29

77 4 0
                                    

BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN

"Harusnya hatimu bisa memilih satu nama untuk mengisi ruang hati tanpa terganti oleh nama lain."
________________________

Mylan menarik tuas gas semakin dalam, melajukan motornya dengan kecepatan tinggi untuk membelah jalanan yang macet. Dia tidak peduli jika telinganya harus dibisingkan oleh suara klason mobil, maupun suara teriakan Kania. Sebaliknya, Mylan malah menikmatinya. Sungguh. Dia menikmati pelukan yang melingkar semakin erat di perutnya.

"Lan, sumpah! Lo kalau mau mati jangan ngajak-ngajak gue dong!" Teriak Kania mengundang perhatian pengendara lain yang sama-sama menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau.

Mylan terkekeh lirih, kembali menarik kedua tangan Kania untuk melingkar di perutnya. "Lo maunya apa sih? Tadi nyuruh gue buat cepet-cepet, sekarang malah teriak-teriak nggak jelas," cibir lembut Mylan tidak terima.

Tentu saja Kania meminta Mylan untuk bergegas, sebab lima menit lagi apel pagi akan dilaksanakan, dan mereka masih berada di tengah perjalanan. Kania sangat yakin jika hari ini mereka akan terlambat.

"Ya iyalah gue suruh lo buat cepetan. Hari ini kelas gue ada pelajarannya pak Bagas, dan minggu kemarin dia udah nitip tugas. Mampus gue kalau—" kalimat Kania terpotong dengan suara dering telpon dari saku Mylan.

Jujur beribu jujur, telinga Kania sebenarnya sudah risih mendengar dering yang sejak tadi menemani mereka di jalanan. Sejak dari rumah Kania, ponsel Mylan tiada henti berdering. Entah dari siapa. Setiap kali Kania meminta Mylan untuk menjawab telpon itu, Mylan malah mengatakan jika itu telpon tidak penting dan mengalihkan pembicaraan.

"Lan, apa susahnya jawab telpon itu sih? Risi gue!"

Mylan tidak bergeming. Dia masih tetap fokus memperhatikan lampu lalu lintas yang sangat lama berubah menjadi hijau.

"Lo DENGER—" kalimat Kania kembali berubah menjadi jerit Kaget saat Mylan melajukan motornya melewati lampu lalu lintas yang baru saja berubah menjadi hijau. Sungguh, Mylan sialan!

~♥~♡~♥~

Kecepatan motor milik Mylan mulai dikurangi secara berangsur ketika mendekati sekolahan. Namun sebelum sempat kedua kaki Mylan turun dengan sempurna, Kania bersama jantungnya yang berdetak tak karuan lebih dulu turun melepas helmnya.

Bagaimana tidak, gerbang sekolah sudah ditutup. Padahal apel baru mulai tiga menit yang lalu.

"Mampus, Lan! Kita lambat nih!" Seru Kania sambil coba mengintip ke dalam sekolah. Sebenarnya jika Kania bisa memilih, Kania akan terlambat di setiap hari, kecuali hari Rabu. Bukan apa, dia hanya tidak ingin memiliki masalah dengan pak Bagas yang tidak tanggung-tanggung dalam memberi hukuman.

"Lo kenapa pake tegang gitu sih?" Tanya Mylan turun dari motor dengan santai.

Mendengar kalimat itu, Kania dengan rasa kesalnya mendekati Mylan. "Bebal banget sih. Lo tau kan, hukuman apa buat siswa yang terlambat? Bersihin wc! Dan pak Bagas ada di pelajaran pertama gue. Gue nggak mau dapat hukuman berlapis." Jelas Kania mengacak rambutnya frustasi mengingat bagaimana galaknya pak Bagas.

"Gue tau jalan masuk lain! Udah, tenang aja," ucap Mylan menenangkan Kania.

Namun, lagi-lagi dering ponsel Mylan kembali merusak suasana. Seperti tidak mengenal lelah, orang itu terlalu berambisi kepada Mylan.

"Siapa sih Lan?" Tanya Kania kembali sibuk melihat ke dalam halaman sekolah yang sepi. Berharap ada salah seorang anggota osis yang lewat dan jadi penolong Kania.

Painful✔️[Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang