Di kantor, Alkan terus saja ribut masalah pekerjaannya.
"Nino siapkan semua laporan perusahaan cabang, besok sekretaris Ayah saya akan ke sini."
"Baik Pak." Nino melihat Alkan dengan prihatin, karena Alkan masih sangat muda untuk mengurus ini semua. Terlebih lagi, ia selalu dipaksa untuk memenuhi setiap permintaan Ayahnya.
Alkan pergi ke resto Hani untuk menenangkan pikirannya sejenak, karena hanya Hani yang bisa membuat pikirannya menjadi tenang kala setiap melihatnya. Walaupun Hani pasti akan jengkel atas kehadirannya yang begitu bebas.
"Kamu ngapain sih ke sini mulu? Tugas kamu bukan di sini."
"Kenapa emangnya? Resto ini milik aku juga."
Hani pergi dengan jengkel. Tapi anehnya, Alkan tak mengganggunya waktu itu. Walaupun awalnya, niat Alkan hanya untuk melihat Hani. Tapi, ia malah murung mengepalkan kedua tangannya duduk di salah satu kursi restoran. Alkan teringat lagi dengan masalah perusahaan dan berkas tiga tahun lalu yang ia temukan tak sengaja. Hal itu membuatnya berpikir, kalau perusahaannya memang sedang tidak baik-baik saja.
Di restoran, Alkan hanya meminum segelas besar air tanpa memakan apapun. Ia pun sibuk memeriksa ponsel dan menugaskan setiap karyawannya untuk menggantikan pekerjaannya sementara. Alkan memang terlihat lebih pucat sebelumnya. Ia pun sempat memegangi matanya yang terasa sakit jika kepalanya tengah dilanda kesakitan.
Saat itu waktu menunjukan pukul sembilan malam. Moonlight resto sebentar lagi akan tutup. Hal yang aneh sedari tadi adalah, Alkan yang tak kunjung pulang. Dan dari siang hari, ia hanya terduduk dengan sesekali membuka ponselnya.
"Alkan, kamu boleh pulang sekarang, resto mau tutup."
Alkan masih terdiam memainkan gelas di tangannya. Matanya melamun terfokus pada gelas.
"Bisa gak kasih aku waktu sebentar aja duduk di sini, lima belas menit lagi deh."
Hani pergi untuk merapikan semuanya. Saat karyawan berpamitan untuk pulang, mereka terheran melihat Alkan yang belum pulang sedari tadi. Hal itu membuat Hani pun kaget karena ia mengira Alkan sudah pergi karena sanggahannya. Ia malah terlihat tidur di atas meja resto.
Hani menghampirinya perlahan. Ia tatapi wajah Alkan yang tertidur lelap.
"Alkan, bisa gak sih kamu jauh sebentar aja dari aku? Jujur, ini buat aku tambah menderita setiap liat kamu. Kamu sekarang udah kerja keras. Kamu bahkan udah lebih dewasa. Tapi ... kenapa waktu terus buat kita ketemu Alkan?" Hani membatin menatapi Alkan.
Setelah menunggu beberapa menit, Hani terpaksa membangunkan Alkan.
"Ekhem ekhem."
Alkan bangun dengan mata yang masih terpejam.
"Restoran mau tutup, sebaiknya kamu pulang juga."
"Jam berapa sekarang?"
"Aku mau matiin lampu, pegawai udah pulang semua, aku terpaksa gak matiin lampu karena kamu. Ini udah hampir jam setengah sebelas malam."
Mereka menutup restoran bersama. Setelah Hani mengunci pintu resto, gadis itu melangkah dengan canggung karena Alkan bahkan menunggunya.
Mereka berjalan bersama seraya Alkan yang hendak menghampiri mobilnya. Langkah demi langkah membuat Hani begitu berat ketika ia bahkan berjalan berdua dengan Alkan. Alkan sendiri terlihat menikmati hal itu. Ia mendongakkan kepala ke atas, menatap atap langit malam.
"Terang banget bulannya," gumam Alkan disela berjalan.
Hani ikut menatap apa yang Alkan lihat. Ia melihat bulan sabit tampil terang benderang menyinari matanya yang semakin berkilau. Alkan beralih fokus menatap wajah Hani ketika ia menatap bulan ke langit. Ia memasang wajah kesenduan yang tertahan di benaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOONLIGHT (Love in Business)
Ficção AdolescenteKetika sebuah bisnis mencampuri kehidupan percintaan antara Alkan dan Hani. Alkan Adiputra, anak pengusaha tajir yang hidupnya mulai bermasalah ketika ia berpisah dengan cinta pertamanya karena sebuah bisnis sang Ayah. Mereka memutuskan untuk berpis...