51. Terbiasa

212 9 0
                                    

Semua berat untuk Hani. Cobaan hati yang bertubi-tubi tidak membuat Hani goyah dan rapuh. Menahan semua perasaan yang ada sejak dulu demi untuk kebaikan keluarga dan kedua hati yang saling cinta, salah satu caranya adalah harus mengalah. Saat mereka bersatu, hanya ada luka menghampiri mereka.

Suatu hari, Syila mengajak Alkan untuk makan di resto Moonlight. Alkan sebenarnya malas karena di sana hatinya pasti akan terluka karena Hani harus melihatnya bersama wanita lain. Tapi Syila terus memaksa Alkan untuk pergi dan akhirnya Alkan terpaksa memenuhi permintaan Syila.

Mereka ke Resto. Kebetulan, di sana pun ada Rama yang memang setiap kali dan setiap jam istirahat selalu menyempatkan dirinya untuk makan di resto Hani. Sungguh pelanggan yang tetap Rama ini.

"Han, lo tau gak? Gue diangkat jadi manager keuangan di perusahaan gue." Rama antusias.

"Wah bagus dong, selamat ya."

"Makasih. Oh iya, lo mau apa nanti gue traktir deh?!"

"Serius? Gue mau hadiah kalung emas, mobil mewah, satu rumah mewah sama toko es krim yang besar."

"Kalau gitu, kita nikah aja."

Ucapan Rama membuat Hani tertegun.

"Hahahah, gue bercanda kok." Hani memukul kepala Rama.

Kehadiran Syila dan Alkan mengejutkan Hani yang tengah bercengkrama dengan Rama.

"Wah itu Hani."

"Syila." Hani berdiri kaget.

Rama lalu menengok ke arah belakang dan mendapati Alkan dan Syila menghampiri mereka.

"Kalian?" sapa Rama.

"Hai, kita ketemu lagi Rama," ucap Syila sambil melambaikan tangannya pada Rama.

Alkan bahkan begitu malas melirik Rama yang ia lihat selalu bersama Hani di waktu kapan pun.

"Kebetulan kalian di sini, kita makan bareng aja gimana? Hani, kamu ikut makan ya, please."

"I ... iyaa, silakan kamu mau pesan apa?"

Alkan terdiam dan merasa jengkel dengan posisinya saat itu.

"Kenapa harus ketemu sama Rama sih di sini," batin Alkan jengkel.

"Han, kamu sering banget ya keliatan sama Rama," ucap Syila.

"Ini kebetulan, saya cuma mau makan aja kok di sini." Rama menimpali ucapan Syila.

"Tapi kalian sama-sama cocok, hehe."

Alkan tambah merasa jengkel dan Rama merasa gugup ditambah canggung. Ditengah makan, mereka sedikit berbincang-bincang.

"Oh udang, aku suka udang." Syila antusias melihat udang.

"Hani, coba kamu makan, rasanya enak banget." Syila menyodorkan udang ke Hani.

Rama melebarkan matanya melihat Syila yang menyodorkan udang pada Hani. Ia segera mungkin menyingkirkan tangan Syila perlahan.

"Hani alergi udang!"

Alkan terdiam jengkel melihat hal ini. Seakan Rama tahu semua tentang Hani, ia bahkan begitu antusias untuk menjaga gadis itu. Alkan menghela napasnya datar, ia memalingkan wajahnya untuk tidak melihat peristiwa itu.

"Apa? Maaf Han, aku gak tau."

"Hehe gak apa-apa kok."

"Rama perhatian banget ya sama kamu," ucap Syila tersenyum sambil melirik Alkan. Syila mungkin iri melihat mereka. Ia pun berharap bahwa Alkan pun sama dengan Rama, bisa perhatian juga terhadapnya.

"Alkan kenapa kamu diem aja, makan." Syila menyodorkan sendok padanya.

Alkan mengambil sendok dan garfu yang Syila sodorkan. Ia lantas memakan makanan di depannya dengan tenang.

"Kalian teman dari sekolah atau apa?" tanya Syila, yang masih penasaran dengan cerita perjalanan pertemanan Hani dengan Rama.

"Nggak, kami cuma temen kerja dulu. Aku resign dan langsung membuka bisnis sendiri, Rama lanjutin kerjanya." Hani menimpali pertanyaan Syila.

"Yang saya tau sih, Alkan yang teman sekolah Hani, iya kan Han?" tanya Rama dengan senyum sambil memotong steak di piringnya.

Alkan yang sedang fokus memakan steak, lantas terhenti karena ucapan Rama.

"Apa? Kalian teman sekolah? SMA?"

"Iya, kami teman sekolah dulu, bahkan kami juga sempat ........"

Hani memotong pembicaraan Alkan. Alkan sungguh gatal untuk memberitahu kalau ia dan Hani sempat menjalani hubungan. Namun, Hani tak membiarkan Alkan melakukan itu.

"Iya kami teman sekolah SMA dulu, kami juga sempat jadi teman sekelas juga." Hani tersenyum menimpali pertanyaan Syila.

Hampir saja Alkan membongkar semuanya di depan Rama dan Syila. Namun, memang itu tujuannya.

"Hani itu dulu orang yang ceroboh. Suka nyebrang jalan sembarangan." Alkan bergumam membingungkan semua orang.

"Apa? Ceroboh? Heh Alkan, kamu lebih parah dari aku. Dulu kamu selalu aja minta contekan sama aku. Kamu pinter juga kan gara-gara aku," sahut Hani jengkel.

"Kamu bilang apa? Heh kamu tuh dulu yang suka kasih contekan ke temen-temen, aku gak minta."

Rama dan Syila mendengarkan heran perdebatan Alkan dan Hani. Mereka pun berasumsi bahwa Alkan dan Hani memang sempat berteman baik.

"Maaf, silakan terusin makannya," ucap Hani jatuh canggung karena hal itu.

"Wah liat kalian kayaknya dulu temenan baik ya?" ucap Syila senyum bingung.

Rama sendiri malah tak suka melihat mereka berdua bertengkar. Ia pun begitu cemburu karena Hani sempat mengenal Alkan lebih dulu darinya.

"Kalau gitu, silakan dilanjut makannya. Han, kayaknya gue udah harus pergi deh."

"Makanan lo bahkan belum habis Ram."

"Gak apa-apa, gue kenyang kok. Kalau gitu, gue pergi ya. Thanks Syila, Alkan atas traktirannya."

"Oh iya sama-sama. Hati-hati Ram," tukas Syila dengan tersenyum.

"Nanti gue telepon!" teriak Hani pada Rama.

"Siap!"

Alkan mendengarnya begitu tidak mood. Ia lantas menghentikan makannya dan berujung untuk berdiri.

"Aku mau toilet dulu." Alkan pamit ke toilet pada Syila.

Sementara Hani merasa sungguh tidak nyaman dengan keadaannya. Namun ia begitu senang karena Syila adalah orang yang periang.

"Han, steaknya enak loh."

"Serius? Nanti aku kasih tahu Chef Firli."

Sementara di toilet, Alkan bercermin sejenak. Ia menghela napas kesabarannya ketika melihat keakraban Hani dengan Rama yang membuatnya begitu cemburu. Alkan menendang tong sampah di sekitarnya dan berujung menjadi jengkel karena posisinya tadi. Jujur, ia sungguh kesal dipaksa Syila untuk ke Moonlihgt kalau ia harus merasakan cemburu saat itu. Namun, drama yang ia mainkan ini pun sudah terlanjut terjadi dan malah menyakiti hatinya berkali-kali.

Sementara, Rama di mobil pun begitu jengkel karena pertengkaran Alkan dan Hani tadi. Mereka bahkan terlihat layaknya bukan hanya teman ketika saling berbincang satu sama lain. Hal itu membuat Rama malah berpikir terlalu jauh.

"Gak mungkin. Siapa tau mereka emang bener temen dekat. Siapa tau aja Ibunya Hani teman Ibunya Alkan kan bisa? Atau mereka teman dari kecil kan bisa? Eh tapi, kenapa gue jadi mengada-ngada begini sih," gumam Rama disela dirinya fokus menyetir.

MOONLIGHT (Love in Business)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang