Kebosanan melanda seorang Arda, hanya dua kali dalam seminggu ia bertemu dengan guru privat cantiknya itu. Celah rindu mulai membayanginya, entah itu sebuah rasa atau hanya terbiasa. Arda mulai keluar menyalahkan motornya.
"Arda mau ke mana?"
"Nyari angin bu, Arda pergi dulu."
Arda menyusuri setiap jalan di kota pagi itu. Ponselnya berdering membuat dirinya menepi ke sisi jalan.
"Halo Ti, ada apa?"
Ya, seorang perempuan dari salah satu gengnya menelponnya tengah berkendara.
"Kok lo jarang kumpul sama kita kita? Ke mana aja lo Da? Anak-anak udah nanyain lo tuh."
"Gue sibuk, sorry. Shareloc aja, nanti gue ke sana."
Tia Amanda, dia teman baik Arda sekaligus ikut dalam geng motornya. Ia cantik, sedikit tomboy juga punya kepedulian besar. Ia pernah menjadi bagian dari masa kecil Arda, yaitu sahabat baiknya.
Arda pergi menemui geng sepermotorannya. Arda menceritakan segala hal yang menimpa dirinya akhir-akhir ini. Terlebih lagi kesibukannya dalam belajar, padahal sama sekali dirinya tak serius untuk melakukan hal itu. Hanya karena Alista lah menjadi motivasinya untuk melakukan itu semua.
"Guru privat?" Tia mulai heran.
Semua orang tercengang. Beberapa mata menatap Arda tak habis pikir, karena Arda bukanlah orang yang mudah menerima lingkungan baru terlebih lagi sebuah pelajaran. Itu sungguh nihil bagi para temannya.
"Iya guru privat."
"Gue gak salah denger nih Da? Orang kayak lo mau les privat?" tanya Panji.
"Suka-suka gue lah hidup-hidup gue.
Guys, gue cabut dulu ya. Ada urusan."Arda mulai menaiki kembali motornya. Hal yang aneh adalah, Arda yang tersenyum terus menerus membuat semua temannya terheran.
"Sial, Arda salah minum obat?" celetuk Hendri.
Tia sendiri masih menatap heran Arda yang telah pergi. Selama ini dia mengenal Arda, namun ini bukan Arda yang dikenal. Arda bukan orang yang mudah menerima hal baru terlebih lagi adalah pelajaran. Ia sempat bercerita kalau kuliah hanya membuat dirinya bosan. Perubahan yang dilakukan Arda, membuat Tia sungguh bingung. Apalagi ketika Arda menyebut seorang guru les privatnya.
••
Alista pergi nyekar ke makam orangtuanya. Hari itu dia tidak bersama adik manjanya, karena Reka tengah menjalani kuliah. Dengan membawa seikat karangan bunga mawar putih, Alista mulai mengeluarkan air matanya. Ia menaruh perlahan bunga di atas pusara kedua orangtuanya.
"Andai aja Ayah sama ibu masih ada di samping kita. Alista sama Reka pasti gak akan kesepian lagi. Ayah, Alista minta maaf, Alista belum bisa ngabulin keinginan Ayah, buat Reka senang. Alista juga belum bisa menuhin cita-cita Ayah juga cita-cita Alista."
Secangkir teh tertera di atas meja, sinar mentari menyorot jendela kamar Alan.
"Emmm, berkas kantor udah selesai semua, sekarang tinggal gue yang santuy." Alan duduk di sebuah kursi di balkon rumah, dengan handuk yang masih di kalungkan di lehernya.Bukaan pintu terdengar nyaring. Arda masuk begitu saja ke kamar sang kakak tanpa ketukan ataupun suara meminta izin.
"Bang, kunci motor mana?"
"Buat apa lo kunci motor gue?"
"Pinjem lah bang bentar."
"Ya tapi buat apa? Lo mau ke mana? Gak, gak boleh!"
"Pelit banget, bentar doang bang, mau ke depan."
"Pokoknya nggak, lo gak boleh pinjem. Lo kan punya motor sendiri."
"Motor gue di bengkel bang."
Arda si pecicilan, matanya menyorot pada kunci motor Alan yang tergeletak di atas nakas. Dengan diam-diam Arda mengambil kunci motor itu tanpa seperizinan Alan.
"Gue pinjem bang." Teriakan itu memecah fokus Alan.
"Et sial tuh anak, Arda ... balikin kunci motor gue, Arda!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Fiksi RemajaAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...