Guts

42 7 3
                                    

.....

"Hi Bob-head! Selamat pagi?" Sapa seseorang yang sangat familiar, dengan senyum lebar di wajahnya dia menyapaku.

"Hi, Ari. Semalat pagi," balasku pada gadis berhijab itu, Ari adalah gadis yang baik, dia sangat aktif membantu di berbagai organisasi sosial. Dia juga sempat mendapatkan beberapa penghargaan selama dia disini bersama kami. Dia mahasiswa dari Maroko, tak heran dia begitu cantik.

"Aku dan Mikael ingin mengundangmu ke pesta kami, tolong datang ya?" Pesta? Padahal ini adalah minggu-minggu sibuk sebelum kepulangan, lagipula Ari dan Mikael kan Muslim? Kenapa mereka mengadakan pesta? "Kali ini pestanya beda Bob-head, pesta kami adalah halal party." Jelasnya, seakan-akan dia bisa membaca pikiranku kemudian aku hanya ber oh-ria. "Besok sore ya? Kami tunggu di tempat Mikael."

"Ok--Terima kasihh, Ari." Balasku, ia hanya tersenyum sambil lalu.

"Kau juga jangan lupa datang ke halal party besok sore di tempat Mikael ya, Zabdi?" Kata Ari saat tak sengaja berpapasan dengan Zabdi. Zabdi mengangguk dengan canggung kemudian Ari pun pergi. Zabdi juga buru-buru pergi setelah melihatku, aku tidak tau apa yang dia rasakan ketika melihatku, apakah dia merasa sakit hati, atau kesal, atau marah, aku tidak tau. Aku sangat ingin membantu Zabdi meringankan beban itu darinya, namun dengan begitu, itu hanya membuatku semakin bingung, aku tak mau menyakitinya lebih jauh lagi.

"Hai, ternyata kau disini?" Tanya Chris yang entah dari mana sekarang sudah ada di depanku. "Aku sudah banyak mengirim pesan padamu, tapi sepertinya kau belum membuka ponselmu." Katanya, dengan nada cemas.

"Benarkah?" Aku yang terkejut pun secara reflek mencari ponselku yang ternyata tidak ku bawa. "Eeeh, maaf Chris. Sepertinya aku meninggalkan ponselku di rumah." lanjutku, sambil meringis canggung. Aku merasa sangat bersalah karena membuat Chris cemas. Namun dia hanya tersenyum sambil mengacak rambutku.

"Tidak apa-apa. Kau baik-baik saja, itu sudah membuatku senang, dan tenang." Ia pun memegang tanganku erat dan menuntunku menuju ke kelas.

.....

Kepalaku tidak bisa berhenti memikirkan rencana untuk bicara pada Zabdi yang terus menghindariku, bahkan saat di dalam kelas Alan beberapa kali menegurku untuk konsentrasi pada apa yang berada tepat didepanku, sial sulit sekali. Saat jam istirahat tiba, Alan memberiku nasehat untuk berani bicara duluan. Alan memberi tahu aku tempat yang biasa dikunjungi Zabdi untuk menyendiri. "Kau siapkan saja mental dan kalimat-kalimat yang ingin kau sampaikan padanya, kau hanya perlu berani. Kalau kau takut kau akan mengacaukan semuanya, dan membuat dirimu terdengar lucu." Kata Alan sesaat sebelum keluar kelas, saat itu Zabdi juga sudah buru-buru keluar kelas.

"Apa harus ku kejar sekarang?" Tanyaku pada Alan.

"Tidak, kau masih terlalu kacau dan belum tenang. Tenangkan dulu dirimu." Alan sekali lagi memberiku arahan. "Semangat, kau pasti bisa," kali ini dia menepuk pundakku, lalu pergi.
.....

Sore itu juga, di hari yang sama saat Alan menyuruhku untuk memberanikan diri bicara pada Zabdi. Aku benar-benar mencari Zabdi di tempat yang diberitahukan oleh Alan--benar saja, aku menemukan Zabdi sedang duduk menghadap lapangan tennis sambil sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Dia tampak begitu serius mendengarkan sesuatu dari earphone-nya. Aku ragu-ragu melihatnya dari kejauhan, tapi aku harus berani, semua akan baik-baik saja karena inilah yang ingin kami benahi, kami tidak ingin menjadi musuh. Oleh Karena itu harus ada dari kami yang mau memulai kembali.

Aku berjalan mendekat kearahnya, semakin dekat semakin terasa kalau dia sedang sangat serius dengan apa yang sedang dia kerjakan. Mungkin lebih baik aku tunggu saja sampai dia selesai. Aku mengambil tempat duduk yang tak jauh dibelakangnya.

Sudah hampir 2 jam aku menunggu Zabdi, hari sudah semakin gelap, matahari sudah tenggelam sempurna 30 menit yang lalu. Zabdi terlihat sudah mematikan laptopnya, jantungku berdetak semakin kencang. Aku berulang kali menelan ludah saking gugupnya, namun aku sudah bertekad untuk bicara padanya, aku sudah sampai sejauh ini, so there's no turning back. Saat aku sedang sibuk menyemangati diriku sendiri, Zabdi sudah berbalik badan dan mematung setelah melihatku duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Aku pun buru-buru berdiri dan berusaha bicara. "Hi~~", bodoh sekali memang, aku malah menyapanya seperti itu.

"Apa yang kau lakukan? Sejak kapan kau disitu?" Reaksi kaget Zabdi diikuti dengan serentet pertanyaan yang tidak ingin kujawab.

"Cukup lama," setelah merasa cukup berani akhirnya aku menjawab satu pertanyaan Zabdi. Dia tampak tidak terganggu, namun terlihat dari raut wajahnya kalau dia tidak ingin berlama-lama dalam situasi yang super canggung ini. "Zab, aku ingin bicara." Akhirnya keluar juga kata-kata itu, Zabdi tampak menunggu lanjutan dariku. "Kami sangat rindu padamu Zab," kata itu dengan lancar keluar dari mulutku meskipun rasanya ingin sekali aku menumpahkan air mataku saat itu juga. Pandangannya berubah menjadi sedikit redup. Dia tak berani menatapku. Kami diam untuk beberapa saat.

"Aku minta maaf." Tak disangka aku dan Zabdi mengatakan itu secara bersamaan.

"Semua itu salahku," katanya. Dia memberanikan diri untuk menatapku. "Sungguh semua itu salahku Bob-head, aku pantas mendapatkannya."

"Kau bahkan tidak berhak mengatakan itu Zab." Zabdi hanya diam, "Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan terhadapmu hingga akhirnya aku hanya mendiamkanmu, aku sangat menyesal, aku benar-benar minta maaf, aku sama sekali tidak marah." Kali ini ia menggeleng dengan kuat. "Alan sudah cerita semuanya, dan..."

"Aku tau kau mungkin merasa semakin bersalah Bob-head." Ia menundukkan lagi kepalanya, namun ia segera bangkit, "Tapi kau sudah menebus semuanya dengan muncul disini, saat ini juga, dan berbicara padaku." Lanjutnya sambil memasang senyum yang super lebar, aku tidak tau apa yang dia rasakan, aku juga tidak bisa menebaknya, dia tersenyum lebar sekali tapi disaat yang sama dia juga menangis. "Sebenarnya aku juga sangat merindukan kalian~~" tangisnya tidak bisa ditahan lagi, mempengaruhi emosiku untuk ikut menangis.

Aku berjalan mendekatinya dan kemudian memeluknya, "Selamat datang kembali, Zab." Rasanya sudah lamaaaaa sekali kami tidak saling menyapa. Zabdi membalas pelukanku sambil menangis sejadi-jadinya, aku juga menangis, tapi hanya air mata yang keluar dariku, aku tidak sanggup bersuara. Pada akhirnya, seberapa banyakpun kalimat yang aku siapkan untuk Zabdi, hanya bagian yang paling penting saja yang akhirnya tersampaikan--dan itu sudah cukup.

Saat aku dan Zabdi sedang tersedu-sedu dalam pelukan, tiba-tiba terasa seseorang merangkul kami dari samping. Alan, dengan wajah datar dan matanya yang berkaca-kaca ia merangkulku dan Zabdi. Berarti dari tadi dia juga menunggu kami dari tempat tersembunyi. Alan, benar-benar anak ini.

Hari kepulangan semakin dekat, mahasiswa peserta students exchange dibuat semakin sibuk dengan jadwal pemulangan. Semoga masalah ini adalah masalah terakhir yang tersisa di penghujung waktu kami disini, aku berharap kami dapat menikmati sisa waktu yang tidak banyak ini dengan sebaik mungkin. Aku berharap dengan sisa waktu yang kita miliki, kami dapat membuat kenangan indah bersama-sama.

.....

It's been a very long time since the Tsundere chapter, omg. Gatau kenapa males banget rasanya kalo mau ngelanjutin, tapi kalo ga diselesain kok rasanya diteror terus kaya ada utang yang perlu dilunasin. So here it is, another cringy chapter😭 anyways ga lupa aku mau makasih banget buat teman-temanku yang sudah membaca dan senantiasa mendukung, maaf karena aku gabisa menuhin ekspektasi teman-teman. Makasih juga buat yang udah nungguin, I can't believe there actually is. Makasih banget semuanya, ini belom tamat, masih bakal ada 1 atau 2 chapter lagi, semoga bisa bikin ending yang bagus ya? Amiin. Again, maapin typo(s)nya ya? Thanks y'all.
All the love. R

AMO (A Christopher Vélez Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang