Brent benar lagi, sains di sekolah menengah lebih sulit daripada sain di sekolah dasar. Tapi dia bohong jika dia bilang matematikanya menyenangkan, ku pikir pelajaran matematika yang menyenangkan itu se-menyenangkan membaca kisah kisah petualangan penjelajah benua, ternyata Brent bohong. Matematika hanya membuatku sulit tidur, tidak--aku tidak jatuh cinta pada matematika, jelas jelas aku membencinya.
Selain pelajaran yang memusingkan kepala, aku juga benci jam pulang yang lebih lama daripada saat aku berada di sekolah dasar, aku merasa seperti lebih banyak menghabiskan waktu disekolah daripada di rumah meski kenyataannya tidak. Coba tebak apa lagi yang membuatku begitu muak dengan sekolah menengah dimana dulu Brent sekolah ini? Jika kau menjawab Feby, kau benar. Ya, aku dan Feby kembali disatukan di sekolah menengah ini, tidak ada yang lebih menyebalkan daripada harus mendengarkan ceritanya yang membosankan itu, aku selalu berharap Feby punya chapter baru untuk diceritakan, tapi dia tidak punya. Ada lagi? Ada. Stacy juga sekolah disana. Bisa dibayangkan betapa bosannya hidup dengan dikelilingi gadis yang--aku tidak bisa menjelaskan betapa aneh dan menyebalkannya mereka, mereka sendiri aneh tapi mereka menyebutku aneh. Sialnya lagi kami berada di kelas yang sama selama tiga tahun di sekolah menengah.
Aku tidak tau mengapa mereka semakin konyol setelah tumbuh dewasa. Aku ingat saat kelas 7 mereka bahkan menceritakan kepada seluruh kelas saat mereka untuk pertama kalinya menstruasi, apa untungnya buat mereka menceritakan hal menjijikkan sepertu itu? Aku bahkan tidak mau makan selama beberapa hari karena terus membayangkan bagaimana menjijikkannya menstruasi, meski aku tau suatu saat nanti aku juga akan mendapatkannya, sejenak aku merasa senang karena ketika semua temanku sudah mendapatkannya dan aku belum. Namun lama lama mereka semua mengolok olokku karena itu, mereka bilang aku tidak normal dan masih anak kecil. Lagi pula jika aku sudah mendapatkannya pun aku juga tidak akan pernah berkoar seperti mereka. Maksudku--bukankah itu memalukan? Sekali lagi mereka membuatku benci akan takdirku yang dilahirkan sebagai perempuan setelah Brent membuatku benci akan takdirku yang dilahirkan sebagai anak kedua.
Diluar itu, masa masa sekokah menengah juga sedikit lebih menyenangkan. Alan sekolah di sekolah yang sama denganku, dia tidak se-pendiam dulu lagi, dia sering menyapaku ketika melihatku, kami tidak satu kelas tapi kami sering bertemu karena kami mengambil ekstra kurikuler yang sama. Musik. Aku baru tau ternyata Alan adalah pecinta musik saat aku melihat dia datang ke kelas musim di minggu pertama, dia duduk disampingku saat itu karena sama denganku dia juga masih asing dengan murid murid lain. Alan menjadi teman baikku sejak saat itu, hanya padanya aku menceritakan keanehan teman temanku di kelas, hanya dia yang membelaku ketika aku di olok olok oleh teman teman sekelasku. Alan anak yang baik, sejak dulu dia baik dan tidak berubah, aku senang akhirnya aku punya sahabat yang bisa dipercaya.
Aku ingat saat kelas 7 semester kedua, Alan mengantarku pulang ke rumahku karena dia kasihan padaku setelah dia melihat aku diolok olok oleh teman temanku. Ibuku mengira kalau aku selalu pulang bersama Feby, memang benar aku pulang bersamanya, tepatnya aku hanya mengikutinya dari belakang sampai dia tiba di rumahnya dan aku tiba di rumahku sendiri, tak saling bicara atau menatap. Tapi aku sesekali menatapnya, menatap tubuh mungilnya dari belakang. Aku dan Feby semakin jauh setelah masuk di sekolah menengah, itu bagus, toh aku tidak pernah menyukainya.
Saat itu hari sabtu, kami hanya menghadiri kelas ekstra hari itu jadi kami pulang tidak terlalu siang, maka dari itu Alan memilih untuk mengantarku pulang dengan alasan demi keamanan. Aku berjalan disamping Alan yang tumbuh lebih tinggi dariku, tubuh tingginya secara tidak langsung benar benar melindungiku dari sinar matahari yang agak terik hari itu, ditambah gitar yang digendongnya dia terlihat seperti menara berjalan. Dia tidak banyak bicara, mungkin dia tau kalau aku juga sedang tak mau banyak bicara.
Hari itu Brent ada di rumah karena sedang sakit, dia sedang menonton tv di ruang tengah rumah saat aku dan Alan masuk, dia meringkuh dengan balutan selimut ditubuhnya. Ibu sedang memasak makan siang, tidak ada yang boleh mengganggunya. Brent tampaknya menyukai Alan--maksudku menyukai Alan sebagai teman. Mereka bercerita banyak hal tentang musik, karena Brent juga menyukai musik, Brent berkali kali dikejutkan oleh pengetahuan musik Alan yang luar biasa luas. Brent seakan akan sembuh seketika dari sakitnya yang sesaat lalu membuatnya meringkuh tak berdaya bahkan membuatnya kesulitan membuka mata.
Hari semakin sore, Alan pun pulang. Brent menyenggol lenganku dengan sikutnya saat kami mengantar Alan sampai di depan pintu, Brent menyeringai padaku, seringaian yang mengerikan.
.....
"Bagaimana sekolahmu, Siera?" tanya ayah seperti biasa saat makan malam, dia langsung bertanya padaku karena dia tau Brent tidak pergi sekolah hari itu. Semuanya tampak menunggu jawabanku. Aku menarik nafas sebelum menjawab.
"Buruk." jelas hariku buruk kali ini. Setelah di hina habis habisan oleh Feby, Stacy dan yang lainnya.
"Bohong," Brent menyela, dia menatapku dengan seringaian yang tadi siang ada di wajahnya.
"Apa maksudnya bohong, Brent?" ibu bertanya penasaran pada Brent.
"Ibu tidak lihat? Tadi kan dia diantar pulang Alan, aku berani taruhan harimu tidak seburuk keadaanku beberapa hari ini," terang Brent yang membuatku semakin bingung, pulang dengan siapapun sama saja bagiku, aku justru merasa tidak Enak hati pada Alan yang rumahnya berlawanan arah denganku tapi dia malah mengantarku pulang. Penyakit Brent seperti sudah berdampak pada otaknya.
"Ibu lihat." jawab ibu sambil mengangguk, malam ini aku bukan pelaku yang membuat wajah ayah terlihat bodoh. "Ibu lihat Alan anak yang baik, dia sopan sekali. Ibu harap kau bisa seperti dia, Brent." seketika Brent cemberut karana menurutku Alan memang jauh lebih baik daripada Brent, tidak heran jika ibu membandingkannya dengan Brent.
"Apa kau tidak menyukainya, Siera?" tanya Brent secara tiba tiba, membuat ayah dan ibu terbatuk batuk. Aku menatap bingung pada Brent, sedangkan ayah dan ibu menatap kaget pada Brent. Aku benar benar tidak tau apa yang sudah disebabkan penyakit itu pada otak Brent, tentu saja aku menyukai Alan, kalau tidak, mustahil kami bisa berteman.
"Tentu saja, kami berteman baik. Bahkan lebih baik daripada saat aku berteman dengan Feby." jawabku, meskipun kenyataannya aku tidak pernah berteman dengan tetanggaku yang sok kecantikan itu.
"Bingo!" kali ini Brent berteriak, semua orang dimeja makan terkejut tak terkecuali Daisy, kucing yang diadopsi ibu beberapa hari lalu. Daisy adalah hewan peliharaan pertama kami.
"Brent! Bisakah kau bersikap normal? Kau membuatku takut," kataku, Brent bersikap menakutkan sekali setelah kedatangan Alan. Aku tidak menyangka Alan yang baik dapat memberi pengaruh buruk pada Brent, sepertinya aku tidak akan mengajak Alan kesini lagi, cukup sekali ini saja.
"Kau menyukai Alan, Siera. Jangan bohong." Brent kembali memakan nasinya. Apakah sekarang Brent juga sudah tuli? Aku kan sudah bilang tadi kalau aku menyukai Alan, kenapa dia mengulang lagi kata kataku? Dasar tidak efektif.
"Sebaiknya kalian belajar sekarang! Dan kau harus pergi ke sekolah besok, Brent!" seperti biasa ibu menutup percakapan tak berfaedah di meja makan dengan menyuruh kami belajar dan kemudian dia mengukut semua piring kotor dimeja. Aku berjalan lebih dulu keatas, Brent dibelakangku.
"Aku senang jika kau memang menyukai Alan, aku juga suka dia." kata Brent sambil mengacak rambutku sesaat sebelum dia menutup pintu kamarnya. Ada apa dengan Brent? Aku bergidik ngeri sesaat setelah pintu kamarku tertutup sempurna.
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
AMO (A Christopher Vélez Fanfiction)
Fiksi PenggemarCerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian maka tidak ada unsur kesengajaan. Harap maklumi jika ada typo berserakan, selama typo masih bisa dibaca harap dimengerti. Jika dalam cerita ini terdapat beberapa, ata...