"Hay Brent!" sapaku pada Brent yang sedang menguap lebar tanpa menutupi mulutnya, untung saja hanya face time.
"Bisakah kau berhenti menggangguku?" protesnya sambil menghidupkan lampunya dan medudukkan dirinya. Asal dia tau saja aku suka mengganggunya.
"Bagaimana kabar ayah dan ibu?--apakah ibu sudah bangun?" tanyaku, Disini pukul 7 malam, di Indonesia sudah jam 5 pagi, biasanya ibu sudah bangun.
"Entahlah--aku sedang tak mau kemana mana. Hari minggu waktunya bermalas malasan, Kau tau." Katanya. Ya, disana sudah hari minggu, tapi Disini masih hari sabtu, sabtu malam. "Kenapa kau tidak keluar dengan teman temanmu menonton film? Dead Pool 2, atau film Brasil," dia menguap lagi. Sebenarnya tadi Alan mengajakku nntuk menonton bersamanya dan juga Elsa, tapi Aku menolak karna aku tak ingin mengganggu mereka, aku ini teman yang baik. Selama disini biasanya aku menonton bersama kelima pemuda Latin itu ditambah Lexie, atau bersama Alan dan Elsa. Karena Aku tak ingin mengganggu Elsa dan Alan, ditambah lagi salah satu dari kelima pemuda Latin itu tadi mengantar keluarganya pulang, aku juga memilih diam dirumah--lagi pula aku sedang tak enak badan.
"Bagaimana Siera dan Alan?" Aku menanyakan kabar kucing kucing peliharaan kami. Aku bahkan sudah lupa warna bulu Alan, Alan adalah kucing yang paling nakal di rumah kami, suka bermain diluar dan tak akan pulang kalau matahari belum tenggelam--kalau dia manusia ibuku pasti akan memarahinya setiap hari seperti dia memarahi Brent.
"Baik. Anak anak Siera juga sehat, Mereka lucu sekali."
"Kau sudah memberi mereka nama?"
"Ya--sisanya kuserahkan pada ayah dan ibu." Brent mulai bangkit, dia berjalan menuruni anak tangga, sambil sesekali mengucek matanya ia berbicara panjang lebar tentang anak kucing yang dia beri nama Brent Junior.
"Brent Kau tidak boleh berjalan sambil bermain ponsel. Bahaya!" suara ibu terdengar saat Brent sudah di dapur.
"Ini, bicaralah dengan Siera--aku mau secangkir kopi." Brent memberikan ponselnya pada ibu yang sepertinya selesai mencuci piring, ia mengusapkan tangan basahnya ke baju yang ia kenakan. Rambutnya di ikat asal asalan tapi tetap Cantik.
"Pagi sayang?" sapanya sambil tersenyum lebar.
"Malam, bu." balasku. Ibu hanya tersenyum salah tingkah menyadari perbedaan waktu yang berbeda.
"Bagaimana kabarmu? Kau sudah makan?"
"Baik, aku sudah memesan pizza tadi, masih ada beberapa potong untuk dimakan besok--bagaimana dengan ibu?" aku duduk di Dekat jendela apartemenku yang terbuka, angin malam yang dingin menerpa wajahku.
"Seperti yang kau lihat, aku baik baik saja--hanya saja aku belum mandi, badanku bau sekali." ibu mengendus badannya sendiri seakan aku juga bisa mencium baunya.
"Ayah belum bangun?"
"Ayahmu masih tidur. Semalam dia menonton siaran sepak bola hingga larut,"
"Dortmund?" ibuku mengangguk. Ayahku adalah penggemar klub Jerman yang dijuluki Die Borussen atau Die Schwarzgelben itu. Bagi beberapa orang ini cukup membingungkan bagaimana ayahku, kakakku dan Aku bisa menyukai klub yang berbeda, bahkan bermain di liga yang berbeda. Tapi setiap orang punya pilihan untuk menyukai atau membenci sesuatu--sah sah saja, tidak ada salahnya menjadi berbeda. Itu kata kata Brent yang selalu menguatkanku di setiap situasi.
Kami mengobrol sampai larut malam, sampai baterai ponsel Brent hampir habis. Brent yang sedang asyik menonton kartun di hari minggu pun benar benar mengabaikanku.
"Baiklah nak, jaga dirimu baik baik disana--ibu menyayangimu." Ibu menutup teleponnya. Sudah larut malam disini, saatnya tidur.
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
AMO (A Christopher Vélez Fanfiction)
FanfictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian maka tidak ada unsur kesengajaan. Harap maklumi jika ada typo berserakan, selama typo masih bisa dibaca harap dimengerti. Jika dalam cerita ini terdapat beberapa, ata...