Perubahan Hidup

143 16 4
                                    

Brent benar lagi, upacara pelepasan siswa siswi sekolah menengah atas selalu menyedihkan. Dulu saat aku lulus dari sekolah menengah pertama, upacara pelepasan tidak pernah se-merepotkan ini, hanya datang, duduk, kemudian mendengarkan sambutan, menerima hadiah karena berprestasi, berjabat tangan, foto, makan lalu pulang tanpa ada aturan lain. Aku sempat shock ketika menerima undangan upacara kelulusan dan melihat ternyata ada aturan dresscode disana, aku bahkan sempat bilang kalau aku tidak ingin hadir tapi ibuku sebaliknya. Ibuku sangat bersemangat menghadiri upacara itu, begitu pula ayah dan Brent, bahkan Brent rela izin dari kuliahnya untuk menghadiri upacara kelulusanku. Dulu saat aku menghadiri upacara kelulusan Brent aku tidak memperhatikan bagaimana para gadis berpakain, aku sama sekali tidak mempedulikannya, aku menyesal tidak memperhatikannya.

Ibuku beberapa kali mengajakku keluar membeli gaun untuk upacara itu, aku bilang aku tidak mau memakai gaun, aku tidak bisa membayangkan gatalnya memakai pakaian ketat seperti gaun, ewhh... Aku tentu saja tidak mau menjadi orang aneh di upacara kelulusanku sendiri. Aku menelpon Alan untuk menanyakan bagaimana persiapannya menjelang upacara kelulusan, dia bilang dia sudah siap 100%, dia sudah mendapatkan satu stel tuxedo hitam untuk dipakai nanti. Disinilah terkadang aku merasa tidak suka menjadi wanita.

Tiga hari menjelang upacara.
Aku sedang asyik menonton acara highlight sepakbola di hari minggu yang cerah, Brent sedang pergi ke rumah sakit hewan bersama kucing kesayangannya yang bernama sama. Brent kucing sangat bermasalah dengan kesehatannya, karena itu dia sering keluar masuk rumah sakit. Ayahku sedang libur bekerja, hari ini ia sedang mengantar ibuku keluar, kesuatu tempat entah kemana, aku sendirian di rumah.

Suara mobil terdengar berderum pelan, ibu dan ayah sudah pulang ketika aku melihatnya dari jendela samping rumah, bawaannya terlihat banyak, pantas saja mereka pergi lama sekali. "Siang, Siera?" sapa ibu saat ia sudah masuk kedalam,

"Siang," jawabku singkat, ibu berhenti berjalan dan duduk di sampingku yang kosong. "Kenapa ibu meletakkan belanjaan ibu disini?" tanyaku bingung, tidak biasanya ibu seperti ini, biasanya dia teratur.

"Ini belanjaanmu," balas ibu sembari menyenderkan diri di sofa empuk, untuk sesaat aku sangat senang, kantong kertas sangat besar, pasti isinya banyak. Saat ku periksa ternyata isinya hanya satu kotak berwarna putih yang cukup besar, aku harap ibu membelikanku satu set buku Harry Potter sebagai hadiah kelulusanku. Pelan pelan aku membuka kotak itu dan isinya--mengecewakan. Bukan buku ataupun komik, melainkan sebuah gaun saat aku ambil keluar.

"Serius?" Gaun itu berwarna kuning pucat. Ibuku benar benar nekat. Dia tersenyum sangat lebar saat aku merasa dibohongi oleh hadiahnya.

"Lebih baik kau mencobanya sekarang, aku sudah mencari satu ukuran lebih besar agar kau merasa nyaman, Siera. Dan itu tidak mudah." kata ibu setengah emosi, tentu saja aku takut pada ibu, aku tak ingin menyia nyiakan usahanya, tapi aku kan tidak suka, aku juga tidak menyuruhnya. "Dan sepatunya juga--ibu tau kau tidak akan bisa berjalan dengan sepatu ber-hak tinggi." lanjutnya, ibuku benar benar berniat membuatku malu.

"Aku hanya akan memakainya sekali saja bu, saat upacara nanti." aku naik ke kamarku untuk menyimpan gaun itu.

"Hey, Siera!" panggil ayah yang baru saja keluar dari dapur. Aku kembeli turun untuk menemui ayah. "Kau melupakan sesuatu," ayah melemparkan sesuatu padaku bahkan sebelum aku menyelesaikan tangga ke enam, dingin--ini es krim.

"Terima kasih" aku melanjutkan langkahku.

.....

"Kau pasti akan terlihat seperti orang asing nanti," kata Brent, dia sedang duduk di jendela sambil mengelus elus Brent kucing saat aku tengah frustasi di ranjangnya yang bau amis itu. "Tapi aku juga penasaran bagaimana kalau kau mengenakan gaun, terakhir kali aku melihatmu pakai gaun adalah saat ulang tahunmu yang ke -5, itu sudah lama sekali." seketika aku mengingat pesta ulang tahunku yang ke-5, saat aku akan masuk ke sekolah dasar. "Jangankan melihatmu memakai gaun, milihat rambutmu lebih rendah dari pundakmu pun aku sudah lama sekali tak melihatnya," tambahnya, sepertinya Brent sedang mencari ingatannya dimana aku pernah memiliki rambut panjang.

Brent benar, sejak kecil aku tidak pernah berganti gaya rambut, selalu sipotong bob tanpa poni, aku pernah menangis ingin rambutku dipotong seperti rambut Brent saat aku masih disekolah dasar. Aku berfikir dengan semakin sedikit rambut dikepalaku maka akan semakin ringan kepalaku, dan aku bisa berfikir lebih terbuka, tapi ibuku bilang aku harus tetap terlihat seperti seorang perempuan, makanya hanya gaya rambut ini yang bisa aku pakai sampai sekarang dan entah sampai kapan.

"Aku suka seperti ini," balasku, terkadang berbicara dengan Brent membuatku berfikir untuk berubah, hanya kepikiran saja tidak ada niat untuk memulai perubahan.

"Baiklah, Siera! Sebaiknya kau kembali ke kamarmu, ini sudah larut, kami harus tidur." 'Kami'? Iya, maksud Brent adalah dia dan Brent kucing. Brent menutup jendela kamarnya tanpa melepaskan Brent kucing dari gendongannya, kucing itu sangat manja dan menyusahkan. Lagi lagi Brent melakukan kebiasaannya, mengacak acak rambutku, "Selamat malam, Siera. Tidur yang lelap!" ucapnya sambil menguap. Menjijikkan. Aku pun pergi dari sana ke kamarku sendiri yang hanya berseberangan dari kamar Brent. Aku suka berada di kamat Brent, rasanya sama saja dengan kamarku sendiri, yang membedakan adalah kamarku di cat warna merah terang sedangkan kamarnya di cat merah kecoklatan, dan kamarku tentunya lebih rapi dari pada kamar Brent.

.....

"Ayolah, Siera! Kau tidak akan berada disini sampai acaranya selesai kan?" bujuk Brent yang sudah memakai stelan jas rapi, ayah dan ibu sudah turun dari mobil.

"Siera, ayo keluar sekarang! Ini acaramu!" ibu mulai marah marah padaku lewat kaca mobil. Aku--aku tentu saja sangat malu, aku benar benar tidak suka semua itu. Lihat diriku! Sangat berbeda. Meskipun Brent bilang berbeda itu bagus, dan dia bilang dia suka dengan tampangku saat itu aku tetap saja tak mau menghiraukannya, aku masih menganggap Brent penipu, kau tau?.

"Siera, hanya untuk hari ini saja kan sayang?" kali ini ayah juga ikut menengok lewat kaca mobil untuk membujukku keluar dari mobil. Aku mengangguk pelan, tapi aku tetap tidak ingin keluar, aku benar benar tidak ingin jadi pusat perhatian entah karena aku tampak jelek atau pun cantik, aku tidak suka.

"Siera! Kita tidak punya waktu," ibu berkacak pinggang di samping mobil dan membuatku takut seperti biasa. Demi surga dibawah telapak kakinya aku pun turun dari mobil. Sebenarnya tidak ada yang memperhatikanku, tapi aku menutupi wajahku dengan tas jinjing kecil yang ibu berikan padaku, aku berjalan secepat mungkin dengan Brent disampingku, menghindari tatapan tatapan bodoh semua orang.

"Brent!" suara itu sangat familiar. Sialan, itu Alan, dia memakai stelan tuxedonya yang dia ceritakan padaku beberapa hari lalu dan dia sedang berlari kecil mendekat kearah kami, aku merangkul lengan Brent lebih kuat sampai jasnya kusut.

"Hey, Alan! Kau tampak hebat." puji Brent setelah Alan sampai dihadapan kami, dia beralih mencium tangan ayah dan ibu.

"Kau juga kawan!" Alan tos diudara dengan Brent. "Hey, Siera! Ada apa?" dia bertanya menyelidik melihat aku yang sedang menutupi wajah.

"Sebaiknya kau diam Alan, atau dia akan menelanmu hidup hidup setelah acara ini selesai." kata Brent.

"Hey kau ini kenapa? Kau tidak perlu malu, kau sangat cantik Siera!" Alan menatapku dengan senyuman diwajahnya. Aku bisa merasakan wajahku seperti terbakar.

"Dia tidak akan percaya pada siapapun Alan, kuperingatkan padamu untuk terakhir kalinya jangan katakan apapun!" Brent angkat bicara lagi, sepertinya dia tak mau membuat acara ini jadi tak berkesan bagiku.

"Baiklah aku diam. Tapi menurutku tidak ada salahnya untuk menjadi berbeda, tidak ada salahnya kau memunculkan sisi lain dari dirimu, tidak ada salahnya selama orang lain menyukainya, Siera." kata Alan, sejenak aku merenungi kata katanya. Kemudian aku membuka wajahku yang sedari tadi aku tutupi tas jinjing, Alan tersenyum lebih lebar sekarang, ya Tuhan wajah merahku pasti terlihat sangat jelas sekarang.

......

AMO (A Christopher Vélez Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang