18. Keterpaksaan

368 17 0
                                    

Alkan sampai di rumah orangtuanya. Bu Fika memeluk Alkan setelah ia sampai. Dan lagi, raut wajah Bu Fika terlihat sungguh khawatir ketika anaknya pulang tidak terlihat begitu bahagia. Di ruang tamu keluarganya, terlihat Syila yang duduk manis menunggu kedatangan Alkan.

"Alkan, kamu cepat juga. Ini ada Syila main."

Ibu Fika melihat Alkan dengan cemas. Ia mengerti sekali apa yang dirasakan putera satu-satunya. Namun, keterpaksaan yang Alkan lakukan kian hari malah menyakiti hati Bu Fika sendiri yang melihatnya. Namun, Bu Fika tak bisa melakukan apapun ketika Pak Deni sudah bertindak sesuai kemauannya.

Alkan menyapa Syila. Ia tersenyum datar menatap gadis itu.

"Ajak syila jalan-jalan, dia udah nunggu lama di sini."

Alkan menghelas napasnya pasrah. Ia bahkan menuruti segala permintaan Ayahnya, walaupun itu ia lakukan dengan keterpaksaan yang menjengkelkan.

"Baik, kalau gitu ... Alkan sama Syila pergi dulu Yah," ucap Alkan malas.

Alkan pergi membawa gadis itu. Ia bahkan tak pernah bermimpi untuk membawa gadis lain di dalam mobilnya kecuali Hani.

"Aku minta maaf, kalau ganggu kerjaan kamu. Sebenarnya, Ayah kamu yang nyuruh aku ke rumah kamu."

"Iya aku ngerti."

Syila tersenyum sipu. Ia senang karena Alkan sudah mau untuk menimpalinya bicara, tidak seperti awal pertemuan mereka.

"Kamu mau ke mana?"

"Terserah kamu Alkan."

Jadwal pertama mereka hari itu adalah makan di sebuah restoran mewah. Alkan tahu, walaupun ia tak suka melakukan itu bersama wanita lain, setidaknya ia pun tidak boleh kejam oleh Syila. Alkan terus makan tanpa memecah keheningan. Ia hanya fokus dengan makanannya. Sementara, Syila begitu canggung ketika Alkan mendiaminya terus menerus selama di restoran.

"Ada apa? Makanannya gak enak?" tanya Alkan.

"Nggak, ini enak kok."

Setelah proses makan selesai. Alkan membawa Syila ke sebuah teater musik. Padahal, Alkan tak berniat apapun untuk menonton teater itu. Hanya saja, Syila mengajukkan ide itu untuknya. Dan permintaannya pun Alkan telah penuhi. Syila dan Alkan mencari kursi untuk mereka duduki. Dengan jalan di setiap kursi begitu sempit, Syila memilih jalan begitu sulit karena sepatu heelsnya membuatnya risih. Syila terpeleset dan sontak Alkan menahan tubuh gadis itu untuk tidak terjatuh.

"Kamu gak apa-apa?"

"Aku gak apa-apa kok, makasih." Syila jatuh canggung.

Beberapa jam mereka kencan tak disengaja, Alkan mengantar Syila untuk pulang.

"Alkan, makasih buat hari ini."

"Sama-sama. Kalau gitu aku pulang sekarang."

"Hati-hati!"

Syila memasuki rumahnya. Di dalam sebuah kamar, Syila membayangkan sosok Alkan yang menolongnya tadi. Syila tersenyum sendiri membayangkan sosok yang bahkan ia jatuhi cinta pada pandangan pertama. Awalnya, Syila tak begitu tertarik setelah melihat Alkan di awal pertemuan mereka. Namun, semakin hari ... semakin ia malah suka pada laki-laki itu karena kebaikannya mampu meluluhkan hati Syila.

"Ternyata Alkan perhatian banget." Syila tersenyum sipu sambil memegang dada yang terdapat jantung tengah bergetar kencang.

Terlihat Pak Deni sedang membaca sebuah majalah di ruang keluarga mereka.

"Gimana dating kamu?"

"Seperti yang Ayah mau."

"Alkan, tolong lebih jaga sikap kamu di depan Syila, dia anak yang baik."

"Aku ngerti Yah. Aku mau ke atas."

Alkan menaiki anak tangga rumahnya untuk segera pergi ke kamarnya. Ia bahkan mengabaikan pendapat Pak Deni yang menurutnya begitu membosankan.

"Dasar anak yang susah diatur. Awas kamu kalau sampai nyakitin Syila," teriak Pak Deni disaat Alkan tengah menaiki tangganya menuju kamar.

Bu Fika menyusul Alkan dengan khawatir.

"Alkan, apa kamu mau balik ke apartemen sekarang? Kamu tidur aja di sini."

"Masih ada kerjaan yang belum Alkan kelarin bu."

"Tapi sekarang udah malam Alkan. Maafin ibu, gak bisa lakuin apa-apa kalau Ayah kamu udah bertindak."

"Ibu gak boleh bicara kayak gitu. Alkan ngerti, ya udah Alkan pergi dulu ya bu. Ibu jaga kesehatan ya."

Hani tengah asyik melamun. Jujur saja begitu bingung dengan perasaannya setelah Alkan memutuskan untuk pergi setelah mengantarnya kemarin. Biasanya, Alkan tidak menolak untuk makan di restoran dan hal itu jujur saja menyenangkan hati Hani. Namun, kemarin rasanya ada sebuah perbedaan terjadi pada hatinya.

"Bu Hani!" tegur Resa.

"Eh iya Resa, ada apa?"

"Dari tadi ibu ngelamun aja, ada sesuatu yang terjadi bu?"

"Nggak kok Sa, eh iya Sa, umur kita kan gak beda jauh. Aku mohon jangan panggil aku ibu."

"Kalau saya panggil kakak, gimana bu? Eh kak?"

"Ya udah terserah kamu deh."

Alkan pulang ke Apartemennya. Suasana hatinya sedang tidak begitu baik hari itu. Ia bahkan memaksakan diri untuk terlihat baik di depan Ayahnya sendiri. Jika tidak begitu, Ayahnya akan menyakiti siapapun yang ia sayangi termasuk ibunya sendiri. Alkan tak ingin, Ibunya terus menerus beradu argumen dengan Ayahnya. Alkan tak suka, jika ada yang menyakiti Ibunya walaupun itu termasuk Ayahnya sendiri yang melakukannya.

"Sampe mana semua ini berjalan?" gumam Alkan.

Alkan menelpon Nino dan ia menyuruh Nino datang untuk membawakan berkas yang penting. Nino datang begitu cepat dan Alkan menerimanya dengan baik di apartemennya. Mereka akhirnya meminum kopi bersama. Nino sudah bagaimana sahabat bagi Alkan sendiri. Karena, hanya dia lah yang tahu tentang apapun yang ada pada diri Alkan.

"Gimana kantor cabang kita?"

"Selama ini sih, baik-baik aja Pak! Gak ada masalah."

"Emm." Alkan menjawab sekedarnya. Ia lantas menyeruput secangkir kopinya lagi.

"Apa bapak lagi sakit?"

"Nggak, emangnya kenapa?"

"Saya melihat Bapak kayaknya lagi kurang baik. Saya pikir Bapak lagi kurang sehat."

"Saya dijodohin."

Nino menyemburkan kopinya refleks setelah ia terkejut mendengar berita perjodohan Alkan.

"Aisshhh. Apa-apaan kamu Nino?" Alkan menaikkan alisnya jengkel karena semburan kopi itu hampir mengenai bajunya.

"Maaf Pak Maaf. Nanti saya bersihkan. Saya kaget Pak!"

"Kamu aja kaget yang cuma denger, apa lagi saya yang jalanin."

"Tapi Pak, kenapa bisa begitu? Sekarang kan gak jamannya buat perjodohan-perjodohan kayak gitu Pak."

"Kamu tau sendiri kan Ayah saya gimana, sekalinya dia bicara bisa menggemparkan dunia."

"Tapi Bapak mau?"

"Kalau saya nolak, Ayah pasti marah besar, dan lantas apa yang terjadi ... ujung-ujungnya saya yang disalahkan karena kebangkrutan kita."

"Jadi Bapak dijodohin sama anak rekan bisnis Pak Deni?"

"Iya. Andai aja tiga tahun yang lalu itu gak pernah terjadi apa-apa. Mungkin nasib saya gak seburuk ini."

"Sorry Pak, boleh saya nanya? Emangnya apa yang terjadi sama tiga tahun yang lalu ya Pak?"

"Gak apa-apa kok. Gimana laporan yang saya suruh?"

"Udah selesai ini Pak. Tnggal minta tanda tangan Bapak aja."

"Oke oke, kamu boleh ke kantor sekarang.  Makasih buat waktunya. Saya nanti menyusul."

"Baik Pak."

MOONLIGHT (Love in Business)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang