18

135 8 0
                                    

-BAGIAN DELAPAN BELAS-

"Kamu adalah satu-satunya tempatku untuk pulang menuntaskan kerinduan."
________________________

"Gimana? Kaki lo udah baikan?" tanya Salman setelah menyampirkan jaket hijau army di kursi tempatnya duduk. Hanya ada mereka berdua di dalam ruangan serba putih ini. Ruangan yang menjadi tempat Kania menghabiskan waktunya selama 24 jam.

"Nggak papa kok, bunda aja yang berlebihan. Kaki cuma kesleo aja pake nginep rumah sakit," cibir Kania sambil terus membaca tiap kata yang tertulis di dalam novel yang digenggamnya. Hanya ini yang dapat ia lakukan untuk menghibur diri. Tidak ada acara seru di TV, tidak ada pula yang menemaninya. Aira sekolah, sedangkan Lisa tentunya masih berkutik dengan pekerjaanya.

Salman tahu betul dengan raut wajah Kania yang mengatakan jika perempuan itu tengah bosan dengan suasana ini. Sedikit berniat usil, Salman meraih novel yang sejak tadi menjadi pusat perhatian Kania, lalu membacanya sekilas. "Cerita ngebosenin gini juga masih aja dibaca," cibir Salman meletakkan novel bersampul merah muda itu ke dalam laci nakas.

"Ya ampun kak, ngebosenin kayak apa jalan cerita novel itu, lebih ngebosenin lagi ngabisin waktu di ruangan ini," cibir Kania berusaha meminta kembali novelnya.

"Apa masih ngebosenin kalau gue ada di sini?"

Kania tersenyum simpul seraya mengkibaskan tangannya. Mulut Salman itu selalu lihai berucap manis dan memang mampu mengusir segala kebosanannya. Sepertinya Salman memang sudah terbiasa menaklukan hati perempuan.

Tak ingin berlama-lama terjebak dalam suasana canggung, Salman pun kembali memecah suasana. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong plastik yang dibawanya, sebuah mangkok yang terisi bubur, lengkap dengan sendoknya. Membuat air liur Kania tak tertahankan lagi. Jujur saja, Kania rasanya tidak sanggup memakan makanan rumah sakit yang tak memiliki rasa apapun.

"Cobain dulu ya, masakan gue nih," ucap Salman seraya menyendokkan bubur untuk Kania.

"Aku udah besar kali kak, nggak usah pake acara suap-suapan juga. Kan yang sakit itu kaki aku, bukan tangan." Ucapan Kania bukannya menghentikan gerakan Salman, lelaki itu justru membuat Kania mau tidak mau menerima suapan darinya.

"Enak?"

Kania mengaggungkan kepalanya seraya terus menikmati setiap rasa yang dikecapnya. Ini jauh lebih baik dari masakan rumah sakit.

"Ngomong-ngomong, kak Salman nggak latihan basket? Bukannya minggu depan ada sparing?" tentu saja Kania tahu menahu tentang kegiatan tersebut. Bagaimana bisa lupa, sedangkan Salman sendiri yang mengatakan hal itu kepada dirinya, malam tadi.

Salman kembali menyuapkan bubur kepada Kania tanpa mau melepaskan tatapannya dari wajah anggun tersebut. Bagaimanapun caranya, dia harus mendapatkan hati Kania. Untuk kali ini, Kania adalah satu-satunya kunci kemenangan bagi Salman. Dia tidak mau gagal lagi.

"Ada yang lebih penting dari itu," jawabnya.

Jawaban Salman berhasil membuat dahi Kania berkerut, memikirkan tentang kemungkinan dari maksud ucapan Salman. Sebab setahu Kania, tidak ada yang lebih Salman pentingkan selain dunia basketnya.

"Emang apa?"

Salman tersenyum kecil, menahan rasa penasaran Kania dengan sebuah sentuhan kecil di sudut bibirnya. "Apa yang ada di hadapan gue," jawab Salman beralih menusap pipi Kania. "Bagi gue, lo itu lebih penting dari apapun," sambungnya.

Aneh, benar-benar aneh. Baru kali ini jantung Kania memberi respon terhadap kalimat yang baru saja Salman ucapkan. Tatapan Salman tak sedikit pun memberi sebuah keraguan, kalimatnya pun tak terdengar sedang bermain-main. Lelaki ini sedang berusaha serius dengan hati Kania.

Painful✔️[Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang