Arda tengah tersenyum menatap sebuah foto dalam galeri ponselnya. Wajah Alista terpampang jelas ketika ia tertunduk dengan mata terus membaca sebuah buku. Tak disangka, Arda telah diam-diam memotret guru privatnya itu. Rasa suka mungkin sudah timbul di hati Arda. Tak ada halangan ketika ia mulai menyukai guru privatnya sendiri yang usianya lebih tua darinya saat ini.
"Gimana caranya gue bisa deket sama Alista selain belajar ya? Kalau gue ajak jalan berdua, itu gak mungkin. Alista pasti nolak," gumamnya.
"Jalan jalan?"
Alan mengerutkan dahinya setelah mendengar argumen Arda yang begitu aneh. Adik laki-lakinya itu tiba-tiba mengajak mereka untuk family time. Padahal, Arda bukanlah anak yang suka memikirkan hal seperti itu. Semuanya membuat Alan terheran.
"Iya, family time. Etitss, kita ajak kak Alista gimana? Selama ini kan dia udah banyak bantu Arda."
"Wah ada maunya nih anak," batin Alan menyeringai aneh menatap sang adik. Ia tahu bahwa terbesit makna tertentu di pikiran Arda.
"Arda, ibu gak salah denger? Alista mana mau ikut hal kayak gitu nak." Bu Laras sibuk melipat baju.
"Apa salahnya mencoba bu? Cuma ke pantai kok gak jauh-jauh, sekalian refreshing juga."
Alan hanya terdiam sambil meminum secangkir kopi. Bu Laras mencoba bicara pada Alista perihal liburan yang diajukan Arda sebelumnya. Sungguh anak kesayangan bukan? Ketika permintaannya dituruti oleh sang ibu. Bu Laras sebenarnya sangat tidak enak pada Alista. Matanya memencar canggung ketika berusaha mendekati Alista. Sementara, Arda di balik tembok berusaha untuk mengintrupsi sang ibu untuk segera melakukannya.
"Kalau gue nolak, gue gak enak sama Bu Laras. Ga enak juga sama Arda, tapi gue males ketemu si Alan," batin Alista. Ia terlihat cemas namun berusaha terus tersenyum depan Bu Laras.
"Ya udah, saya mau."
"Beneran?"
"Iya, besok pagi saya datang ke sini. Terima kasih banyak bu atas tawarannya. Saya harap ibu gak terganggu dengan saya."
"Nggak kok. Ibu seneng."
Tak bisa dijelaskan lagi bagaimana senangnya Arda kala itu. Dirinya tersenyum antusias mendengar kabar dari sang ibu.
"Apa kata gue bang, dia pasti mau."
"Alah .... gue tau maksud lo Ucup."
¤¤¤
Malam hari tiba, cahaya bintang mulai muncul. Reka belum kunjung pulang karena pekerjaannya yang sekarang ia geluti membuatnya harus terus pulang terlambat. Dan tentunya hal yang tidak biasa itu membuat Alista khawatir.
"Reka mana ya? Kok belum pulang sih jam segini?"
Alista terlihat menunggu di depan rumahnya, menatapi jalan menuju rumahnya yang masih sepi. Tak ada tanda-tanda Reka yang berjalan pulang. Beberapa menit kemudian, orang yang ditunggu Alista kini telah pulang. Dari sana, wajah Alista sudah memberikan aba-aba dengan menyimpan banyak pertanyaan kenapa Reka pulang terlambat akhir-akhir ini.
"Kak?" Reka tersenyum tak enak depan sang kakak.
"Dari mana? Kok malem banget? Bukannya kamu pulang kuliah siang? Kenapa gak telepon kakak?"
Mata Reka memencar gugup. Reka menarik kakaknya perlahan untuk masuk ke rumah. Ia dudukkan sang kakak dengan santai ke sofa. Reka mulai duduk di sebelahnya. Wajahnya sungguh membuat Alista kebingungan.
"Gini kak, Reka ... Reka kerja kak."
Mata Alista melebar sempurna sementara wajah Reka menyimpan banyak kecemasan dan rasa takut jika kakak perempuannya itu mungkin tak bisa mengizinkannya untuk bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
أدب المراهقينAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...