07

153 7 3
                                    

-BAGIAN TUJUH-

"Perasaan itu bukan permainan, yang dibutuhkan saat sepi dan dilupakan saat senang."
________________________

Sekali lagi, jeritan dan seruan kembali memenuhi lapangan saat Mylan menendang masuk bola ke dalam gawang lawan. Keringat yang menetes membasahi pelipis, menambah seruan-seruan yang berasal dari para perempuan yang sejak tadi setia berjemur di bawah terik matahari hanya demi melihat pangeran mereka menggiring bola, berlinggak-lingguk melewati lawan yang menghadangnya. Membuat para gadis berteriak heboh seperti kesetanan.

"Sumpah, lo betah banget denger suara mereka Lan!" Keluh Yoga menutup kedua telinganya.

"B aja." Jawab Mylan berjalan mengambil kemeja putihnya dan menyampirkan kemeja itu ke punggung. Memamerkan kaos hitam yang basah oleh keringat.

Seperti lelaki pada umumnya, cowok yang kulitnya memerah akibat paparan sinar matahari itu sangat menyukai bola. Bukan hanya menyukai, tapi dia sudah menjadikan hobinya itu bagian dari hidup. Mylan selalu ikut serta dalam pertandingan-pertandingan sekolah, bahkan dengan senang hati bertanding membawa nama tim sekolah bersama teman-temannya ke tingkat Nasional. Tapi, ada sebuah alasan yang menyebabkan dia harus meninggalkan dunia yang selalu dia banggakan itu. Saat dia duduk di bangku SMA, lelaki itu tidak mau lagi ikut serta dalam tim resmi sekolah.

Rasanya dia masih kurang puas berlari menggiring lapangan, tapi lima menit lagi istirahat akan berakhir. Mylan bersama ketiga temannya berjalan meninggalkan lapangan. Mencari keran untuk membasahi kepala dan wajah mereka yang terasa panas.

"Eh Lan, ada gengnya Nia tuh." Bisik Gio menyenggol bahu Mylan yang hendak menyiram kepalanya.

Mylan menaikan pandangannya menatap empat orang perempuan yang tengah tertawa melewati mereka. Namun, pandangannya benar-benar tertuju pada sosok perempuan berambut ikal yang membawa sebotol air tengah tertawa menanggapi ucapan temannya. Sialan. Mylan tengah digoda oleh air dingin itu.

Belum selesai dia menyiram kepala, lelaki itu memutuskan untuk pergi mendekati keempat perempuan itu.

"Oy Lan, mau kemana lo?" Teriak Arka menyadarkan keempat gadis itu akan kehadiran Mylan yang kini berjalan mendekati mereka.

Rasa gugup tiba-tiba menghampiri Kania kala matanya menangkap sosok Mylan yang kini berjalan ke arahnya. Dia segera memejamkan mata dan berlari meninggalkan ketiga sahabatnya begitu saja. Sungguh, dia tidak mampu berlama-lama menatap Mylan. Walau hanya menatap baju hitam yang basah, rasanya kedua lututnya meminta untuk lepas diri.

Mylan menghentikan langkah, menatap penuh tanda tanya pada punggung Kania yang dengan cepat menghilang dari pandangannya.

"Nia, tunggu! Lo mau kemana?" Teriak Nara namun tidak mendapat jawaban.

"Tuh anak kesambet apa sih?" Gumam Anya.

"Salting ketemu Mylan kali." Bisik Fina.

Arka menepuk pundak Mylan sambil tertawa keras. Baru kali ini dia melihat Mylan menakuti seseorang hingga melarikan lelaki berhati batu ini.

"Makanya, punya wajah jangan di datarin mulu ke cewek. Kalau sama kita-kita lo bisa senyum dan ketawa, tapi kenapa kalau ke cewek lo datar mulu sih?" Tanya Arka sambil memainkan wajah Mylan.

Painful✔️[Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang