5. Pertemuan

863 34 0
                                    

Malam larut begitu cepat, bulan mulai memancarkan terangnya, dengan mata indahnya Hani mulai menatap atap langit malam.

"Kenapa dia kembali lagi di hadapan gue, saat gue udah mulai bisa ngelupain dia?" gumamnya.

Hani menatapi kalung dengan liontin luminous stone pemberian Alkan. Ia pun tak tahu harus apa. Menangis atau bahagia, keduanya sulit Hani rasakan saat itu.

Sementara Alkan, terlihat melamun di kamarnya. Pikiran dan hatinya tentu sedang tidak sehat. Di sisi lain, ia sungguh bahagia bertemu Hani kembali. Namun, ia pun begitu sendu ketika mengingat alasan mereka berpisah.

"Kenapa dia muncul di hadapan gue? Saat gue baru aja mulai berhenti mikirin dia," gumam Alkan tertidur dengan sepatu yang masih melekat di kakinya.

Hani menaruh kembali kalung itu.

"Apa yang harus gue lakuin sekarang? Dia bilang mau datang lagi dan muncul lagi di depan gue? Han, udah lah, itu masa lalu. Lo udah gak tinggal di sana. Oke, sekarang gue harus profesional, dia bilang mau bicara tentang bisnis. Iya, tentang bisnis." Hani menguatkan batinnya.

***

Di ruang keluarga, pak Deni mengungkit lagi perihal perjodohan Alkan.

"Alkan, besok pak Bondan dan anaknya ingin berkunjung ke sini, namanya Syila. Kamu harus sopan di depannya."

Perasaan Alkan kacau. Ia lupa, bahwa ia terlanjur bicara setuju dengan perjodohan itu. Sementara, ia bertemu dengan cinta pertamanya lagi. Hal itu lantas membuat Alkan sadar akan ucapannya yang malah membuatnya bermasalah. Alkan hanya tertegun diam tanpa menimpali Pak Deni yang asyik meminum secangkir teh.

Bu Fika khawatir karena merasa Alkan memaksakan hatinya. Ia takut semua ini berdampak buruk pada mental putra satu-satunya itu.

"Ayah, apa soal ini gak dibicarain lagi sama pak Bondan?"

"Gak usah bu, Alkan udah dewasa, dia pantas menikah."

"Tapi yah...."

"Sudah bu, kita kan sudah bicarakan ini matang-matang, kenapa ibu harus menentang." Pak Deni geram.

Keesokan harinya pak Bondan dan Syila berkunjung ke rumah Alkan.

"Pak Bondan, silakan duduk." Pak Deni menyambutnya dengan begitu baik.

Sementara, orang yang dikenal rekan bisnis Pak Deni tersebut membawa seorang gadis cantik dengan terus tersenyum malu.

"Selamat datang Pak!"

Syila melirik Alkan dengan tersipu. Alkan sendiri, tak tahu wajah apa yang harus ia tunjukkan depan mereka.

"Alkan, kenalkan ... dia Syila, anak pak Bondan."

Alkan berjabatan tangan dengan Syila perlahan. Jujur saja, Alkan benar-benar telah memaksakan diri dan hatinya.

"Aku Syila!"

"Alkan!"

"Kalian serasi sekali," ucap Pak Bondan.

Syila terus tersenyum, tapi Alkan hanya memasang wajah datarnya sedari tadi.

"Baik lah, Alkan ... Ayah mau bicara berdua dengan pak Bondan. Ibu, bukannya ada yang mau Ibu kerjain di dapur? Ayo cepet!"

"Apa? I ... iya deh." Bu Fika heran dan lantas berdiri meninggalkan Alkan dan Syila.

Suasana canggung menghampiri Syila saat itu. Tapi, tidak dengan Alkan.

"Alkan, gimana pekerjaan kamu?"

"Pekerjaan aku baik."

Syila canggung karena Alkan hanya menjawabnya dengan beberapa kalimat. Pria itu bahkan tak tersenyum sejak kedatangannya membuat Syila merasa tak nyaman.

Setelah pertemuan itu, Pak Deni menegur Alkan. Ia tahu sedari tadi mereka berdua hanya terdiam sambil memainkan ponsel masing-masing.

"Kenapa kalian cuma diem aja? Kamu gak ajak Syila buat main?"

"Alkan sibuk yah, kerjaan kantor masih banyak."

"Seenggaknya kamu tuh bicara sama dia. Jangan buat dia bosan."

"Aku ngerti. Aku mau ke kantor. Aku pergi dulu."

"Dasar nih anak, susah di bilanginnya."

"Ayah udah, Alkan udah dewasa. Nanti juga dia paham kok."

Alkan mengistirahatkan dirinya pada kursi di kantornya. Ia melamun menatapi kekosongan. Namun pikirannya dipenuhi oleh kejadian tadi dan Hani. Alkan begitu menyesal ketika ia tak sadar menerima perjodohan itu. Bahkan, ia tak memikirkan bagaimana hidupnya di masa depan. Luka hatinya benar-benar membuat Alkan bermasalah. Ia menundukkan kepalanya ke meja kantor.

Ketukan pintu membuat Alkan terkejut. Ia mengangkat wajahnya melihat siapa yang datang.

"Maaf Pak, Pak Erik sudah di loby."

"Tunggu sebentar lagi. Saya mau rapih-rapih."

Wajah Alkan terlihat begitu berbeda. Nino sangat mengenali Alkan, karena ia sudah bekerja lama dengannya. Alkan bahkan terlihat pusing, padahal ia baru saja datang untuk bekerja.

"Pak, untuk rencana restoran itu bagaimana pak? Tim menanyakan itu sedari tadi sama saya pak. Bagaimana saya harus menjawab?"

"Kan saya udah bilang, saya akan bicara sama ownernya nanti. Lagi pula, apa kita gak bisa cari lokasi lain?"

Ucapan Alkan membuat Nino terkejut. Pasalnya, rencana itu sudah sangat bulat mereka buat.

"Apa pak? Tempat lain? Emm maaf pak. Tapi kami sudah merencanakan ini sudah sangat bulat pak. Ini lokasi yang sangat sempurna buat proyek kami. Bukan kah lebih bagus jika ownernya itu teman pak Alkan sendiri?"

Alis mata Alkan terangkat. Ia jatuh canggung menghindari tatapan Nino.

"Ya udah, oke. Biar hal ini nanti di
bicarakan lagi. Sekarang, tolong bawa Pak Erik ke ruangan saya."

"Baik pak. Saya permisi."

"Nino, bikin gue pusing aja dia," batin Alkan.

Cerita pertama, Mohon mangap, Eh mohon maaf atas ketidakjelasannya.

Bahasanya masih berantakan, mohon di maklumi.

MOONLIGHT (Love in Business)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang