-BAGIAN EMPAT BELAS-
"Namamu layaknya badai yang selalu menghujani pikiranku dengan ketidak pastian."
________________________Pagi-pagi buta, Kania dan teman-temannya sudah berangkat ke sungai yang berada tak jauh dari perkemahan mereka. Sengaja mereka pergi sepagi ini, daripada nanti harus mengantri dengan siswa lain.
Kabut masih menemani mereka di sepanjang jalan menuju sungai. Ini adalah kali kedua mereka mengunjungi sungai ini. Udara yang mereka hirup masih sangat segar. Gemercik air dan kicauan burung masih terdengar asri menghibur telinga, belum lagi pemandangan fajar yang benar-benar memabukkan pandangan, membuat keempat perempuan itu betah berlama-lama di sana.
Rupanya bukan hanya mereka yang berada di sungai ini. Ada sekitar lima perempuan di bagian atas, juga empat orang di dekat mereka. Masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah seluruh siswa yang ikut kegiatan ini.
"Gue gak mandi lah, dingin banget airnya!" Keluh Nara kembali menarik diri setelah baru saja mencelupkan jempol kakinya.
"Issh jorok lo. Gak kuat gue ngebayangin gimana jadinya kalau Arka minta peluk lo," cibir Anya terkekeh sambil menyipratkan air ke arah Nara.
"Terus apa guna gue bawa parfum, bege?" Ucap Nara menghindari cipratan Anya.
"Lo nggak bisa bedain mana seger sama dingin ya Ra?" Tanya Fina.
"Gue setuju banget sama Fina," sambung Anya.
"Ma, Pa, masa Ara dibully sama temen sendiri!" Keluh Nara dengan nada yang diada-ada seperti anak kecil, mengundang tawa yang cukup keras.
Di saat tawa tengah menyelimuti ketiga perempuan itu, lain ceritanya dengan Kania yang hanya duduk melamun menatap air sungai. Pikirannya masih saja berputar tentang perasaanya kepada Mylan. Kenapa dia tak berkutik di hadapan cowok itu? Sangat berbeda dengan dirinya yang berhasil mematahkan hati beberapa lelaki yang dulu pernah mendekatinya, termasuk Salman. Dengan mudah dia menghindar dari Salman, tapi tidak dengan Mylan yang berhasil mempermainkan perasaanya. Cowok itu sungguh berbeda dari cowok lainnya.
Rasa dingin yang menusuk punggung, membuat mata Kania terbelalak dan langsung bangkit hingga hampir terjatuh ke dalam sungai, jika saja Nara dan Anya tidak menarik lengannya. "Gila! Dingin anjir!" Pekik Kania menjauh dari ketiga temannya.
"Udah kali mikirin Mylannya." Nara merangkul bahu Kania. Mengajak perempuan itu untuk menerawang sekitar mereka. "Lo liat keindahan ini? Ini yang kita butuhin sekarang."
"Lupain dulu Mylan! Fokusin pikiran lo ke sini. Bukannya kita kesini buat seneng-seneng ya?" Sambung Anya.
"So... why you still wasting your time? Udah terlanjur sampe. Sayang kalau cuma jadi tempat pelampiasan kesedihan." Fina ikut merangkul ketiga temannya. Dan detik berikutnya, dia mendorong ketiga perempuan itu menjebur ke dalam sungai dengan tawa yang pecah amat keras.
"Kampret! Iseng banget sih lo Fin!" Pekik Anya mentas dari sungai dan berlari mengejar Fina.
Benar kata mereka. Kania tidak boleh menyia-nyiakan waktu ini. Dia harus membuang jauh-jauh kegundahannya dan kembali menikmati apa yang sedang menanti mereka. Dia menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan bersamaan dengan tertariknya kedua sudut bibir yang menggambarkan sebuah senyuman. Di sini, dia harus menikmati kebahagiaan. Jika pun dia tidak menemukan letak kebahagiaan, dia bisa menciptakan kebahagiaan itu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful✔️[Complete]
Подростковая литератураRE-WRITING (SOON)!!! Pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan, walaupun juga bukan sebuah takdir. Namun tetaplah, bersamamu adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Aku tahu setiap pertemuan akan ada perpisahan, namun akan ada dimana sepasang insan...