-BAGIAN DUA PULUH SATU-
"Kita pernah bermimpi, namun kita tidak pernah membuat mimpi itu menjadi nyata"
________________________Sesaat setelah memperhatikan layar ponsel, Mylan menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Entah aduan apalagi yang sudah didengar Zidan, hingga merepotkan diri untuk menelpon Mylan.
"Gue mau ngomong sama lo. Gue tunggu di rumah, sekalian lo ambil mobil lo!"
Hanya kalimat itu yang Mylan dengar, sebelum panggilan terputus. Sepertinya Mylan sudah salah pilih menjawab telpon itu. Salman sialan!
Mylan meraih tangan lemah ibunya, lalu mengecup punggung tangannya sangat lama. Tangan itu semakin hari semakin mengecil. Menyisakan kulit putih yang membungkus tulang.
Tiga tahun selalu seperti ini. Mylan selalu menghabiskan waktunya di tempat ini, walau sesekali dia bolos menemani tidur ibunya yang tidak kunjung bangun. Meskipun Mylan harus menggunakan masker dan jaket karena tidak kuat dengan aroma obat-obatan, lelaki itu pasti akan datang menemani ibunya. Jangan tanya bagaimana perasaan Mylan saat ini. Dia hanya ingin menjadi orang pertama yang dilihat ibunya saat bangun dari tidur panjangnya.
"Bu, Mylan pulang dulu ya. Besok aku datang bawa kue ulang tahun, sekalian bawa hadiah juga. Cepet bangun ya bu, Mylan udah kangen banget," gumam Mylan sambil tersenyum getir melihat mata ibunya yang masih terpejam dengan beberapa alat medis yang menempel di tubuhnya.
Jika saja dia bisa melakukan penawaran dengan Tuhan, Mylan pasti memohon untuk menggantikan posisi ibunya saat ini. Dia lebih rela dirinya yang terbaring di ruangan serba putih ini, dari pada perempuan yang paling dicintainya ini.
Setelah mengecup kening ibunya, Mylan beranjak keluar dari ruangan itu. Kembali dirogohnya saku celana, menghubungi Arka untuk menemaninya menemui Salman. Jujur saja, sebenarnya Mylan sedang malas berurusan dengan manusia itu. Namun berkat Salman yang mengiminginya dengan mengembalikan mobil milik Mylan, mau tidak mau dia harus datang ke rumah itu lagi.
"Kapan lo mau ngajak Kania ke sini?" Tanya Arka saat Mylan masuk ke dalam mobilnya.
"Besok!" Jawab Mylan menatap lampu kendaraan yang berlalu lalang di depan sana.
Memang benar Arka harus mensyukuri kebetulan yang membuatnya mengetahui segala cerita di balik hidup Mylan. Jika bukan karena ayahnya teman dari ibu Mylan, entah sudah jadi apa Mylan saat ini. Selama ini hanya Arka yang menjadi tempat Mylan bercerita, juga hanya Arka yang dapat mengerti bagaimana posisi lelaki itu saat ini.
"Entar lo langsung pulang aja, mobil gue udah dibalikin," ucap Mylan di tengah perjalanan.
"Hmm..." Arka menanggapi perintah Mylan dengan sebuah deheman. Dia sangat hafal bagaimana keadaan Mylan selepas menjenguk ibunya.
Arka kembali melirik Mylan, setelah terjebak dalam diam. Dia tahu, ada sesuatu yang ingin Mylan sampaikan. Tapi dia akan tetap diam menunggu lelaki itu mengatakannya sendiri.
"Keadaan nyokap gue makin memburuk. Belakangan jadi sering kejang-kejang," seperti perkiraan Arka, Mylan akhirnya mengatakan masalahnya tepat saat mobil milik Arka berhenti di depan rumah Zidan. "Milena juga jadi sering nelfon gue. Menurut lo, apa yang harus gue selamatkan duluan? Nyawa nyokap gue, atau perasaan gue?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful✔️[Complete]
Teen FictionRE-WRITING (SOON)!!! Pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan, walaupun juga bukan sebuah takdir. Namun tetaplah, bersamamu adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Aku tahu setiap pertemuan akan ada perpisahan, namun akan ada dimana sepasang insan...