Beberapa piring sudah tertera di meja makan pagi itu. Detik itu pun, si Arda yang keras kepala, akhirnya turun juga untuk ikut sarapan bersama di lantai bawah. Perlahan, ia menatap sang ibu dengan mata penuh akan rasa salah. Begitu juga, sikap gugup yang ia tunjukkan di depan ibunya.
"Maafin Arda bu." Sepenggal kalimat maaf Arda lontarkan pada sang ibu dengan rasa gugup.
"Anak-anak ibu benar-benar udah dewasa. Gak harus ada kata maaf, ayo makan ah," sahut Bu Laras senyum.
Setelah melakukan sarapan beberapa menit, Arda meninggalkan meja lebih dulu dari yang lain.
"Bu, bang. Arda pergi ngampus dulu ya. First day soalnya. Gak mau telat nih," ucapnya dengan senyum sambil menyalami ibu dan kakaknya.
"Hati-hati nak."
Matahari terik berada tepat di atas kepala. Hawa panas semakin bertambah ketika Arda tengah berkumpul dengan teman-temannya di salah satu warung dengan menghisap beberapa rokok bersama.
Panji menghampiri, membawa segelas kopi di tangannya, "Gimana soal hadiah lo?"
Arda mengernyit mendengar pertanyaan Panji yang sekilas mengingatkannya lagi pada kejadian itu. Gara-gara sepatu, ia hampir saja bertengkar hebat dengan kakaknya. Arda berusaha untuk melupakan itu segera mungkin.
"Ah, jangan bahas, bete gue."
"Kenapa? Udah lah bro, masih banyak cewek cantik di luar sana. Cari aja yang seusia kita. Tia contohnya," tukas Panji sambil meledek dengan tawa kecilnya. Hal itu membuat yang lain pun ikut tertawa.
"Tia?" Arda membuang puntung rokok yang telah ia hisap sampai habis itu.
"Tia itu temen kecil gue. Gak ada sejarahnya gue suka sama temen sendiri. Lagi pula, dia bukan tipe gue. Gayanya aja sama kayak gue," jawab Arda menimpali ucapan Panji dengan terkekeh.
Tia yang baru saja datang langsung menguping pembicaraan mereka, dan mendengar seluruh perkataan yang Arda lontarkan tentangnya. Tangannya bergetar kaget. Bola matanya memutar dengan heran. Ingin menghampiri mereka, ia malah jatuh canggung karena ucapan Arda. Wajahnya terlihat begitu tidak seceria saat ia hendak menghampiri mereka. Jujur saja, perkataan Arda saat itu memang telah menyakiti hatinya.
Tia mulai menangis lagi. Tentu saja, di kamarnya yang selalu menjadi saksi bisu ketika ia tersakiti sendiri oleh perasaannya. Perasaan yang ia sematkan pada Arda malah membuatnya semakin dalam tersakiti.
"Arda bener. Gue bukan cewek sempurna. Gue gak cantik, gue gak baik, gue bahkan gak bisa berpenampilan layaknya cewek cewek lain, hikss..." gumamnya seraya menangis.
Ya, Arda bahkan tak pernah bisa melihatnya walaupun dengan satu menit. Rasa sakit yang dipendam, akan selalu menjadi kesakitan yang mendalam bagi Tia. Menahan cinta dan sakit di waktu yang bersamaan. Sungguh, itu sulit dirasakan saat ini baginya.
"Ngomong-ngomong si Tia kemana? Kok belum dateng? Gladis juga." Mata Arda memencar mencari dua gadis temannya yang belum kunjung datang menghampiri mereka.
"Gak tau tuh. Kayaknya sih kelas si Tia udah kelar deh siang ini. Gue chat Tia deh," ucap Hendri.
"Bro, Tia gak bisa dateng, dia sakit katanya," tambah Hendri setelah melihat balasan Tia di laman chatnya.
"Sakit? Sakit apa? Paling juga tuh anak pura-pura," tukas Arda.
"Gak tau, biasa, perempuan punya siklus tersendiri mungkin, cabut yuk!"
••
Alista di rumah selalu memandangi foto orangtuanya. Ia terkenal anak yang manja pada Ayahnya. Setiap bulan Ayahnya selalu menyempatkan diri mengajaknya jalan-jalan, bertamasya dan juga belajar bersama. Ia begitu merindukan semuanya. Rasanya, kehidupannya saat ini sungguh terasa hampa tanpa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Подростковая литератураAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...