40' Kejujuran

1K 41 0
                                    

Setelah melakukan meeting besar, seluruh eksekutif perusahaan makan bersama di sebuah restoran. Mereka merayakan salah satu proyek yang secara resmi telah rampung dan akan di buka pekan mendatang. Semua itu adalah berkat kerjasama antara perusahaan dan perusahaan Haris yang berjalan begitu lancar. Mereka saling mengobrol satu sama lain. Sementara, Luna terus tersenyum pada Alan yang telah menyelesaikan makannya. Padahal yang lain masih terlihat menikmati jamuan mereka.

"Kak, kenapa sih? Kok keliatan cemas gitu?" tanya Luna.

"Kakak mau jemput Alista, karena dia punya waktu tambahan, kakak cemas dia belum telepon."

Luna melirik sinis ponsel yang Alan pegang. Hal itu sungguh menjengkelkannya. Padahal, Alan tengah merayakan kerjasama mereka. Dan ia terus menerus mencemaskan istrinya.

"Nanti juga Alista telepon kak. Sekarang kan kita lagi merayakan bisnis kita. Masa cuma kakak yang keliatan murung, kan gak enak dilihat yang lain. Dari pada gini terus, mending ayo ikut Luna, di sini kita bisa nonton penampilan chef langsung loh kak. Ayo!" Luna menggandeng Alan dengan paksa menuju sebuah tempat dimana mereka bisa melihat langsung penampilan chef yang tengah memasak. Dan penampilan itu yang membuat restoran itu pun memang terkenal.

Alan terlihat heran begitu kesal. Ia melepaskan Luna perlahan dan menikmati penampilan chef itu dengan diam. Acara yang begitu seru membuat gaduh seisi restoran. Hal itu pula membuat Alan tak fokus lagi dengan ponselnya.

"Mereka keliatan akrab banget sih? Lo sadar gak? Dari kemarin mereka lengket terus?" tanya salah satu karyawan melihat kebersamaan Alan dan Luna yang memang sepertinya di luar batas hubungan bisnis.

"Ah gak tau. Gak mau bikin gosip gue. Ayo pergi!"

Sementara di luar sana, Alista tengah cemas menunggu Alan yang tak kunjung datang menjemputnya. Bahkan ia sudah berdiri satu jam lamanya. Arlojinya tak henti ia lihat. Dan ponsel terus ia dekatkan pada telinga berharap Alan akan menyambut. Panggilannya yang tak kunjung disambut oleh Alan, membuat Alista merasa jengkel. Padahal ia sudah bilang lewat chat jadwal pulangnya.

"Ke mana sih Alan? Katanya mau jemput."

Kakinya mulai lemas untuk berdiri. Tak ada kursi dan ia hanya menunggu di badan jalan saat itu.

Seorang lelaki membanting stirnya menepi pada sisi jalan. Matanya memicing heran melihat seorang perempuan berdiri di sana. Ya, itu Arda. Ia lantas menghampiri kakak iparnya itu segera.

"Alista, belum pulang?" batin Arda.

"Kak Alis? Kok belum pulang?" teriak Arda sambil membuka pintu mobilnya untuk keluar.

"Eh kamu? Dari mana kamu?"

"Kebetulan lewat. Bang Alan mana? Kok belum jemput?"

"Kakak gak tau Da, mungkin sibuk."

"Ya udah ayo naik, pulang sama Arda aja."

***

Seorang laki-laki berlari cemas menuju sebuah gedung. Matanya memencar mencari seseorang. Alista yang ia cari pun tak kunjung ditemuinya. Dan saat itu pun, kelas Alista sudah kosong terlihat. Hal itu mencemaskan Alan, sekaligus merasa bersalah ketika membayangkan sang istri pasti telah pulang sendirian.

Beberapa menit perjalanan, Alan menapaki rumahnya. Wajahnya pun penuh kecemasan mendalam.

"Dari mana lo bang? Istri sendiri dibiarin nunggu berjam-jam." Arda menghadangnya.

"Mana Alista?" tanyanya cemas.

"Lagi ngompres kakinya. Dia kram karena terus berdiri nungguin lo. Sebenarnya lo ngapain aja sih bang? Pak Beni bilang, pertemuan udah kelar beberapa jam yang lalu."

ALISTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang