Arda di kamar mulai ada kesibukan. Kali ini, ia sibuk untuk belajar bisnis. Walapun ia sempat menyangkal kalau tidak mempunyai basic bisnis, kali ini ia serius untuk mempelajarinya. Bukan tanpa alasan Arda mulai melakukan itu. Ia pun mulai mementingkan keluarganya yang sudah sangat setia mendampinginya sejak kecil. Walaupun Arda tahu, ia tak akan bisa membalas jasa Bu Laras sampai kapan pun.
"Gue janji, gue akan penuhin keinginan ayah dulu. Gue bakalan bantuin bang Alan buat majuin perusahaan," gumam Arda.
Ponselnya bergetar, ada sebuah chat masuk ke ponselnya.
"Arda, balikin baju gue."
"Ya elah, cuma baju satu ditanyain. Heran gue nih anak, hidupnya rapih banget, sedangkan gue, entah baju gue pada ke mana," gumam Arda.
Siang hari terik, Arda dan Reka bertemu di sebuah Cafe outdoor.
"Nih baju lo. Thanks."
"Gimana keadaan Alista?"
"Alista baik," ucap Arda seraya meminum secangkir kopi di tangannya. Mereka berdiri di pinggir kolam ikan hias cafe seraya berbincang ringan.
"Bukannya gue gak percaya sama Bang Alan, tolong bantu abang lo buat jagain kakak gue. Gue cemas karena dia jauh dari gue."
"Lo tenang aja, abang gue bakalan jagain Alista dengan baik. Oh iya, gue mau nanya satu hal sama lo," ucap Arda.
"Kalau menyangkut hal yang gak penting gue mau pergi ada urusan."
"Gak jadi deh, gue ... gue cabut dulu kalau gitu."
"Dih gak jelas."
"Kalau gue nanya soal cewek ke dia juga percuma, dia kan perfect man, merasa minder gue sama dia. Muka imut, attitude bagus, otak mulus, ih gue malah merinding kalau liat dia. Malu-maluin aja lo Arda, kira-kira apa ya yang disukain Tia?" gumamnya.
Sibuk bekerja Reka dikejutkan lagi dengan kehadiran Vio, teman Sekolah Dasarnya. Kali ini Vio benar-benar terlihat rapih dari biasanya. Ia tiba-tiba menarik paksa tangan Reka untuk keluar resto. Hal itu mengejutkan Reka.
"Vio, lo apa-apaan?"
"Gue udah izin sama manager juga supervisor lo, jadi ... so what kita pergi, tolong temenin gue hari ini aja, gue mau keliling museum artefak sama lo. Temenin ya ya ... gue mau kerjain tugas kampus gue nih. Lo kan pinter, bantuin gue ya?" Vio merengek meminta Reka, membuat Nana penasaran dengan apa yang mereka bicarakan saat itu.
Reka izin seharian untuk menemani Vio melakukan observasi untuk tugas kuliahnya. Reka dikenal dengan pemilik IQ yang cukup tinggi, karena itulah dia disegani banyak temannya. Terlebih lagi, Reka adalah orang yang bisa membantu mereka untuk belajar.
"Apa? Kak Reka izin buat nemenin temennya ke museum artefak?" tanya Nana.
"Iya, gue denger sih gitu. Lo tau Vio kan, temen SD nya itu yang sering ke sini. Kayaknya dia makin lengket aja sama Reka," jawab Tomi.
"Gak bisa dibiarin."
"Apa lo bilang?"
"Eh nggak kok. Bang Tomi, Nana mau izin ke manager ada urusan, tolong pegang ini ya." Nana memberikan kain lap pada Tomi dan bergegas pergi untuk bisa menyusul Reka juga Vio. Ya, Nana lagi-lagi melakukan hal yang seharusnya tidak ia lakukan saat itu. Kekhawatiran Reka akan bersama gadis lain membuat Nana merasa gila karena penasaran bersambung takut. Padahal dirinya pun belum tentu Reka anggap.
Ditengah observasi Vio, Reka sudah merasa ada yang mengikutinya. Nana menyamar menggunakan kacamata dan mulai mengawasi mereka dari kejauhan. Senyuman Vio dan juga tawanya yang keluar di depan Reka yang juga tersenyum, membuatnya sungguh patah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Teen FictionAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...