40

60 3 0
                                    

-BAGIAN EMPAT PULUH-

"Maaf, karena aku telah berhasil membuatmu kecewa."
__________________________

Senin pagi, hari dimana Kania akan menghadapi Ujian Akhir semester dan disini pula sosok Salman berada. Duduk di hadapan Fakih yang sibuk dengan layar ponsel. Entah sudah berapa kali benda pipih itu bolak-balik didekatkan ke telinganya. Sepertinya pagi ini Fakih sangat sibuk oleh kejaran deadlinennya.

Namun ada yang berbeda dari suasana pagi rumah ini. Sejak tiga puluh menit yang lalu, Salman belum melihat wajah Lisa maupun Aira. Padahal biasanya mereka akan sibuk berkeliaran di rumah ini saat pagi hari. Mempersiapkan keperluan mereka sebelum meninggalkan rumah.

"Jadi bagaimana dengan hasil ujianmu?" tanya Fakih meletakkan ponselnya di atas meja. Setelah sekian lama Salman berada di hadapannya, Fakih baru saja memiliki kesempatan untuk berbincang dengan Salman.

Salman mengangkat kedua alisnya, seraya mengumbar senyum bangga. Pertanyaan yang tak seharusnya dijawab oleh seorang Salman. "Berjalan sangat lancar," jawabnya ringan.

"Dan program studi lanjutanmu di Milan?" dengan jelas Fakih menangkap raut terkejut Salman. Harusnya pertanyaan yang baru saja Fakih lontarkan bukanah hal yang mengejutkan. Setahu Fakih, pertanyaan itu sudah lama dibahas.

"Bukannya ayahmu sudah sepakat akan mengirim kamu ke Milan untuk melanjutkan perusahaanya? Saya yakin, kami telah membahas tentang hal ini jauh hari sebelum hari pertemuan keluarga." lanjut Fakih memastikan keterkejutan Salman.

Salman masih diam tidak menjawab. Dia benar-benar tidak mengerti tentang apa yang baru saja Fakih jelaskan padanya. Tidak ada seorang pun di rumahnya yang memberi tahu jika Salman akan disekolahkan di Milan.

"Kak Salman ngapain disini?" Masih memikirkan kebingungannya, Kania melirik penuh selidik pada Fakih. Bukan hal yang wajar jika Fakih mengundang seorang lelaki yang bersangkutan dengan Kania ke kediaman mereka. Pasti ada sesuatu diantara mereka. Kania bahkan tidak mengetahui jika Salman adalah anak dari salah satu rekan kerja Fakih.

Fakih melirik jam tangan hitam di lengannya, "Berapa menit lagi ujiannya dimulai?" tanyanya pada Fakih.

"Kurang lebih satu jam."

"Pertemuan saya sudah molor setengah jam. Salman yang akan bertanggung jawab sampai ujian mu selesai." Jelas Fakih mengambil kemeja hitam yang tersampir pada sofa sebelahnya, lalu berlalu begitu saja dari hadapan Salman dan Kania.

Mata Salman melirik raut wajah Kania melalui ekor matanya. Ada sedikit ekspresi geram yang tersirat di wajah perempuan itu. Ya... siapa juga yang tidak geram jika memiliki seorang ayah seperti Fakih! Kepala Salman bahka tidak memiliki ruang untuk membayangkan Fakih yanng menjadi ayah sambungnya. 100% Salman pasti sudah lama minggat.

"Ayo gue anter, keburu macet jalannya!"

Tidak ada suara yang keluar dari mulut Kania, kecuali kepalanya yang bergerak mengangguk sebanyak dua kali. Dia kemudian mengekor pada Salman yang berjalan meninggalkan ruang tamu.

Sekilas, dari belakang sini Kania dapat melihat sosok Mylan, namun perlakuan ini mengnyadarkan Kania jika sosok yang dilihatnya bukanlah Mylan. Mylan tidak mungkin membiarkan Kania untuk mengekorinya lagi, dan mana mungkin Mylan membiarkan Kania untuk membuka pintu mobil sendiri? Huft... sepertinya dia benar-benar merindukan Mylan. Ya tentu saja. Akhirnya hari penjelasan yang ditunggunya sudah tiba. Setelah harus mengurung rasa bersalahnya selama 24 jam, akhirnya dia mendapatkan kesempatan untuk bertemu Mylan.

Kedua mata Kania bergerak cepat mengikuti deretan huruf yang membentuk kalimat di bukunya, namun sepertinya tak satupun tulisan itu yang Kania mengerti. Banyak hal yang terus beterbangan di kepalanya. Banyak hal yang harus dilakukannya untuk memecahkan segala masalahnya.

Tapi tunggu!

Jantung Kania tiba-tiba berdetak amat cepat saat merasakan sebuah bibir menempel beberapa detik pada pelipisnya.

Tepat ketika bibir itu menjauh, dengan mata melotot terkejut Kania menatap Salman. Sedangkan yang dilihat kini meraih kepalanya dan sekali lagi mengecup pucuk kepalanya. "Dari tadi gue ajak bicara, malah dikacangin! Gue juga perlu perhatian." lirih Salman yang entah mengapa terdengan begitu lembut di telinga Kania, tapi dengan segera Kania menepis pikirannya itu.

"Kak Salman fokus nyetir aja, aku belum sempat belajar," jelas Kania yang kembali menumpahkan seluruh perhatiaanya ke buku yang ada di pangkuannya.

"Baru juga kena lampu merah, berhentinya pasti lama," jawaban Salman sama sekali tidak mendapatkan tanggapan dari Kania. Perempuan itu dengan diam membaca setiap paragraf bukunya.

Dengan penuh keusilan Salman menarik paksa buku Kania, berusaha untuk mendapatkan perhatian dari perempuan itu.

Kepala Kania berpaling mengikuti arah buku itu pergi, namun dengan sengaja Salman mendekatkan wajahnya. Kesempatan ini yang Salman incar!

Tangan kirinya melingkari pinggang Kania, memeluk tubuh Kania yang kini bertabrakan dengan dada Salman. Bibir mereka benar-benar saling bertemu.

Disaat mata Salman terpejam menikmati kesempatan yang berhasil didapatnya, air mata Kania justru tiba-tiba jatuh.

Dengan paksa Kania mendorong tubuh Salman menjauh, lalu melayangkan tamparan keras di pipi lelaki itu. Bagaimana bisa Kania membiarkan Salman mencuri kesempatan yang seharunya Kania jaga? Buku yang berhasil Kania rebut, kini dilemparkannya pada Salman. Demi apaun itu, Kania benar-benar kecewa. Entah pada dirinya maupun pada Salman.

"Turunin aku di sini!" Tegas Kania.

"Nia... tadi gue nggak sengaja," alasan Salman berusalah meraih lengan Kania, namun ditepis.

"Aku bukan cewe murahan yang bodoh kak! Otakku masih bekerja dengan optimal!"

Kedua tangan Kania berusaha melepas safety beltnya meski beberapa kali dicegah oleh Salman. Begitu safety beltnya berhasil terlepas, dengan segera Kania membuka pintu dan keluar dari mobil Salman. Dia tidak lagi peduli dengan beberapa kendaraan yang hampir menabraknya, beruntungnya Tuhan masih meloloskanya dari maut. Yang terpenting, dia harus mencari jalan yang tidak bisa Salman jangkau dengan mudah.

Sial! Salman benar-benar brengsek! Dengan begini lengkap sudah rasa bersalahnya terhadap Mylan. Secara tidak terang-terangan, Kania baru saja mengkhianati perasaan Mylan.

"Nia! Woy! Lo ngapain di sini?" Teriak Arka dari motornya yang berhenti tidak jauh dari tempat Kania berdiri. "Ini udah jam berapa, dan lo masih di sini? Lo mau jadi kambing tua?" ucap Arka yang sama sekali tidak memperhatikan wajah Kania yang tertunduk.

Tentu saja Arka terkejut ketika tiba-tiba Kania berlari memeluknya erat. Arka tidak tahu apa yang membuat Kania menangis, sebab belakangan banyak sekali masalah yang menimpa sepupunya ini.

"Lo kenapa sih? Lo belum makan apa gimana? Pagi-pagi udah kayak gembel aja, nangis di pinggir jalan!" cibir Arka menatap Kania.

Sialnya Kania harus mempunyai sepupu seperti Arka. "Orang nangis itu dihibur, bukan malah ngebacot!" sinis Kania memukul bahun Arka cukup keras.

"Anjir, sakit bego! Untung aja gue pake helm." ujar Arka mengelus bahunya.

Seraya tertawa lirih Kania menyeka air matanya, "Tau ah, gelap!" ucapnya dengan memanyunkan bibir. Tanpa permisi Kania segera duduk di jok belakang Arka seraya memeluk erat perut Arka.

"Eh, lo ngapain disitu? Aduh, tempat duduk paling mahal tuh!"

"Sok iye lo! Muka aja pasaran, sok-sokan lagi. Jijik gue!"

"Ye...-- "

"Jangan bacot! Gue nggak mau jadi kambing tua bareng lo!" Sentak Kania menekan panjang bel motor Arka yang membuat Arka segera menarik gasnya menuju sekolah.

Walau masih sangat penasaran dengan penyebab Kania menangis, namun Arka bukanlah tipe seseorang yang ingin ikut campur dengan masalah orang lain. Bagaimana pun itu, setiap orang juga berhak mempunyai ruang privasi mereka. Tidak harus semua masalah yang mereka bagikan kepada orang lain. Selain itu, Arka juga tidak menjamin bisa memberi solusi ketika jika Kania menceritakan masalahnya. Maka dari itu, Arka akan menunggu sampai Kania yang mengatakannnya terlebih dulu.

Painful✔️[Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang