Calon Mahasiswi

114 15 0
                                    

"Kau pasti sudah gila!" teriak Brent mengejutkanku. Suaranya yang keras itu sangat menggangguku yang sedang asyik membaca novel. Brent membaca surat itu berkali kali dan setelah selesai membaca dia kembali berseru kalau aku pasti sudah gila.

"Brent! Bisakah kau berhenti berteriak? Kau membuatku muak!" kali ini aku yang teriak padanya dia tetap saja bertingkah seperti orang gila, sepucuk surat bisa membuat Brent bertingkah gila, padahal kan surat itu untukku.

"Siera, kau tidak tau betapa bangganya aku padamu," kali ini dia beralih memelukku sangat erat hingga aku kesulitan bernafas.

"Menyingkir, Brent!" aku menyingkirkan tubuh besarnya, sekarang dia duduk di sampingku.

"Kau tau dulu aku sangat ingin masuk ke universitas ini, tapi aku tau aku tidak mungkin bisa. Dan sekarang lihat dirimu! Kau bahkan bisa masuk ke sana semudah itu." sebenarnya siapa yang sudah gila? Aku bahkan tidak menginginkannya--universitas itu, menurutku sama saja, tapi Brent dulu sangat ingin masuk kesana berarti dia yabg gila. Brent diam menatap surat itu untuk ke sekian kalinya. "Terkadang aku merasa sangat iri padamu," kata Brent tanpa mengalihkan pandangannya dari surat, wajahnya redup. Aku seketika menoleh padanya, heran bagaimana bisa dia iri padaku? Padahal selama ini aku iri padanya karena dia lahir lebih awal dariku, aku iri padanya karena dia dilahirkan sebagain laki laki, dan banyak hal lain yang membuatku iri padanya.

"Kau pasti sudah gila!" Kali ini Aku yakin dia benar benar gila, aku menatap Brent tidak percaya, dengan kehidupanku yang begitu membosankan, menyebalkan, dan melelahkan ini dia bisa iri padaku? Tentu dia pasti sudah gila.

"Tidak, tidak, Siera! Aku iri padamu yang bisa mendapatkan apapun yang kau mau dengan usahamu sendiri. Aku terlalu merepotkan bahkan untuk mendapatkan apa yang aku inginkan." apa dia bilang? Aku kan tidak pernah menginginkan masuk di universitas itu, dan apa dia bilang? Dia terlalu merepotkan? Ya, itu memang benar, tapi dia cukup berguna akhir akhir ini. "Tapi aku sangat bangga padamu, Siera. Demi Kurt Cobain yang hidup lagi aku sangat bangga padamu," Brent memelukku sambil mengelus pundakku, aku tidak bereaksi apapun, membiarkan Brent menumpahkan semua yang ingin ia tumpahkan. "Aku tidak percaya sekarang kita sudah tumbuh sebesar ini," kali ini dia sedikit tertawa.

"Menyingkir Brent! Aku tidak bisa bernafas!"

"Oh, maaf," katanya sambil menyingkirkan tubuhnya. Dia benar lagi, setiap hari berganti bulan, berganti ke tahun kami bahkan tidak pernah sadar bahwa kita sudah tumbuh semakin besar, kami tidak pernah tau apa saja yang kita dapat dari perjalan itu. Sampai hari ini Brent mengingatkanku tentang satu hal: bahwa kita harus bersyukur atas apa yang kita Terima baik dan buruk semua bisa menjadi baik, tidak perlu iri satu Sama lain katena Tuhan punya rencana yang baik Untuk semua manusia. "Kau harus menjadi yang terbaik Siera, seperti biasanya kau adalah yabg terbaik. Kau harus memanfaatkan waktumu sebaik mungkin selama kau di sana, lakukan semuanya dengan senang, maka semuanya aka terasa ringan dan cepat."

"Aku tau apa yang harus aku lakukan, Brent. Tidak usah sok menasehatiku." aku berkata santai padanya.

"Aku selalu membenci sikapmu yang seperti itu." kata Brent kemudian seperti biasa dia mengacak acak rambutku.

.....

Beberapa tahun kemuadian.

Brent benar--lagi, Entah Untuk keberapa kalinya. Menjadi mahasiswi itu melelahkan, aku sering kali mengeluh seperti yang dulu di lakukan Brent. Brent sudah menyelesaikan pendidikan sarjananya kurang lebih satu tahun lalu, dan aku sedang berada di penghujung semester ke-3. Aku merasa seperti mayat hidup ketika ibuku membangunkanku di pagi hari. Mungkin itulah sebabnya kenapa Brent tidak punya niat melanjutkan pendidikan pasca sarjana, tentu saja otak sempitnya sudah kelelahan.

"Brent, kau tidak boleh melupakan laptopmu lagi, kau sangat ceroboh" kata ibu saat sarapan, ibu memasak bubur ayam pagi ini, tapi aku tak bersemangat menyantapnya, yang aku butuhkan hanyalah memejamkan mataku untuk beberapa jam. Ayahku sudah berangkat kerja pagi pagi tadi, menghindari macet yang sekarang ini sangat parah.

"Iya bu, sudah ku taruh di tasku, terima kasih sudah mengingatkan," jawab Brent santai, ia melahap lagi buburnya.

"Aku tidak mau memesan ojek online hanya untuk mengantar laptop sialan itu ke kantormu," Brent cemberut mendengar ibu menghina barang yang selama ini menjafi sumber uang baginya. Iya, kemarin Brent meninggalkan laptopnya dirumah, tentu saja dia tidak sengaja dan itu membuat ibu harus memesan ojek online untuk mengantar laptopnya. "Siera, kau tidak menyentuh bubur buatan ibu?" kali ini ibu bertanya padaku yang lebih terlihat bodoh daripada Brent. Brent sekarang sudah hebat, dia bisa menghasilkan uang puluhan juta dengan selembar gambarnya.

"Aku tidak lapar, bu." jawabku malas, Brent mencoba menyuapiku tapi aku menggeleng menolak.

"Akan ibu siapkan bekal untukmu," ibu beranjak berdiri dan menyiapkan bekal untukku, aku tidak menolak karen itu hanya akan membuat ibuku semakin marah. Sepuluh menit kemudian bekal sudah berada di tasku, Brent juga sudah selesai.

"Ayo berangkat!" Brent menaruh mangkuknya di tempat pencuci piring kemudian mencuci tangannya. Aku berdiri, berpamitan pada ibuku dan mencium tangannya seperti biasa, kemudian Brent menyusul.

"Hati hati saat menyetir Brent, se buru buru apapun keselamatan adalah yang utama," kata ibu saat Brent mencium tangannya. Oiya, Brent sudah membeli mobilnya sendiri, meskipun ia masih mencicilnya, tapi itu pencapaian yang bagus. Setidaknya ia tidak lagi merepotkan ayah dan ibu, atau aku.

Brent mengantarku sampai gerbang depan kampusku, kantornya berada tak jauh dari sana, hanya terpisah beberapa blok. Aku melambaikan tanganku mengiringi mobil Brent yang semakin jauh. Udara sudah terasa panas sepagi ini, keadaan kota ini semakin hari semakin buruk.

Aku berjalan menuju ruangan dimana seorang dosen memintaku hadir. Ya seharusnya hari ini aku libur, tapi dosenku mengirim e-mail padaku dan memintaku untuk hadir hari in. Maka dari itu aku datang kemari dengan perasaan terpaksa. Kampus sangat ramai hari ini, di ruangan itu sudah ada beberapa mahasiswa/mahasiswi disana sedang mengobrol. Aku mengambil posisi tempat duduk favoritku sejak sekolah dasar. Corner.

"Hey Siera! Selamat pagi" sapa Alan, dia baru saja sampai beberapa detik setelah aku datang. Aku lupa bilang kalau Alan juga kuliah di universitas yang sama denganku, Brent hampir menangis saat dia tau kalau Alan juga kuliah disini, Brent sangat berlebihan dan itu membuatnya gila, terkadang aku kasihan padanya.

"Pagi, Alan. Kau juga diminta hadir?" tentu saja aku terkejut Alan ada disini karen dosen itu bilang hanya orang orang tertentu yang diundang.

"Menyebalkan memang, harusnya hari ini aku tidur sepanjang hari tapi malah harus berangkat kesibi pagi pagi," jawabnya sambil menyisir rambutnya dengan jemari. "Sebenarnya mereka mau membahas apa?" dia bertanya padaku, aku mengangkat pundakku tanda tak mengerti. Beberapa menit kemudian dosen yang mengirimi email itu masuk besamaan dengan beberapa orang asing dan dosen lain.

"1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8. Semua sudah hadir, baiklah segera kita mulai," kata dosen itu setelah duduk di depan bersama orang orang yang tadi mengikuti di belakangnya.

.....

AMO (A Christopher Vélez Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang