41

57 3 0
                                    

-BAGIAN EMPAT PULUH SATU-

"Aku sadar telah menyakiti hatimu, tapi maaf saja menyakiti hati seseorang adalah keahlianku."
__________________________

Arka memperhatikan Kania yang masih berdiri memperhatikan seluruh penjuru parkiran sekolah. Meski Arka menarik paksa Kania untuk segera ke kelas, perempuan itu tetap saja bersikeras untuk tetap tinggal di tempat itu. Ada seseorang yang sedang ditunggunya, ada sebuah janji yang harus segera ditepatinya, dan kali ini tak akan ditundanya lagi.

"Seyakin apa lo, kalau Mylan mau dengar penjelasan lo?" Tanya Arka.

Kania kaget mendengar pertanyaan Arka. Sebelum-sebelumnya, Arka selalu mendukung setiap usaha yang dilakukannya, tapi kenapa kali ini Arka seakan ingin membuat Kania menyerah?

"Kenapa lo tanya kayak gitu?"

Arka mengedikkan bahunya. Sekali lagi dia meraih lengan Kania untuk memaksanya meninggalkan parkiran sekolah. "Gue tahu Mylan itu siapa, dan saat ini perasaanya itu masih kacau. Mending jangan lo ganggu dulu."

Baru saja mereka melangkah ingin meninggalkan parkiran, sebuah motor yang sangat Kania kenali berhenti tak jauh dari mereka. Sosok yang sejak tadi Kania tunggu akhirnya datang juga.

Mylan melirik jam tangannya sekilas, sepuluh menit sebelum ujiannya dimulai. Sepertinya dia masih memiliki waktu untuk mengambil obat sakit kepala di UKS. Dua hari tanpa tidur memang memeras banyak tenaga. Dia segera melepas helm dan turun dari motor tanpa melepas jaket dan earphone yang sejak tadi melantunkan musik dengan volume sangat keras.

Namun ketika tubuh Mylan berbalik, ia merasakan sesuatu baru saja menabrak dadanya. Tatapan dinginnya turun, menatap seorang perempuan yang kini tengah tersenyum lebar padanya. Apakah keadaan Mylan saat ini terlihat pantas untuk mendapat senyuman?

Setelah beberapa detik Mylan menatap Kania, tatapan itu beralih pada Arka yang berusaha menarik Kania untuk menjauh. Mereka tengah berdebat, namun Mylan benar-benar tidak mendengarkan perdebatan mereka. Dia juga tidak memiliki niat untuk mendengarnya. Lantas Mylan kembali berjalan melewati Arka dan Kania, tanpa menghiraukan keduanya. Dia tidak ingin diganggu, terlebih emosinya sedang tidak bisa dikendalikan.

Kedua kaki Mylan berhenti melangkah, tangan kanan yang semula bersarang disaku jaketnya kini tertarik keluar hingga kembali tertusuk dingin. Dengan napas yang tak karuan dan mata yang berkaca, Kania menahan erat lengan Mylan. Namun sekali lagi, lelaki itu sedang tidak ingin diganggu!

Dengan keras Mylan menghempas cekalan Kania. Tidak peduli jika tubuh Kania ikut kehilangan keseimbangan hingga harus mundur beberapa langkah. Harusnya Arka sudah menyampaikan semua ucapannya kepada perempuan ini.

"Ck! Jangan ganggu gue!" Bentak Mylan kembali berbalik.

Earphone Mylan terlepas dari telinganya, akibat tarikan paksa Kania. Perempuan itu kini tengah berdiri menghadang jalan di hadapannya.

"Gue punya hutang penjelasan ke--"

"Gue Nggak peduli! Penjelasan lo nggak ada gunanya!" Bentak Mylan kembali dengan tatapan dingin yang menusuk mata Kania. "Minggir! Jangan buang-buang waktu gue!"

Kedua tangan Kania mengepal keras, menahan dadanya yang semakin sesak saja. Apa sebesar ini kesalahannya kepada Mylan?

"Gu--"

"Gue bilang minggir!"

Dengan jelas Mylan melihat mata Kania terpejam kuat akibat bentakan itu. Tapi mau bagaimana lagi, memang inilah yang seharusnya Mylan lakukan.

"Jangan pernah ganggu gue lagi," ucap Mylan memperhatikan kepala Kania yang masih tertunduk. "Asal lo tahu aja, gue udah capek dengan semua akting ini!"

Mendengar ucapan itu, Kania segera mengangkat kepalanya menatap Mylan yang ingin melanjutkan kalimatnya.

"Lo harusnya sadar, kalau selama ini lo itu nggak lebih dari bahan taruhan gue dan Salman." Tatapan Mylan masih tajam menatap pupil Kania intens. "Harusnya lo sadar diri, mana mungkin gue cinta sama cewek kayak lo!"

Air mata yang sejak tadi Kania tahan akhirnya jatuh juga. Dadanya sudah teramat sesak mendengar semua kalimat yang Mylan ucapkan. Semua yang sudah dilaluinya bersama Mylan hanya sebuah skenario? Sekejam itukah Mylan yang sebenarnya?

"Jadi, mulai sekarang jangan ganggu gue lagi. Anggap aja lo nggak pernah ketemu gue." ucap Mylan sesaat sebelum berjalan melewati Kania.

"Lo bohong!" Seru Kania menghentikan Mylan. "Lo barusan bohong kan? Gue tahu lo bohong, Lan!" Seru Kania mencengkram erat tangannya sendiri.

"Seyakin apa lo?" Tantang Mylan.

Tangan Kania terangkat, menunjuk lengan kanan milik Mylan, tepatnya menunjuk gelang hitam yang sama seperti milik Kania. "Lo bohong, Lan!"

Mylan terdiam sejenak, menatap Kania yang terlihat benar-benar tersiksa oleh perasaanya sendiri. Sungguh menyedihkan, tapi menyakiti perasaan orang adalah keahlian Mylan.

Mylan melepaskan gelang yang entah sudah berapa lama digunakannya itu, lalu melemparnya ke arah Kania. Dia rasa ini sudah cukup untuk mengakhiri segalanya. Tanpa sepatah kata Mylan meninggalkan Kania. Dia tidak perlu mendengar panggilan dari perempuan itu lagi, dia tidak perlu menyakitinya sampai sedalam itu. Tugasnya kali ini telah selesai, Mylan hanya perlu melepaskan Kania. Ini bukanlah pekerjaan yang berat untuknya. Bahkan sebelum mengenal Kania pun dia baik-baik saja, jadi apa yang perlu dikhawatirkannya?

Mylan menghempaskan tubuhnya pada sebuah sofa yang berada di ruang UKS. Sepertinya hari ini dia tidak akan mengikuti ujian, kepalanya masih terlalu penuh dengan beban. Seseorang sepertinya tidak perlu khawatir dengan nilai, sebab bagaimana pun caranya Zidan pasti akan mengurus segalanya.

Tapi apa yang baru saja dilakukannya kepada Kania, apa tidak papa? Lagi pula, bukankah sebentar lagi semuanya akan berakhir? Dia juga akan pergi jauh dari Kania. Sekali lagi, Mylan menganggap pilihannya sudahlah tepat. Walau seharusnya disesali, tapi hal itu tidak akan merubah apa yang sudah terjadi.

Matanya terbuka saat merasakan ponsel yang berada di dalam saku jaket bergetar. Sebuah pesan masuk. Deret angkat yang muncul pada layar ponsel sebenarnya cukup membuat Mylan muak, tapi dia dibuat penasaran dengan sebuah foto yang Salman kirim padanya.

Seketika Mylan bangkit setelah melihat gambar yang Salman kirim padanya. Dengan kuat dia memukul dinding di belakanganya. Lagi-lagi Salman berhasil menyulut api emosi Mylan. Untuk kali ini, Salman sudah keterlaluan.

"Bajingan! Brengsek!" Umpat Mylan segera meninggalkan ruang UKS. Dia harus memberi Salman pelajaran.

Painful✔️[Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang