-BAGIAN SEBELAS-
"Senyuman adalah senjata terakhir untuk menutupi kesedihan."
____________________Sepulang sekolah, Kania dan sahabatnya memilih untuk sedikit bercakap di rumah. Memang sudah menjadi kebiasaan mereka menggunakan rumah Kania untuk berkumpul saat pulang sekolah. Rumah Kania adalah pilihan yang cocok untuk mereka, karena jam pulang sekolah seperti ini, Lisa masih berada di kantor, sedangkan Aira pasti sedang les Sains.
Kania menghempaskan tubuhnya ke sofa, menengadah menatap langit-langit sambil menyedot teh kotak yang sisa sedikit. Rasanya sangat lelah, walaupun tidak banyak energi yang dia keluarkan sepanjang hari ini. Sebab, bukan tubuhnya yang lelah, melainkan hatinya. Iya, hati Kania lelah dipermainkan Mylan.
"Om Fakih kapan pulang?" Fina ikut menengadah di samping Kania.
Kania mengedikkan bahu, tidak mau membicarakan tentang Ayahnya.
"Lo belum baikan sama bokap lo?" Anya melempar Kania dengan bantal.
"Apaan sih! Gue males bicarain Ayah!" Ketus Kania mengembalikan bantal itu, lalu merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
"Lo nggak kangen ditinggal 4 bulan ke Austria?" Tanya Nara tanpa menatap wajah Kania. Dia masih sibuk memeluk bantal sambil menonton film kesukaanya.
"Nope!"
Hubungan Kania dan Ayahnya memang tidak senormal anak dan Ayah pada umumnya. Dia cenderung lebih tertutup kepada Ayahnya, bahkan Kania selalu saja menghindar untuk sekedar berkomunikasi. Bukan karena Fakih selalu membatasi uang jajannya, Kania bahkan bukanlah anak boros yang hobi shopping. Tapi memang karena kepribadian Ayahnya yang keras dan pengekang, membuat Kania enggan mendekati maupun berkomunikasi dengan Ayahnya. Bukan hanya dia, Aira pun merasakan hal yang sama.
Menurut cerita yang Kania dengar dari Bundanya, Fakih memang berasal dari keluarga yang keras dan disiplin. Sejak kecil, Fakih sudah dididik dengan tegas oleh kakek Kania. Tak heran jika sifatnya itu masih terbawa-bawa hingga dia menjadi seorang ayah. Ditambah kesibukannya, membuat waktu keluarga mereka tersita, sehingga Fakih sendiri tidak mengetahui keadaan dan perkembangan anak-anaknya. Itulah yang membuat Kania dan Aira lebih dekat kepada Lisa. Tetapi diantara semua sebab, Kania memiliki sebuah alasan tersendiri untuk menghindari Fakih.
"Terus camping lo gimana? Dapat izin kan?" Tanya Fina heboh, mengingat kejadian tahun lalu.
"Iya, gimana tuh? Kan tahun lalu om Fakih sempat nyusul mau bawa lo pulang," sambung Anya.
"Tapi untung pak Zidan masih ada di sana. Gue baru tahu kalau ternyata om Fakih temenan sama pak Zidan!" Seru Nara.
Kania diam. Perempuan itu menutup kedua telinganya, berpura-pura tidak mendengar pertayaan yang baru saja mereka lontarkan. Dia benar-benar tidak ingin membicarakan hal apapun yang berkaitan dengan Fakih.
Seolah mengerti keadaan, Nara melemparkan makanan ringan yang hendak dia makan ke arah Kania. "Kalau ada masalah itu dibicarakan, jangan disimpen aja. Kapan selesai masalahnya kalau lo cuma diam? Masalah juga perlu kejelasan, bukan cuma cinta yang perlu kejelasan."
"Lagi pula, apasih gunanya kita bareng dari masih janin kalau nggak bisa saling membantu? Lo maunya datang pas lagi butuh doang? Masa sih lo tega begitu? Nggak kan?" Sambung Fina membangunkan tubuh Kania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful✔️[Complete]
Teen FictionRE-WRITING (SOON)!!! Pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan, walaupun juga bukan sebuah takdir. Namun tetaplah, bersamamu adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Aku tahu setiap pertemuan akan ada perpisahan, namun akan ada dimana sepasang insan...