-BAGIAN ENAM BELAS-
"Rasanya sangat perih melihat orang yang diperjuangkan malah memperjuangkan orang lain."
________________________Langit sudah berubah gelap menenggelamkan matahari ke sisi lain bumi dan Mylan belum juga kembali ke perkemahan. Sudah delapan jam sejak Mylan masuk ke dalam hutan untuk mencari Kania, tapi sampai sekarang mereka belum kembali lagi.
Arka, Gio, Yoga, Nara, Anya, dan Fina menunggu kedua orang itu di depan api unggun dengan pikiran yang tidak karuan. Bagaimana jadinya jika kedua orang itu tidak kembali hingga besok? Sedangkan sekarang, kabar hilangnya Mylan dan Kania sudah terdengar hingga telingga pak Zidan. Apa yang harus mereka lakukan di tengah kegelapan yang mencekam ini? Mereka tidak bisa memasuki hutan dengan keadaan gelap gulita seperti ini. Bisa jadi mereka ikut tersesat, atau mungkin mereka mendapat serangan dari hewan buas. Bagaimanapun juga ini adalah hutan yang akan terlihat asing di malam hari.
"Kita nggak bisa diam kayak gini terus," keluh Fina menatap teman-temannya.
"Tapi kita juga nggak bisa berbuat sesuatu di tengah hutan yang gelap gini, Fin." Anya tahu Fina pasti merasa khawatir kepada Kania, sama seperti yang dirasakan oleh yang lain.
Fina menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Sudah, dia sudah tidak bisa membendung air matanya lagi. "Gue nggak tahu bagaimana keadaan Nia di sana. Kalian tau, rasanya gue terlalu jahat. Di sini, gue masih bisa melihat terangnya lampu, hangatnya api, bisingnya keramaian, dan gue biarin salah satu temen gue di sana! Di dalam hutan yang dingin, sunyi, gelap, menakutkan! Dan gue merasa bodoh karena nggak bisa ngelakuin apapun untuk dia!" Seru Fina dengan suara meninggi.
"Fin, bukan cuma lo yang khawatir, kita juga khawatir sama mereka." Ucap Gio berusaha menenangkan Fina.
"Khawatir apa yang lo maksud dengan berdiam diri dan berharap semoga mereka baik-baik aja? Ha? Khawatir apa?" Rasanya Fina sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Dia tidak bisa membiarkan Kania sendiri di dalam gelapnya malam. Perempuan itu sangat pengecut di tengah kegelapan. "Biar gue sendiri yang cari Nia!" Baru saja Fina membalikkan tubuh, lengan Gio sudah mendekap tubuhnya, menahan perempuan itu untuk tidak gegabah.
Melihat Fina yang terus memberontak histeris, membuat Nara dan Anya ikut menangis. Kenapa mereka harus terpisah? Jika saja mereka tidak meninggalkan Kania, pasti Kania tidak sendiri di dalam hutan itu. Setidaknya mereka bisa terjebak sama-sama di dalam hutan yang gelap itu, daripada hanya Kania seorang.
Anya dan Nara mendekati Fina yang kini terduduk di tanah dengan berlinang air mata. Mereka memeluk tubuh Fina dengan sangat erat. "Kalau aja tadi kita nggak ninggalin Kania, dia pasti nggak akan di sana sendiri," lirih Fina membagi tangis dengan Anya dan Nara.
Di saat mereka tengah bingung mencari cara untuk menemukan Mylan dan Kania, tiba-tiba kehadiran Salman mengalihkan perhatian.
"Gimana?" Tanya Arka kepada Salman.
Salman mendengus dengan kasar, lalu menghentakkan tangan yang sejak tadi Belvi cekal. "Untuk pencarian, kita bisa bergerak besok jam empat pagi. Kita nggak bisa masuk malam ini, terlalu berbahaya. Kita nggak bisa ngambil resiko yang lebih besar lagi."
"Kalau besok kita kehabisan waktu? Kan besok jadwal kegiatan ini berakhir? Apa pak Zidan–" ucapan Nara terpotong dengan gelengan kepala Salman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Painful✔️[Complete]
Fiksi RemajaRE-WRITING (SOON)!!! Pertemuan kita bukanlah sebuah kebetulan, walaupun juga bukan sebuah takdir. Namun tetaplah, bersamamu adalah waktu-waktu yang sangat berharga. Aku tahu setiap pertemuan akan ada perpisahan, namun akan ada dimana sepasang insan...