....
Knock knockAku mengetuk pintu apartemen Zabdi, apartemen bawah tampak sepi. Dia bilang dia ada di rumah tapi kenapa tidak kunjung menjawab? Aku menatap pintu apartemen Chris yang tak jauh dari sana, aku pun menulis pesan pada Chris. Namun sebelum sempat ku kirim pesan itu, Zabdi sudah membuka pintunya. "Hai Bob-head?" Zabdi yang masih mengalungi handuk menyapaku, sepertinya dia baru saja selesai mandi.
Ia menyilakanku masuk, aku pun duduk di bangku dimana dia sepertinya sedang membuat projek klubnya. "Kau sedang sibuk?" Tanyaku padanya yang entah sedang sibuk melakukan sesuatu di dapur.
"Tidak, tadi ibuku menyuruhku untuk memeriksa dokumen perjalananku dan memastikan semuanya aman sebelum kepulangan karena akan butuh waktu lama mengurusnya jika ada satu dari mereka hilang." Balasnya dengan suara lantang karena dia masih di dapur. "Kau mau minum apa Bob-head?" Tanya Zabdi sambil memiringkan tubuhnya.
"Apa saja." Balasku, tak lama kemudian dia datang dengan dua cangkir teh hangat. Suasananya menjadi sangat canggung, aku merasa seperti ada jarak antara aku dan Zabdi. Benar juga kata Chris, semuanya akan berubah setelah aku tau kebenarannya. Aku menatap Zabdi yang sedang membereskan mejanya, tanpa sengaja mata kami bertemu dan membuatku semakin menyesal.
"Kau baik-baik saja, Bob-head?" Tanyanya, sepertinya dia menangkap sinyal tidak enak dari ekspresiku. Dia berhenti dengan mejanya dan fokus menghadapku, tampak menunggu. Aku pun menarik napas sebelum berbicara, aku tak tau harus mulai dari mana.
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padamu Zab," Zabdi hanya mengangkat sebelah alisnya seperti reaksi 'lalu?'. Aku berfikir sejenak untuk melanjutkannya. "Aku tak tau harus mulai dari mana, tapi sepertinya aku akan langsung pada intinya saja."
"Baiklah," balasnya sambil membenarkan posisi duduknya.
"Kemarin saat kita sama sama mengerjakan laporan akhir, kau ingat kau meminjamkan laptopmu pada Chris?"
"Tentu saja,"
"Aku ingin meminta maaf atas namanya karena dia sudah melanggar privacy-mu." Lanjutku. Wajah Zabdi berubah menjadi ekspresi bingung. "Dia menemukan tulisanmu dan membacanya--dia bilang kau menulis tentang aku disana, dan juga perasaanmu terhadapku." Kali ini wajahnya benar benar terlihat sangat terkejut, matanya yang seketika terbelalak dengan tatapan kosong dan juga wajahnya yang mulai membara. "Aku tau kau berhak marah, Zab. Tapi baik aku ataupun Chris tidak ingin itu terjadi, bagaimanapun kau adalah sahabat kami--sahabatku." Dia hanya merundukkan kepalanya, aku sama sekali tidak tau apa yang dia pikirkan saat ini. "Zab--aku benar benar minta maaf."
"Tidak apa apa," jawabnya cepat. Dia mendongak sembari memberikan senyum, "Sungguh, Bob-head--tidak apa apa. Memang sudah seharusnya kalian tau yang sebenarnya, kalau aku bukan orang baik." Katanya, masih dengan ekspresi yang sama. "Kau berhak bahagia dengan pilihanmu Bob-head, kau sudah berada di jalur yang benar." Lanjutnya.
"Zab, kau baik baik saja? Kau tidak marah?" Tanyaku takut takut. Aku belum pernah melihatnya seperti ini. Lagi pula siapa yang menyangka kalau yang selama ini sering dia ceritakan itu aku? Tidak ada seorangpun.
"Perasaan itu, aku masih masih menyimpannya, aku berniat untuk mengatakannya padamu suatu saat nanti agar aku bisa lega." Wajahnya yang biasanya leriang berubah menjadi sangat suram, air mata mulai mengalir dari ujung matanya. "Sangat tidak diduga kau malah mengertahui dengan cara seperti ini sebelum aku sendiri yang mengatakan itu padamu."
"Zab, I'm so sorry." Aku ingin memeluknya, berharap bisa membuatnya tenang. Namum dia menepisku dan bergerak menjauh.
"Sebaiknya kau pulang Bob-head. Kita bicara lagi setelah aku lebih tenang." Katanya sambil menarikku keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMO (A Christopher Vélez Fanfiction)
FanfictionCerita ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian maka tidak ada unsur kesengajaan. Harap maklumi jika ada typo berserakan, selama typo masih bisa dibaca harap dimengerti. Jika dalam cerita ini terdapat beberapa, ata...