-BAGIAN DUA PULUH DELAPAN-
"Aku tidak ingin menyiksamu dengan perasaan yang awalnya ku timbulkan."
__________________________"KALIAN INI SISWA, BUKAN BERANDALAN!" Suara menggelegar pak Maman kini berhasil memenuhi koridor lantai satu, mengundang rasa getir di hati beberapa siswa yang menjadi lawan bicaranya.
"Baju nggak pernah dimasukin, nggak pernah pake atribut lengkap, sepatu warna-warni, tambah lagi rambut digondrongin! Kalian mau sekolah, atau ternak kutu rambut?!" Sambung pak Maman, berjalan mondar-mandir menyusuri barisan siswa yang telah dia kumpulkan.
"Ingat! Tinggal sebulan lagi, kalian akan ujian. Tolong perhatikan kerapian kalian!" Ingat pak Maman kembali.
Selepas upacara, dengan cekatan pak Maman mengumpulkan siswa-siswa bandel, termasuk Mylan dan kawan-kawan. Mengumpulkan mereka di koridor lantai satu. Dia sudah lelah memberi teguran dengan kalimat maupun surat. Mungkin bagi siswa-siswa bandel ini, semua kalimat ocehannya hanya dianggap sebagai ancaman tak bermakna. Tapi kali ini, mari kita buktikan semuanya.
Sesaat pak Maman hilang di balik pintu ruang BK, dan kembali muncul dengan sebuah gunting di genggamannya.
"Saya yakin bukan cuma rambut saya yang bisa tumbuh kalau dipotong!" Jelasnya sambil mulai menarikan gunting itu di atas kepala para siswa berambut gondrong.
Sambil terus menggunting rambut secara asal, mulut pak Maman tak ada niat untuk berhenti mengoceh. Memberi keluh kesal yang selama ini dia pendam, terlebih kepada Mylan. Rasanya telinga Mylan ingin saling memisahkan diri, gara-gara namanya menjadi topik terfavorit untuk menjadi patokan kenakalan.
"Kamu juga Mylan! Ayah kamu itu kepala sekolah, harusnya kamu bisa memberi contoh yang baik buat temen-temen kamu. Bukannya malah ngajak yang nggak bener!" Ucap pak Maman saat berada tepat di hadapan Mylan.
"Yang jadi kepala sekolah kan dia, bukan saya. Saya ini cuma siswa, pak! Pernah dengar pepatah yang bilang kalau buah jatuh gak jauh dari pohonnya? Ya kali dia pernah kayak saya gini!" Cibir Mylan mulai merasa lelah dengan semua celotehan pak Maman.
"Ayah kamu itu nggak pernah bikin kelakukan kayak kamu!" Bantah pak Maman menundukan kepala Mylan untuk menggunting rambutnya.
Bukan Mylan namanya, jika mengalah dan membiarkan lawan bicaranya menang bersama argumen mereka. Dia malah menertawakan bantahan pak Maman dengan sangat keras.
"Berarti dia emang culun dari lahir, pak!" Seru Mylan tertawa terpingkal-pingkal. "Kalau saya sih—"
"Itu kalau kamu!" Potong pak Maman seraya menunjuk dada Mylan.
Dengan senyuman bangga, Mylan menurunkan jari telunjuk pak Maman. "Nah, itu bapak tahu sendiri. Itu kalau dia, bukan saya..." jelas Mylan masih terkekeh pelan.
Mulut pak Maman sudah tidak bisa meladeni Mylan lagi. Memang, Mylan paling tahu cara membantah lawan bicaranya hingga tak memiliki jalan untuk menyerang balik.
"Terserah kamu! Saya sudah capek nyadarin kamu!"
"Sini saya pijitin, pak. Gratis!"
Dengan gusar pak Maman meraup wajahnya sendiri. Sungguh dia sudah tidak sanggup menghadapi kelakuan Mylan. "Mending kamu langsung masuk kelas sekarang! Bisa-bisa kepala saya penuh uban, kalau ngeladenin kamu terus!" Pak Maman menarik kerah baju Mylan untuk segera keluar dari barisan itu.
"Pak, masa Mylan doang yang dikeluarin. Kita gimana?" Protes Yoga dengan cengiran khasnya.
Pak Maman lupa, jika kelakuan Mylan sudah menular pada kawan-kawannya. Mau tidak mau dia juga harus mengikutkan ketiga kawan Mylan, jika rambutnya tidak ingin dipenuhi dengan uban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful✔️[Complete]
Teen FictionRE-WRITING (SOON)!!! Pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan, walaupun juga bukan sebuah takdir. Namun tetaplah, bersamamu adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Aku tahu setiap pertemuan akan ada perpisahan, namun akan ada dimana sepasang insan...