Malam berlanjut. Hani di rumahnya sedang melamun bingung di sebuah balkon rumahnya. Saat itu bulan tidak nampak di langit.
"Kok gak ada bulannya? Bukannya sekarang tanggal lima belas, biasanya tuh bulan lagi indah-indahnya, apa mendung ya?" gumam Hani menatapi atap langit.
Ia pun teringat akan makan bersama siang itu. Hal itu sungguh membuatnya bingung.
"Kenapa ya, rasanya gak enak gini liat mereka berdua? Apa iya gue harus terus nahan sakit hati demi keluarga?"
Hani lantas mengambil ponselnya, ia lalu mulai memutar musik.
Rama tidak bisa melupakan kejadian di resto siang itu.
"Mereka kayak ada sesuatu, tapi itu gak mungkin. Rama, lo harus fokus ke depan bukan ke masalalu, walaupun gue sekarang ditolak Hani, mungkin suatu saat pasti bisa dapetin dia," gumam Rama.
Malam hari tiba. Alkan merasa bosan di apartemennya. Ia keluar mencari udara segar menggunakan sebuah motor kesayangannya. Alkan pergi menyusuri sekitar kota.
Ia berhenti sejenak di sebuah minimarket, sekedar membeli kopi kaleng. Alkan duduk di teras minimarket. Malam itu, masih ramai orang berlalu-lalang."Gue rasa orang pada habisin duit gajiannya," gumam Alkan. Ia terkekeh karena bergumam sendiri dan meminum kembali kopi kalengnya.
Alkan mulai memainkan ponselnya dan mendapati sebuah chat dari Syila.
"Ah elah, ini perempuan kayaknya dia makin suka deh sama gue, betein banget," gumam Alkan begitu jengkel.
Setelah membeli keperluannya di salah satu toko, Hani begitu girang menjinjing barang yang ia perlukan. Malam itu, ia keluar dengan begitu senang karena melihat banyak lampu dan orang-orang. Hani melewati mesin capit boneka dan ia terdiam sejenak menatapi mesin itu. Kenangan Hani mulai muncul ketika Ayahnya pernah bersusah payah mendapati boneka dalam mesin itu waktu dirinya masih kecil. Sungguh, perjuangan Ayahnya mendapatkan boneka untuknya membuat Hani begitu sedih teringat dengan hal itu. Dulu, Ayahnya hanya memiliki lima koin untuk berhasil mendapatkan boneka itu, namun setelah empat koin terpakai, boneka tak satu pun ia dapatkan. Hingga koin terakhir, Ayah Hani sungguh bertekad untuk membahagiakan puterinya. Ia berjuang keras hingga akhirnya mendapatkan boneka yang Hani inginkan. Dulu, ia begitu girang hingga memeluk boneka itu dengan begitu erat.
Karena kenangannya, Hani memangis sambil mengelus mesin boneka itu. Hal itu membuat orang-orang di sekitar terus menatap Hani dengan aneh.
"Ngapain tuh cewek? Apa dia udah gak waras? Hheehh,"bgumam Alkan sambil meminum sekaleng kopi. Ia pun sempat menertawakan Hani saat itu.
Namun, Alkan menoleh lagi pada wanita itu karena penasaran. Matanya memicing mengamati wanita itu. Matanya melotot tajam dan Alkan menyemburkan kopinya tak sengaja dengan begitu kaget. Hal itu membuatnya ditatap beberapa orang dengan heran.
"Hani, ngapain dia malem-malem ke sini?"
Alkan mencoba menghampiri Hani dengan penasaran.
"Hani!"
Hani begitu terkejut karena Alkan di sana. Ia pun heran berpikir dari mana asal datangnya Alkan?
"Kamu ngapain berdiri di depan mesin boneka? Kamu mau boneka?"
"Nga ... ngapain kamu ada di sini?"
"Heh, emang kota ini punya kamu. Dunia itu luas, apapun bisa terjadi."
"Ih kenapa harus ketemu ni orang sih nyebelin banget." Hani membatin jengkel. Matanya memutar dengan malas.
Hani hendak meneruskan langkahnya untuk pulang. Tapi, bukan Alkan jika ia tak menghentikan Hani pergi. Ia menahan tangan Hani untuk berhenti.
"Kamu ngapain di sini?"
"Bukan urusan kamu, lepasin aku."
"Han, kamu aneh ya? Sepuluh boneka juga kamu sanggup kali buat beli pake gaji kamu itu," ucap Alkan senyum tipis. Karena yang ia lihat tadi, Hani menatapi boneka di dalam mesin itu sambil menangis.
"Ngomong apa sih kamu Alkan?" Hani jengkel sendiri. Padahal ia tahu bahwa ia sempat membuka kenangannya lagi bersama sang Ayah.
"Mesin ini cuma pajangan. Lagi pula mudah banget kalau ngambil boneka dari mesin ginian, apa susahnya juga," ucap Alkan dengan begitu sombongnya.
"Emm mudah? Mudah ya? Maaf, aku gak percaya!"
"Apa?"
Alkan mulai jengkel dan langsung menukarkan uangnya dengan koin.
Tanpa sadar, ia seperti menerima tantangan dari Hani. Alkan bahkan tanpa malu memainkan mesin itu. Memang, orang lain melihatnya dengan aneh begitu pun Hani sendiri yang malu karena ia berdiri di samping Alkan yang berjuang mencapit boneka.
"Heh Alkan, kamu ngapain sih? kayak anak kecil aja, maluin tau gak."
"Aku lebih baik malu dari pada gak di percaya sama kamu, aku pastiin kamu dapet boneka itu, liat aja," ucap Alkan begitu serius.
Alkan mencoba sekali, tapi gagal.
Hani terkekeh karena hal itu. Alkan bahkan tak mengaku jika dirinya memang tak pernah memainkan mesin itu."Maaf ini baru pemanasan, liat sekali lagi."
"Kenapa bonekanya gak mau kena sih," batin Alkan jengkel.
Alkan sudah mencoba lima kali tapi gagal.
"Alkan udah lah, kamu kan Direktur, jangan malu-maluin diri sendiri.
"Diem Han, sedikit lagi pasti dapet kok."
Alkan berusaha sekeras apa yang dia mau, sampai wajahnya mengeluarkan keringat.
Setelah berusaha dengan keras, Alkan akhirnya dapat juga. Ia sangat bahagia di tengah keramaian kota. Dilemparkan boneka tersebut pada Hani.
"Apa-apaan sih ini," ketus Hani.
"Ambil itu, aku sampe berjuang kayak gitu, sia-sia kalau gak diambil."
Alkan lalu berjalan dengan keringat mengucur di pelipisnya. Ia bahkan menyembunyikan rasa kelelahannya di depan Hani. Hani menyusul langkahnya. Malam itu, mereka bahkan tak sengaja bertemu.
"Sekarang musim hujan ya?" tanya Alkan.
"Mungkin, emangnya kenapa?"
"Pantes aja bulannya gak keliatan,mendung gini," sahut Alkan.
Hani menatap wajah Alkan yang masih menatap ke arah langit.
"Aku tau, aku aku ganteng Han," ucap Alkan. Ia tersenyum karena ia tahu sedari tadi Hani menatapnya.
"Apa?" Hani jatuh canggung bersambung jengkel.
"Nih liatin wajah aku sepuasnya, gratis." Alkan mendekatkan wajahnya ke depan Hani.
"Kamu apa-apaan sih, pede banget."
Alkan terkekeh geli melihat Hani yang salah tingkah.
"Ayo, aku anterin kamu pulang."
"Jangan, gak usah, aku bisa pulang sendiri."
"Han ini malem loh Han, nanti kalau kamu digangguin orang gak dikenal gimana?"
"Kamu kok lebay gitu."
"Han, aku bukan lebay."
"Kalau nanti ada yang liat kita itu gak baik, udah gitu kan kamu punya tunangan."
Alkan tertegun kaget ketika Hani mengucap kalimat itu. Ia lantas menggenggam keras tangan Hani dan berusaha menjelaskan apapun itu.
"Hani aku mohon, biarin aku nganter kamu pulang, udah gitu aja. Aku gak bakalan macem-macem, aku bukan laki-laki bodoh Han," sahut Alkan dengan tatapan tajamnya.
Hani akhirnya mau, dan Alkan mengantarkannya pulang.
"Tidur cepet, jangan keliaran malem-malem lagi. Gak baik, aku pulang."
Sekali lagi, tetesan air mata Hani keluar melalui celah matanya.
"Han, jangan lebay. Kamu kenapa gini sih Han, udah lupain semuanya, kita cuma partner. Ya, kita cuma partner," batin Hani.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOONLIGHT (Love in Business)
Teen FictionKetika sebuah bisnis mencampuri kehidupan percintaan antara Alkan dan Hani. Alkan Adiputra, anak pengusaha tajir yang hidupnya mulai bermasalah ketika ia berpisah dengan cinta pertamanya karena sebuah bisnis sang Ayah. Mereka memutuskan untuk berpis...