41. Calon CEO

237 12 0
                                    

Alkan pulang ke rumah orangtuanya. Setelah ia diberikan tugas di perusahaan utama, tak mungkin untuk Alkan bisa bolak-balik ke apartemennya. Hal itu pasti akan menguras banyak waktunya.

"Alkan, gimana pengalaman kamu gantiin tugas Ayah?"

"Emm menurut Alkan sih, sama aja Yah kayak jabatan Alkan sebelumnya."

"Nah, kamu udah paham kan, suatu saat nanti kamu yang bakalan jadi CEO tertinggi dan Ayah tinggal duduk manis di sini sama ibu kamu."

"Ayah apaan sih. Ayah masih sehat, toh Alkan juga gak mau tua jadi CEO kan, dia masih muda. Jadi Direktur perusahaan cabang aja keliatannya udah pusing, iya kan Alkan?" tanya Bu Fika.

"Wah cuma ibu aja yang ngertiin aku, makasih bu," sahutnya senyum.

"Kamu udah ketemu orangtuanya Syila?"

Pertanyaan itu membuat Alkan tertegun. Ia pun sebenarnya sangat malas untuk membicarakan wanita itu.

"Em udah kok Yah."

"Alkan, tolong ubah sikap kamu di depan Pak Bondan dan juga Syila. Gimana pun, nanti kan mereka jadi keluargamu juga," ucap Pak Deni sambil menyeruput secangkir teh herbal.

Bu Fika merasa cemas mendengar perkataan Pak Deni. Ia pun sebenarnya tidak ingin mengorbankan perasaan anaknya. Namun, keputusan Pak Deni juga, tak bisa ia batalkan. Bu Fika selalu kena amarah jika ia menyangkal akan perjodohan anaknya itu demi perusahaan. Sungguh, terbuat dari apa hati Pak Deni yang selalu mementingkan jabatannya.

"Akhirnya bisa santai juga, gue telepon Nino ah," gumam Alkan.

"Halo Pak Alkan, bagaimana tugas Bapak di sana?"

"Halo Pak Alkan, bagaimana tugas Bapak di sana?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lancar-lancar aja kok. Oh iya, gimana keadaan kantor? Lancar kan?"

"Lancar dan baik Pak, kalau ada tugas yang harus saya kerjakan tolong beritahu saya Pak."

"Oh iya, soal pertemuan dengan investor besok, saya akan hadir. Kamu gak usah bilang saya tugas di perusahaan utama."

"Kalau gitu baik Pak, besok saya tunggu di kantor Pak."

"Oke oke."

Sungguh, sehari tak ke Moonlight membuat Alkan begitu merindukan Hani. Walaupun yang ia terima hanya kejutekan dan amarah Hani, Alkan selalu menganggap itu adalah peristiwa penting yang membahagiakan seumur hidupnya. Mengenal Hani, membuat Alkan benar-benar mengerti tentang kehidupan. Dan kepergian Hani pun memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi dirinya, yaitu belajar untuk menerima kenyataan dan menahan perasaan. Ia menatapi wajah Hani lewat wallpaper ponselnya. Alkan begitu sangat merindukannya saat ini. Ia pun ragu ketika berniat untuk menelpon. Yang ada, Hani pasti akan marah-marah tak jelas terhadapnya.

"Kalau gue telpon, nanti dia bicarain kerjaan. Padahal kan gue pengin banget denger suara dia. Gue pengen liat dia." Alkan bergumam menatapi layar ponselnya.

Malam hari itu, seorang tetangga mengetuk pintu Hani.

"Hani, Hani!"

"Iya sebentar."

Hani membuka pintu, mendapati bibi di rumah sebelah bertamu ke rumahnya.

"Hani, Bibi bawain kamu makanan enak."

"Wah Bibi repot-repot malem begini juga."

"Gak apa-apa kok Han, kan kita tetangga. Bibi tau kalau siang kamu sibuk. Jadi mainnya malam, maaf mengganggu ya."

"Ah nggak ganggu kok Bi. Aku seneng Bibi main. Kalau gitu silakan masuk Bi. Biar kita makan sama-sama aja, makan sendirian gak enak Bi."

"Ya udah ya udah, blBibi temenin kamu."

Di depan televisi, mereka saling berbincang hangat.

"Gimana Han kerjaan kamu?"

"Lancar kok Bi," sahutnya senyum.

"Syukur deh. Oh iya Han, waktu itu pernah ada laki-laki yang ke rumah kamu. Dia nanyain kamu, waktu itu kamu lagi cari kerjaan."

"Serius? Siapa Bi?"

"Pakaiannya rapih, berdasi, wajahnya ganteng dan kira-kira tingginya segini."

"Jangan jangan Alkan," batin Hani.

"Emm dia ke sini Bi?"

"Iya, dia nanyain kamu."

"Oh, dia itu bos saya Bi."

"Ya ampun beneran? Bibi baru ngeliat laki-laki kayak dia Han, hidungnya mancung tinggi, ganteng, berwibawa juga."

"Wah jangan-jangan Bibi suka lagi sama dia."

"Ih ya ampun, kamu jangan kenceng-kenceng ngomongnya. nanti Om kamu denger, hehehe."

"Jadi Bibi serius suka?"

"Ya ampun si Hani, Bibi cuma bercanda, lagi pula menurut Bibi dia lebih cocok sama kamu Han, kenapa bukan kamu yang suka sama dia."

"Apa?" Hani malah canggung setelah mengejek Bibi tetangganya.

"Ya ampun Bi, kita sedari tadi cuma ngomong hal yang gak jelas gini hahaha, aku sampe lupa mau cobain makanan Bibi."

"Oh iya, sini biar Bibi ambilin."

"Makasih Bi."

MOONLIGHT (Love in Business)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang