Fly

116 14 0
                                    

"Student Excange Program?" Brent berteriak sambil merebut surat yang tadinya dibaca oleh ayah, lagi lagi dia bersikap berlebihan. Ia membaca surat itu sambil berkomat kamit seperti dukun sedang membaca mantra.

"Itu bagus, sayang" kata ayah sambil tersenyum padaku, ibu yang duduk disamping ayah tampak sebaliknya, ia tampak tidak tertarik.

"Baiklah, Siera! Ini adalah program jangka panjang, kau akan menghabiskan dua semester penuh disana. Dan aku menyarankan sebaiknya kau tidak pergi." Brent, orang pertama yang menolak mentah mentah program itu.

"Bicara apa kau ini, Brent? Itu bagus, dengan program itu kau bisa mempelajari budaya orang lain dan belajar berinteraksi dengan dunia luar. Kau harus pergi Siera." kata ayah keukeuh ingin aku tetap berangkat.

"Ayah, ini program jangka panjang. Satu tahun itu lama sekali ayah," dulu Brent sempat mendapatkan rekomendasi dari kampusnya untuk ikut program seperti ini, tapi dia menolaknya dengan alasan tak mau jauh dari keluarga. Brent aka tetap menjadi Brent, Brent yang berlebihan.

"Aku tau Brent, tapi itu sangat positif." ayah kembali menyantap nasinya.

"Bagaimana pendapat ibu?" ibu yang sedari tadi diam pun tersentak saat Brent bertanya pendapatnya soal program ini, ia mengedarkan pandangannya kepada semua orang di meja.

"Semua terserah pada Siera. Jika dia ingin pergi aku tidak akan melarang." kata ibu, kemudian melahap lagi nasinya.

"Kau tidak akan meninggalkan kami kan, Siera?" Brent membujukku untuk menolak program itu.

"Bagaimana dengan Alan? Apakah dia juga direkomendasikan?" tanya ayah, aku juga lupa soal Alan yang juga direkomendasikan.

"Iya, Alan juga hadir di pertemuan singkat itu, sepertinya dia sangat semangat untuk mengikuti program ini." jawabku.

"Baiklah, nanti ayah akan menelepon Alan setelah makan."

"Kau tidak boleh pergi, Siera. Bayangkan satu tahun penuh kau berada jauh ribuan mil dari keluargamu!" Brent terus meyakinkanku selagi ibu membersihkan meja dari piring piring kotor. Aku tidak pernah menginginkan program itu, siapa juga yang menyangkanya? Aku setuju dengan apa yang dikatakan ayah mengenai sisi positif dari program itu. Tapi aku juga kasihan pada Brent yang jelas tak mau jauh dariku.

Ayahku sedang mencari kontak Alan di ponsel Brent, karena aku meninggalkan ponselku di kamarku. Nada sambung berbunyi beberapa kali sampai akhirnya suara Alan menyahut.

"Halo Alan ini aku,"
"Apakah kau juga akan pergi ikut program pertukaran pelajar itu?" ayah bertanya to the point pada Alan.

"Ku harap dia tidak pergi." Brent yang tersandar lemas berbisik di sampingku, aku tidak merespon sampi ayah selesai dengan Alan.

"Bagaimana?" ibu bertanya lebih dulu

"Dia akan pergi. Orang tuanya sudah setuju, dia akan berangkat nanti.

"Oh tidak!" Brent mengutuk lirih di sampingku. "Siera kau akan menghabiskan satu tahun mu di--" dia tampak berfikir mengingat dimana program itu dilaksanakan, dia kembali menengok surat itu. "Di Sao Paulo--tunggu! Sao Paulo?--Brazil?" Dia kembali bertingkah berlebihan. "Itu jauh sekali, Siera." Brent benar benar sudah gila.

"Jarak bukanlah penghalang untukmu belajar, nak. Jangan dengarkan kakakmu, dia berlebihan." kata ayah, ayah benar soal Brent yang berlebihan, meskipun Brent juga benar kalau Brazil sangat jauh dari Indonesia. Tapi ayah benar lagi soal jarak bukan penghalang untukku belajar meskipun aku sebelumnya berharap program itu dilaksanakan di salah satu negara di Eropa.

.....

Dua bulan kemudian.

Aku sedang duduk dengan Alan dan Brent. Brent duduk ditengah diantara aku dan Alan sambil merangkul lengan kami. Suasana bandara tidak begitu ramai karena kami mengikuti penerbangan malam dari Indonesia. Kami akan segera terbang kurang lebih 30 menit lagi. Dari delapan orang yang direkomendasikan hanya dua orang yang berangkat, Alan--dan aku. Empat diantaranya tidak mendapat izin dari orang tua mereka, kemudian dua sisanya tidak mau pergi. Setelah hampir dua bulan kami mengurus dokumen perjalanan akhirnya hari ini kami bisa berangkat.

"Ingat Siera, kau harus punya banyak teman disana," kata ayah sambil mencium ubun ubun kepalaku. Aku mencium tangannya, berpamitan. Kemudian beralih ke ibuku yang berdiri di samping ayah.

"Hati hati nak, selama tidak ada ibu kau harus mengurus dirimu sebaik mungkin," kata ibu sambil menangis saat aku mencium tangannya, benar, aku pasti kesulitan mengurus diriku jika tidak ada ibuku.

"Kau harus segera kembali!" kata Brent dengan tampang nelangsanya.

"Aku akan kembali setelah semuanya selesai, jangan kuatir." balasku, kemudian dia mengacak rambutku (lagi) sebelum akhirnya memelukku. Aku bergantian berpamitan pada orang tua Alan.

"Aku titipkan adikku padamu, kawan." kata Brent saat memeluk Alan.

"Aku akan menjaganya," balas Alan.

....

Disini sudah pukul 12.45 siang, itu artinya pukul 10.45 malam di Indonesia. Aku bertanya tanya apakah Brent tidur nyenyak sejak kemarin dan malam ini? Apakah ibu juga? Aku sudah merindukan mereka.

"Aku akan menukarkan uang dulu--kau mau ikut atau tunggu disini?" kata Alan setelah mengambil kopernya.

"Aku tunggu disini saja," kataku, aku memberikan uangku pada Alan untuk ditukarkan di money changer yang ada di bandara. Setelah satu hari lebih satu jam kami terbang ke brazil dengan satu kali transit di Dubai rasanya tubuh ini sangat lelah, ingin direbahkan. Padahal kami terbang tidak menggunakan sayap, melainkan hanya duduk di kabin pesawat sambil mendengarkan musik, membaca buku, dan tidur jika sudah bosan. Aku menikmati perjalanannya, hanya saja aku benci efeknya--jetlag tentu saja.

Alan kembali 15 menit kemudian, dia memberikan sebagian uang itu padaku, kami pun berangkat ke alamat yang di berikan oleh dosen kami dimana apartemen tempat kami akan tinggal selama dua semester kedepan. Alan menyetop taksi yang ada sekeluarnya kami dari bandara, kemudian menyebutkan alamatnya, beruntung sopir taksi itu sedikit mengerti bahasa Inggris meskipun usianya sudah tak muda lagi.

Aku banyak mengamati city-view kota Sao Paulo dari dalam taksi. Kota ini bagus juga, tak kalah dengan kota kota di negara benua Eropa, ciri khas arsitektur yang klasik membuatku semakin tertarik memandang ke luar. Jika Brent melihatnya dia pasti juga akan senang. Sopir taksi itu bilang kami hanya butuh kurang lebih 30 menit menuju apartemen, jadi kami tidak sempat tidur, lagi lagi kami hanya duduk.

"Muito obrigado!" Alan melambai pada sopir taksi yang sudah menjauh. Sedangkan aku sedang menatap bangunan besar di hadapanku, bagian luar bangunan ini bagus, mari kita lihat dalamnya. Aku dan Alan disambut oleh beberapa staff pengelola gedung apartemen itu, kami mengobrol sejenak dengan mereka. Mereka menjelaskan bahwa bangunan ini baru dan dua lantai pertama sudah sengaja di sewakan kepada pihak kampus setempat untuk menampung mahasiswa/mahasiswi dari negara lain.

Kemudian mereka menjelaskan peraturan selama tinggal disini. Pertama laki laki dan perempuan tidak boleh tinggal bersama, jika tidak ingin tinggal sendiri setidaknya harus mencari teman sesama jenis yang bersedia tinggal bersama--aku tidak keberatan tinggal sendiri, itu jelas. Ke dua mereka menjelaskan tentang tanggung jawab mereka, apa saja yang mereka jamin disini, dan apa saja kebijakan yang dapat mereka ambil kepada setiap penghuni. Kemudian mereka memberikan kartu akses masuk ke apartemen pada kami. Lantai pertama dipakai sebagai perkantoran, lantai dua dihuni para laki laki, lantai diatasnya baru perempuan. Sial, aku sangat lelah dan aku berada di atas. Sempurna, untungnya disini sudah ada lift--dua lift.

"Selamat istirahat, Alan." kataku saat Alan melangkah keluar dari lift.

"Kau juga," balasnya sambil tersenyum, aku membalas senyumnya kemudian naik satu lantai lagi.

Bangunan ini luas sekali, ada banyak pintu di setiap lantainya, aku berjalan sambil mengamati nomor nomor di setiap pintu hingga aku sampai di ujung lorong. Sialan kenapa aku selalu berada di ujung? Aku menggerutu seperti orang gila. Aku masuk kedalam dengan kartu akses yang sudah diberikan. Tempat ini luas, cukup untuk dihuni aku sendiri--bahkan terlalu luas. Aku berpetualang sejenak di apartemenku berusaha membiasakan diri dengan ruangan ruangan yang serba baru ini, sampai akhirnya aku menemukan kasur single. Ku rebahkan badanku dan merasakan perlahan tulang punggunku kembali ke posisi semula, lega sekali.

Aku tidur selama Hampir 8 jam, bangun dimalam hari pukul 8 malam waktu Brazil. Aku benci jet-lag.

.....

AMO (A Christopher Vélez Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang