15. Permainan Kejujuran

385 18 0
                                    

Di sela makan, mereka memainkan sebuah permainan kejujuran dengan menggunakan botol yang diputar. Putaran pertama dilakukan dan botol itu langsung mengarah ke Dena. Dena langsung mendapat incaran pertanyaan dari Ferdo.

"Kena lo Dena, hehe. Gue mau nanya, tipe cowok apa yang pertama kali lo pacarin?"

"Hayo jawab!"

"Ferdo, pertanyaan kayak gitu ditanyain. Pasti cinta pertama Dena itu waktu dia SD kan!" Alkan terkekeh mengejek Dena.

"Pak Alkan, saya nanya Dena bukan Bapak."

"Tunggu dulu. Saya gak setuju nih. Kalau kalian di luar perusahaan, jangan panggil saya bapak. Saya masih muda tau. Panggil aja nama saya, kamu juga Nino."

"Baik Pak, maksud saya iya Alkan."

"Udah cepet jawab," tukas Nisa.

"Kalau Dena sih pertama kali suka sama cowok itu cowok bad boy di SMA deh kayaknya."

"Uhhh, bad boy. Bahaya banget." Heru menyeringai aneh dengah senyuman.

"Nggak lah, bad boy tampan dan perhatian dong."

"Gak percaya gue Den," sahut Ferdo sambil terkekeh.

Botol diputar lagi. Dan kini, giliran botol itu yang berhenti tepat pada Alkan duduk. Hal itu membuat Alkan tertegun bingung.

"Sekarang kamu Alkan," ucap Nino sambil tersenyum

"Jngan bikin pertanyaan yang aneh-aneh intinya. Ayo, apa pertanyaannya?" Alkan begitu siap menerima pertanyaan para partnernya.

"Giliran saya yang kasih pertanyaannya," ucap Heru dengan antusias.

"Kamu Heru? Ya udah apa?"

"Alkan, kami kan jarang tau kisah cinta kamu nih, karena kamu belum pernah bawa cewek ke kantor atau dijengkuk cewek gitu. Nah, pasti kan setiap orang itu punya cinta pertama. Iya kan? Iya kan? Coba jawab, cinta pertama kamu itu orangnya kayak gimana?"

"Pertanyaannya bagus Her," timpal Ferdo.

Hani tertegun setelah mendengar pertanyaan yang Heru lontarkan pada Alkan. Ia pun sempat gugup saat itu. Hani menghilangkan kegugupan itu dengan memakan cemilan sedari tadi.

"Cinta pertama saya ..." Alkan melirik Hani diam-diam.

"Dia itu, cewek pertama yang bikin saya bahagia setiap hari. Dia manis, baik, tapi jutek. Kalau udah marah, susah buat di ademin. Matanya indah, bulat, juga bercahaya kayak bulan purnama. Sulit banget mendeskripsikan dia karena dia benar-benar sempurna di mata saya."

Alkan melamun ketika ia membayangkan sosok cinta pertamanya yang ia deskripsikan dengan begitu detail. Lamunannya pun terus bermuara pada Hani. Hal itu mengganggu Hani yang terus menghindari tatapan Alkan sedari tadi. Namun, tak ada yang menyadari bagaimana kedua Alkan yang tak sengaja pula sedang ikut mendeskripsikan.

"Ekhemm, aku mau ke kamar duluan. Ponsel aku ketinggalan," ucap Hani disela Alkan menjelaskan jawabannya.

"Yeh si Hani. Curang banget, belum kena udah pergi," sahut Nisa.

"Aku ikut Han." Dena mengejar langkah Hani.

Alkan menatap kepergian Hani. Ia pun memecah lamunannya dan sadar bahwa ia lupa kalau hari indah itu telah berakhir. Dan orang yang ia deskripsikan, telah lama pergi dari hidupnya. Walaupun ia tahu, orang yang di deskripsikan tersebut ada di depan matanya.

"Wah kenapa pada pergi sih, cerita Alkan bagus loh. Haha walaupun saya gak percaya," ucap Heru.

"Kamu saya pecat!"

"Lah kenapa saya dipecat Pak? Saya tarik kembali kata-kata saya."

"Hehe saya cuma bercanda kok. Ekspresi lo lucu!"

"Ya ampun, saya udah takut setengah mati loh."

"Dasar kalian. Udah larut malam, sebaiknya Pak Alkan harus istirahat," ucap Nino.

"Liat, Pak Nino bukan cuma jadi sekretaris Pak Alkan. Tapi dia jadi baby sitternya juga," tukas Ferdo mengejek.

"Dia selalu kayak gitu. Nino selalu cosplay jadi ibu saya," sahut Alkan menimpali ejekan Ferdo.

Dua hari satu malam, mungkin cukup untuk mereka bisa menghabiskan waktu bersama.

Hari kesibukan pun tiba. Setelah melakukan gathering yang cukup menyenangkan hati Alkan, kini ia disibukkan lagi dengan urusan perusahaan. Pak Deni tiba-tiba menyuruh Alkan untuk datang ke perusahaan utama. Padahal, jarak dari Alkan bertugas ke perusahaan utama lumayan jauh. Sementara, panggilan mendadak Pak Deni membuat Alkan penasaran.

Beberapa menit atau hampir satu jam perjalanan yang Alkan lakukan, ia langsung memasuki ruangan sang Ayah.

"Ada apa Ayah panggil Alkan ke sini?"

"Kamu, duduk aja dulu."

Raut wajah Pak Deni begitu cemas membuat Alkan semakin penasaran dengan alasan sang Ayah menyuruhnya datang.

"Ada apa yah? Ayah keliatan gak baik, Ayah sakit?"

"Nggak, Ayah mau bicara sama kamu."

"Apa ini soal perusahaan lagi?"

"Kamu liat ini."

Pak Deni menyodorkan laporan laba yang terus merosot.

"Kenapa turunnya sedrastis ini?"

"Ayah gak tau. Ayah pusing, kenapa harus serendah itu pendapatan kita akhir-akhir ini, padahal perusahaan cabang sudah menunjukkan tingkat laba yang cukup tinggi, apa yang salah?"

Alkan memasang raut wajah yang heran. Ia langsung terpikirkan oleh laporan tiga tahun yang lalu. Karena, tiga tahun yang lalu perusahaan mereka memang sedang maju-majunya. Mereka berkembang pesat sebelum kejadian penggelapan itu terjadi. Dan kini, masalah demi masalah mulai menjangkit perusahaan.

"Ayah, Ayah menyerahkan keuangan perusahaan pada Pak Angga?"

"Angga sudah bekerja lama pada kita. Ayah rasa dia pantas dipercaya"

"Kenapa bisa Ayah begitu yakin sama Pak Angga?"

"Kenapa kamu bicara kayak gitu? Kamu meragukan Angga?"

"Bukan seperti itu Ayah. Aku rasa, Ayah nggak usah terlalu percaya sama orang."

"Ayah kamu ini udah menjalankan perusahaan selama sepuluh tahun. Ayah bisa tau siapa yang serius, siapa yang main-main di sini."

Alkan terdiam setelah sanggahan sang Ayah membuatnya merasa salah untuk menasehati sang Ayah.

"Coba kamu periksa seluruh laporan perusahaan cabang. Besok biar sekretaris Ayah yang mengambilnya. Kamu boleh kembali lagi bekerja."








Cerita pertama, Mohon mangap, Eh mohon maaf atas ketidakjelasannya.

Bahasanya masih berantakan, mohon di maklumi.

MOONLIGHT (Love in Business)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang