Pagi itu memaksa Alkan untuk dipusingkan lagi dengan berkas-berkas yang harus ia tanda tangani. Alkan berdiri setelah memanggil Heru ke ruangannya.
"Heru, tolong kondisiin kantor ya."
"Pak Alkan mau ke mana?"
"Saya masih ada urusan soal restoran."
"Baik pak."
Setelah mengendarai mobilnya beberapa menit, Alkan langsung parkir di lahan kosong tepat di samping restoran Hani. Hani terlihat mengobrol bersama para pegawainya di dalam.
"Waiter?!" Alkan langsung memanggil pelayan restoran setelah ia masuk tanpa diketahui oleh Hani.
"Iya Pak? Bukannya Bapak yang ... ada yang bisa saya bantu Pak?"
"Saya ke sini buat makan. Minta menunya dong."
"Kayak kenal suaranya, jangan-jangan ....."
Hani memalingkan pandangannya ke arah suara itu. Matanya melebar kaget melihat Alkan sudah terduduk di dalam. Ia bahkan tak menyapa Hani lebih dulu. Alkan tersenyum simpul, melambaikan tangannya pada Hani.
"Mau apa lagi sih dia, bikin kesal aja."
Hani menghampiri dengan jengkel sosok Alkan yang duduk menunggu makanannya datang.
"Maaf pak Alkan, sebenarnya ada maksud apa pak Alkan ke sini? Saya sudah bilang, untuk tidak menjual resto ini. Biar uang kamu lima juta itu aku ganti nanti." Hani begitu tegas memperingati Alkan.
"Buang-buang waktu aja. Aku mau pesen makanan, bukan beli resto ini. Lagi pula uang yang aku bawa cuma lina ratus ribu. Lima ratus ribu menurut kamu emang bisa beli restoran ini? Lagi pula, mau bayar pake apa kamu hutangnya? Buat setor aja kamu gak cukup."
"Apapun caranya, uang kamu biar aku ganti nanti. Gak usah ikut campur urusan aku lagi."
"Sebaiknya sih dipercepat pembayarannya."
Hani sebenarnya begitu kesal. Karena, ia memiliki hutang yang bahkan Hani tak pernah meminta itu dari siapapun, termasuk Alkan sendiri.
"Ini pak makanannya, silakan menikmati."
Setelah makanannya tiba, Alkan lantas melahapnya di depan Hani yang masih terlihat emosi padanya.
"Heh, aku di sini customer. Kaau sikap kamu kayak gitu, customer bisa kabur tau. Aku saranin, tambahin menu buat makan siang, di sini lumayan banyak wisatawan yang datang siang hari."
Sejenak ia memikirkan perkataan Alkan. Sudah beberapa bulan ini memang ia kehabisan modal untuk membuat restorannya sedikit maju. Ditambah lagi ia masih kerja di atas naungan orang lain. Restoran yang hanya atas namanya, bukan berarti ia memilikinya. Surat-surat berharga pun ia tak mempunyai. Dan semua itu adalah ulah Pak Bayu.
"Kalau kamu udah selesai makan, cepat pergi. "
Hani melangkah pergi ke ruangannya.
"Heh, pelayanannya kurang baik. Aku gak akan promosiin resto ini," teriak Alkan.
"Aku ga butuh bantuan kamu," sambung Hani seraya berjalan menuju ruangannya mengabaikan Alkan.
"Ya ampun, harus gimana lagi gue beli resto ini. Cewek satu nyebelin banget dah," gumam Alkan.
Hari berganti. Pak Bayu datang lagi untuk menagih uang pada Hani. Tapi hari itu resto Hani benar-benar sepi. Pendapatan yang ia dapatkan pun tak bisa dibilang sebuah laba.
"Kamu ini bagaimana Hani, kita kan udah sepakat!"
"Tapi pak, saya mohon, kasih saya waktu. Saya benar-benar gak punya uang sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
MOONLIGHT (Love in Business)
Fiksi RemajaKetika sebuah bisnis mencampuri kehidupan percintaan antara Alkan dan Hani. Alkan Adiputra, anak pengusaha tajir yang hidupnya mulai bermasalah ketika ia berpisah dengan cinta pertamanya karena sebuah bisnis sang Ayah. Mereka memutuskan untuk berpis...