabiskan waktu hari minggu mereka. Sengaja Mylan datang tanpa mengkabari Kania terlebih dulu, sebab Mylan pun baru pulang dari rumah sakit.
Lama Mylan berdiri seraya mengetuk pintu kamar Kania, namun perempuan itu tidak kunjung muncul. Aira yang sejak tadi menemani Mylan saja sampai geram ingin menggedor pintu kamar kakaknya.
"Gedor aja kak, siapa tau kak Nia lagi selingkuh sama cowok lain," goda Aira cekikikan.
Bukannya meladeni godaan itu, Mylan justru mengacuhkan Aira. Ya, meskipun Mylan sering berkunjung ke rumah ini, tapi sikap dinginnya tidak juga kunjung menghilang.
"Ya ampun, dinginnya bisa dimanfaatin bikin es krim nggak ya?" gumam Aira lirih pada dirinya sendiri.
Tidak lama kemudian pintu kamar terbuka. Namun bukan sosok Kania yang muncul, melainkan Nara. Entah sedang apa perempuan itu di sini.
"Astagfirullah, untung jantung gue gak copot!" seru Nara ketika mendapati Mylan berdiri di depan pintu kamar Kania, membuat pemilik ruangan yang sedang berbaring di atas kasur ikut terkejut dan langsung turun mendekati Mylan.
"Lo kok di sini?" tanya Kania heran.
Pertanyaan Kania diabaikan oleh Mylan. Lelaki itu justru menatap intens Nara yang masih berdiri di ambang pintu. "Oh... jadi lo di sini? Ngapain lo?"
Mata Nara terlihat tengah memutar dengan sangat jengah, "Suka-suka gue!" ketusnya.
"Dicariin Arka tuh! Katanya mau minta putus," Mylan mendorong bahu Nara untuk segera menjauh dari pintu, agar dia bisa menutup pintu itu tanpa harus mendengar cerocosan tak bermutu dari Nara.
Selepas Mylan menutup pintu kamar, Kania kembali mendaratkan diri di pinggiran tempat tidur dengan bibir yang mengerucut. Dia sebal karena tadi Mylan mengabaikannya. Sebenarnya, itu bukanlah hal yang baru saja Kania dapatkan. Kania sudah tidak terkejut dengan sikap Mylan yang satu ini, sebab rasanya Mylan sudah sering mengabaikan pertanyaanya. Namun kali ini Kania ingin menyadarkan Mylan, jika Kania juga memiliki kesabaran.
"Jadi dianterin beli buku nggak?" tanya Mylan seraya menarik kursi belajar Kania untuk di letakkan di hadapan perempuan itu.
Kania diam tidak menjawab. Tatapannya tidak fokus pada wajah Mylan, melainkan pada layar ponsel yang sejak tadi digenggamnya.
Tangan Mylan terulur meraih dagu Kania. Diangkatnya dagu itu, lalu dipalingkan ke kanan dan ke kiri untuk memastikan jika kedua telinga Kania sedang tidak tersumbat earphone. Namun tangan itu segera ditepis oleh Kania.
"Apan sih!" ketusnya.
Mylan menanggapi tepisan itu dengan diam. Dia masih saja setia mengamati jari-jari Kania yang sedang menari di atas layar ponsel. Demi apapun, Mylan bukan tipe manusia yang suka diabaikan, namun dia begitu suka mengabaikan.
Terkejut bukan main, Kania sontak melotot kala ponselnya sudah menghilang dari genggaman karena telah Mylan rebut. "Dulu gue udah pernah bilang, kalau lagi bareng gue itu jangan mainan hp mulu!"
"Suka-suka gue dong. Kan lo juga sering ngacangin gue tuh, sesekali lah lo rasain yang namanya dikacangin!" Kania menjatuhkan tubuhnya, menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Kedua tangannya terangkat menari-mari seolah ingin meraih langit-langit kamarnya yang tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful✔️[Complete]
Teen FictionRE-WRITING (SOON)!!! Pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan, walaupun juga bukan sebuah takdir. Namun tetaplah, bersamamu adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Aku tahu setiap pertemuan akan ada perpisahan, namun akan ada dimana sepasang insan...