"Halo Brent?" aku bangun dari tidurku saat Brent menelponku, panggilan video. Pagi pagi sekali dia sudah menelpon, pukul 5 pagi disini berarti pukul 3 sore di Indonesia. Aku menguap menyalakan lampu.
"Lihat mereka! Lucu sekali kan?" Brent mengalihkan kemeranya ke belakang menyorot anak anak kucing yang berukuran sangat kecil, "Siera sudah melahirkan 6 anak kucing," Brent berkata girang.
"Kau hanya mau bilang begitu?" aku bertanya malas, itu tidak begitu penting bagiku.
"Setidaknya Siera menggantinya lebih banyak setelah Brent mati kemarin." jawabnya, Brent sudah semakin dewasa sekarang, sudah berkumis. Tapi aku baru dwngar soal kematian Brent kucing, aku tidak bisa membayangkan betapa sedihnya Brent manusia saat kucing kesayangannya mati, berani bertaruh dia pasti menangis.
"Kau bisa menamai salah satunya dengan namamu," kataku.
"Dimana Alan? Aku rindu dia," tanyanya, tentu saja Alan sedang tidur pulas sekarang, hanya aku yang bangun, itupun karena gangguan Brent.
"Memangnya Alan mati juga?" kataku berusaha bergurau.
"Maksudku Alan manusia, Siera aku bertanya serius." dia tampak kesal di seberang, aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang tak berubah.
"Semua orang masih tidur Brent, kau menelponku pagi pagi sekali," balasku sambil sesekali menguap. Kami mengobrol banyak, pagi itu, ayah dan ibu juga bergabung, menanyakan kabarku dan Alan, sampai pukul delapan pagi pintuku kembali diketuk kami pun menyudahi obrolan. Itu pasti Chris.
Sepertu kemarin dia menyuruhku cepat dan menunggu di luar dengan skate boardnya. Kami berlari memutari blok sebanyak 6x, setelah itu berhenti lagi di skate area untuk istirahat sebentar dan bermain main sebentar, Chris mengajariku mengendalikan skate board. Hingga jam 10 kami pun kembali ke apartemen dan aku yang naik di skate board, naik skate board adalah bagian penutup favoritku di setiap sesi olah raga bersama Chris, meskipun kami hanya lari memutari blok sebanyak 6x dan aku masih sering berhenti untuk menarik nafas. Setidaknya semua terbayar impas dengan skate board.
"Kau ada rencana hari ini?" Chris bertanya saat kami berjalan memasuki gedung.
"Ada--diam dirumah," aku menjawab asal, dia hanya tertawa dan mengacak rambutku seperti biasa. Dia melambaikan tangan setelah keluar dari lift. Aku terus naik.
Salah satu lift gedung itu tidak bisa dipakai untuk satu minggu kedepan, tepatnya tidak boleh dipakai. Ada seseorang yang muntah didalam sana, dan itu bau sekali, makanya petugas kebersihan melarang penggunaan lift selama satu minggu, dan lift yang sekarang ku gunakan yang jadi lift paling sibuk. Awalnya mereka menduga salah satu antara aku dan Alan yang muntah disana karena muntahannya berupa nasi, Alan tidak mungkin karena dia tidak perlu pakai lift untuk pulang, dan aku bilang aku saat itu tidak mabuk, ada Chris sebagai saksi. Ternyata itu muntahan Komui--gadis Jepang yang juga mengkonsumsi nasi.
Aku membersihkan diriku, mengganti baju dan menyisir rambutku di depan cermin. Tiba tiba aku teringat wajah Chris yang bilang kalau aku cantik dengan rambut panjang, aku berdiri lama sekali di depan cermin, aku berfikir mungkin sebaiknya memang aku harus membiarkan rambutku tumbuh lebih panjang lagi.
Belakangan ini aku merasa sangat dekat dengan Chris, untuk orang dengan kesan pertama yang buruk, Chris adalah orang yang baik, dia pintar, berwawasan luas. Karakternya yang disiplin mampu menggantikan peran ibuku selama beberapa hari ini, aku sudah berubah fikiran. Kurasa kami bisa berteman.
Setelah makan dan membersihkan apartemen aku hanya menonton tv di apartemen, aku benar benar diam dirumah. Sampai tiba pukul 3 sore, pintu ku kembali di ketuk. Saat ku buka ternyata itu Chris lagi, mau apa dia?
"Aku mau mengajakmu ke suatu tempat yang pasti kau akan sangat menyukainya," katanya setelah ku persilahkan masuk. Dia menyuruhku bersiap siap, dia memberiku waktu 15 menit, dia menunggu di ruang tengah sambil menikmati pemandangan kota Sao Paulo.
.....
"Aku tidak begitu mengerti soal tempat ini, tapi aku yakin kau pasti mengerti tempat ini dengan baik." katanya saat kami sudah duduk di dalam bus yang tak terlalu ramai, hanya ada beberapa gadis yang sepertinya habis pulang dari sekolah, beberapa dari mereka menatap kami aneh. Chris sesekali senyum pada mereka, aku hanya memandang keluar jendela.
"Wow," lihat pemandangan di depan kami yang masih sangat ramai. The Wizarding World Of Harry Potter. Aku masih menganga melihat kastil Hogwarts yang berdiri diatas bukit itu, aku belum pernah datang ke tempat seperti ini sebelumnya.
"Aku tau seharusnya kita mengajak Zabdi tadi. Dia bisa jadi pemandu kita," katanya sambil menarik tanganku. Zabdi suka Harry Potter? Keren sekali pemuda Puerto Riko itu.
"Zabdi suka Harry Potter?" aku bertanya setelah berhasil mensejajarkan langkah dengan Chris, dia mengangguk sebagai jawaban. "Siapa karakter favoritnya?" tanyaku lagi .
"Entahlah--mungkin pria botak tanpa hidung itu," jawabnya entah erius atau tidak.
"Voldy?" gumamku sambil terus berjalan memasuki kastil. Tempat ini di desain sedemikian rupa menyerupai film, ada hologram melayang layang di udara seperti hantu Nick si kepala hampir putus dan Peeves.
Aku dan Chris mencoba wahana sorter hat. Aku berteriak begitu girang saat topi itu bilang Gryffindor, begitu pula Chris yang sebenarnya tak tau apa apa.
Kami membeli beberapa barang seperti tongkat sihir, dan craft. Chris memutuskan membeli kacamata dan Golden Snitch juga, setelah mengambil beberapa foto bersama, pukul 8 malam kami pulang. Chris juga membelikan beberapa oleh oleh untuk teman temannya, Zabdi, Joel, Richard, dan Erick.
"Kau harus hemat Chris, kau tak akan bertahan lama disini kalau kau begitu boros," kataku saat berjalan menuju gedung apartemen. Kami baru saja mampir di kedai kopi untuk makan malam bersama dan sesikit bercerita tentang Harry Potter.
"Uang bisa dicari lagi Bob-head, beda dengan kenangan." balasnya, "Kita akan melewati waktu berasama selama satu tahun itu singkat sekali," lanjutnya, aku setuju. Kalau Brent mendengar ini mungkin dia akan mendaprat Chris karena dia pikir satu tahun itu waktu yang lama.
Kami berjalan dalam diam sampai kami tiba di gedung apartemen. Gedung apartemen sudah sepi, Chris turun dan melambaikan tangannya seperti biasa. Aku juga membalasnya sebelum aku naik satu lantai untuk ke apartemenku sendiri.
Entah sihir apa yang pakai Chris sehingga membuatku begitu mudah mengikuti permainannya. Tapi aku merasa aman berada di dekatnya, dia tidak memiliki sedikitpun niat untuk mencelakaiku, dia selalu melindungiku bahkan dari hal kecil sekalipun. Dia membuatku nyaman dengan lelucon lelucon yang kadang tidak lucu dan tak berisi, dia juga membuatku penasaran untuk mengulik banyak hal darinya. Dia membuatku berfikir keras belakangan ini, Chris sudah seperti tugas kuliah yang tanpa sadar selalu melintas di otakku meskipun aku tak berniat memikirkannya.
.....
Maaf ya sebelumnya, atas keberantakan per chapternya. InsyaAllah sekarang engga :D
KAMU SEDANG MEMBACA
AMO (A Christopher Vélez Fanfiction)
FanfictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian maka tidak ada unsur kesengajaan. Harap maklumi jika ada typo berserakan, selama typo masih bisa dibaca harap dimengerti. Jika dalam cerita ini terdapat beberapa, ata...