-BAGIAN TUJUH BELAS-
"Rasanya masih terlalu awal untuk mengakhiri cerita yang baru saja dimulai."
________________________Matahari mulai muncul dengan malu-malu memancarkan sinarnya, menerobos dahan-dahan hingga berusaha menerobos kelopak mata perempuan yang masih ingin sedikit lebih lama berada di alam mimpi. Membuat perempuan itu menggeliat mencari tempat teduh agar sinar itu tak lagi menggangu tidurnya.
Menyadari tubuh Kania yang menggeliat tidak nyaman, menuntun tangan Mylan untuk menarik jaketnya menutupi wajah itu seraya menarik kedua sudut bibirnya.
"Hmmm... Lan, jaket lo apek!" Seru Kania tiba-tiba membuat Mylan kembali menarik turun jaketnya.
"Sadar diri, lo juga belum mandi dari kemarin."
"Tapi gue masih harum kali."
Mylan memutar mata malas sebelum menyingkirkan bahunya dari kepala Kania dan bangkit meraih tasnya. Sedangkan Kania hanya menatap Mylan dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan kerutan di dahi. "Kemana?"
"Pelaminan mau?" Tanya Mylan yang berhasil membuat Kania tertawa geli.
"Gue serius gila!" Cibir Kania melemparinya dengan rumput.
Mylan menghembuskan nafas gusar, sebelum kembali menatap Kania yang masih menguap. Mungkin tidurnya semalam tidak nyenyak, mengingat betapa takutnya perempuan itu dalam kegelapan hingga tidak memberi celah bagi Mylan melepas pelukan. "Mau cari jalan, sebelum mereka ninggalin gue bareng monyet di hutan."
"Apa? Barusan lo ngatain gue monyet?" Kania melotot seraya menunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuknya.
Mylan diam sejenak. "Gue nggak ngerasa nyebut nama lo, tapi kalau lo nyadar duluan sih bagus." Ucapnya memalingkan wajah menatap mentari yang kini telah muncul tanpa malu-malu lagi.
Kania kembali melempari cowok itu dengan rumput. "Kampret!"
"Buru! Gue tinggal, tau rasa lo." Mylan mengulurkan tangan, berupaya untuk membantu perempuan itu bangkit. Namun baru beberapa senti tubuhnya terangkat, perempuan itu kembali terduduk di tanah, membuat Mylan hampir kehilangan keseimbangan jika saja tangannya tidak menumpu pada pohon.
"Aauu! Aduh, Lan. Kaki gue!" Keluh Kania seraya memijat kedua kakinya.
Sekarang apa lagi? Kenapa perempuan selemah ini sih? Mylan memutar malas matanya, lalu berlutut menatap wajah Kania yang terlihat menahan rasa sakit. "Kaki lo kenapa?"
"Nggak tau... coba lo tanyain ke kaki gue deh. Siapa tahu dijawab," cibir Kania dengan tangan yang berusaha melepas sepatunya, namun dicekal oleh Mylan.
Tangan cowok itu bergerak dengan hati-hati membuka sepatu Kania, berharap jika gerakannya tidak menambah rasa sakit di kaki itu. Matanya membulat ketika berhasil meloloskan kaus kaki biru bergambar beruang dari kaki Kania. Pergelangan kaki Kania membiru dan sedikit membengkak. Sejak kapan? Kenapa Kania tidak mengeluh kesakitan padanya tadi malam? Mylan kembali meletakkan kaki itu dan berganti membuka sepatu yang lain. Sama terkejutnya, kaki yang ini juga terlihat bengkak dan membiru.
"Kenapa lo nggak ngomong kalau kaki lo sakit?"
Kania menarik wajah Mylan untuk menatap dirinya. "Gue udah ngomong tadi! Makanya punya telinga jangan ditinggal di atas lemari," cibirnya yang lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Painful✔️[Complete]
Ficção AdolescenteRE-WRITING (SOON)!!! Pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan, walaupun juga bukan sebuah takdir. Namun tetaplah, bersamamu adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Aku tahu setiap pertemuan akan ada perpisahan, namun akan ada dimana sepasang insan...