14' Terlibat

1.3K 64 0
                                    

Alista menatapi sebuah catatan yang terlihat beberapa angka ia lingkari dengan tinta berwarna merah. Ia tahu, hari itu sudah saatnya ia harus membayar hutang pada Alan. Kebutuhan keluarga, berhenti menjadi dosen, kuliah Reka. Semua telah membuatnya akhir-akhir ini berpikir dengan tekun. Dan kali ini, ia telah berurusan dengan sang majikan. Rasa malu dan tidak enak sudah ia rasakan sejak saat itu. Alista membuat janji untuk bertemu dengan kakak dari muridnya.

"Alan, saya ... saya belum ...."

"Saya tau kamu belum punya uang kan, gurunya Arda?"

Alan sangat menghormati Alista sebagai guru Arda. Karena itu, ia selalu menggunakan bahasa formal pada Alista. Alan tahu, wanita seperti Alista adalah tipikal wanita yang sudah pasti bijaksana.

"Tapi tapi, nanti sore saya ..."

"Ikut saya." Alan menarik paksa tangan Alista untuk memasuki mobilnya. Hal itu membuat Alista seketika melebarkan matanya terkejut.

"Alan? Apa-apaan kamu? Mau ke mana ini? Saya harus pulang." Dahi Alista mengerut kesal karena paksaan Alan membuatnya terganggu. Sangat sangat terganggu.

"Ini cara bayar hutang kamu gurunya Arda."

"Kenapa kamu ngajak saya ke sini? Saya gak suka paksaan seperti ini."

Gedung bioskop telah menjadi saksi ketika Alan untuk pertama kalinya membawa Alista ke sana. Untuk pertama kalinya juga Alan membawa gadis selain Luna untuk pergi bersamanya. Alista terus tertunduk malu ketika orang-orang memperhatikan mereka yang terus beradu argumen.

"Karena kamu belum punya uang, sebagai gantinya kamu temenin saya nonton film. Saya akan anggap satu hari ini seratus ribu? Gimana?"

"Alan. Saya masih mampu bayar hutang saya. Tapi bukan seperti ini caranya."

"Saya udah berusaha membantu meringankan hutang kamu. Kita udah sampe sini, dan kamu mau pergi?"

Alista terus menatapi sekitaran karena orang-orang sudah menatapinya sedari tadi ketika Alan berkata layaknya memohon padanya. Hal itu sungguh memalukan bagi Alista sendiri.

"Oke oke dua ratus ribu deh? Gimana? Mau gak? Lumayan, itung-itung menghemat lah."

"Cuma duduk doang gue bisa bayar hutang. Syukurdeh kalau dia gak minta yang aneh-aneh," batin Alista. Ia lantas terduduk perlahan di kursi yang telah tersedia.

Alan tersenyum melihat Alista menikmati filmnya. Setelah itu, mereka berjalan di sekitar taman. Taman itu penuh dengan anak kecil yang sedang bermain di taman yang penuh dengan permainan anak-anak. Taman bermain itu membuat Alan serasa tertarik ingin juga mencoba apa yang anak kecil itu coba. Dari mulai menaiki ayunan. Bermain jungkat-jungkit bersama anak-anak lain, juga menghibur anak-anak yang sedang melompat kegirangan di trampolin.

Alista sungguh pada hari itu. Rasanya ia hidup dalam dunia mimpi. Ia bahkan tak pernah membayangkan jika hari itu akan terjadi pada kehidupannya. Ia menatapi Alan dengan lama yang sedang bermain bersama anak-anak di ujung sana. Ia tersadar kalau mereka bukanlah teman yang saling mengenal.

"Ada apa semua ini? Kenapa gue masuk ke kehidupan orang asing begini? Apa gue lagi mimpi, ini bukan gue banget," batin Alista.

Alan kembali ke tempat dimana Alista terus berdiri menatapi dan menunggunya setelah menghibur para anak kecil di taman.

"Sorry ya. Saya suka sama anak kecil. Rasanya, liat mereka main, saya pengin ikut main. Maaf, sikap saya sudah kelewat batas."

Alista mengalihkan pandangan melamunnya. Ia berusaha menunjukkan sisi datarnya lagi depan Alan, walaupun sebelumnya ia terus tersenyum ketika menonton film di bioskop.

"Kamu sudah dewasa. Seharusnya, lebih tau mana yang harus dilakukan, dan tidak harus dilakukan."

"Jadi dewasa itu gak ada batasan buat ngelakuin suatu hal. Jadi, selagi masih sehat, kamu bisa ngelakuin apapun yang kamu sukai. Terkadang, jadi dewasa itu sibuk dan membosankan. Cuma bikin pusing." Alan meneruskan langkahnya sambil tersenyum.

Sementara, Alista masih bingung kenapa hari itu ia bisa bersama dengan Alan seharian hanya karena hutang. Padahal, Alista tak mengharapkan untuk bisa mengenal siapa pun orang yang menyangkut murid-muridnya. Rasa takut diperhatikan masih membekas pada diri Alista yang kini telah kehilangan pekerjaannya karena mahasiswa-mahasiswa itu. Semua itu, terus membuat Alista menarik diri untuk kenal dengan laki-laki manapun. Karena jika ia mengenal perasaan dan laki-laki, dia akan kehilangan segalanya. Walaupun begitu, Alista tahu, Alan bukanlah laki-laki berbahaya. Ia malah membantunya keluar dari kesulitan. Dan peristiwa itulah yang Alista tak mengerti sampai saat ini ia bisa mengenal Alan sejauh itu.

"Sekarang gue tau, buat orang bahagia itu ternyata menyenangkan. Melihat orang lain tertawa itu indah. Melihat orang lain tersenyum itu, bisa buat lo bahagia," batin Alan seraya menatap penuh Alista yang melangkah fokus di sampingnya. Alista membalas pandangan Alan, dan laki-laki itu hanya membuang pandangannnya seketika.

"Alan, saya udah nemenin kamu seharian ini. Saya minta, hutang saya dipotong tiga ratus ribu karena kamu udah memaksa saya untuk pergi."

"Sial. Tadi dia sok jual mahal. Tapi sekarang minta hutangnya dipotong lagi," batin Alan.

"Oke oke saya potong tiga ratus ribu. Tapi kalau kamu gak bisa bayar lagi, saya bakal lakuin hal seperti ini lagi. Setuju?"

"Tergantung situasi."

"Nemenin orang gabut selagi dia gak ngapa-ngapain gue, kenapa gak mau coba?" batinnya.

Dari situ Alan belajar, di antara sekian banyak orang yang bersedih, di sisi lain membuat kebahagiaan itu lebih mudah. Alan terus memikirkan satu harinya bersama Alista. Ia bahkan tersenyum sendiri.

"Woy bang." Arda merusak lamunannya.

"Apaan sih lo, bikin kaget aja."

"Ngapa lo senyum-senyum gitu? Abis ngedate sama kambing? Hahaha."

"Heh, gue iket mulut lo, baru tau rasa."

"Slow aja kali bang. Bang, menurut lo Alista itu orangnya gimana?" tanya Arda, seketika Alan bangkit dari tidurnya.

"Apa lo bilang? Alista? Ngapain lo nanyain dia?"

"Ya nggak, gue pengin tau aja." Arda blushing sendiri.

"Jangan bilang lo suka sama dia. Ahahaha heh Ucup, benerin dulu tuh celana lo, baru lo jatuh cinta."

"Heh bang, gue jadi males, gue nyesel ke sini. Males ngomong sama jomblo. Hati-hati bang, orang yang kelamaan jomblo biasanya disukain sama jin," sahut Arda seraya menimpahkan bantal pada Alan.

"Anjir lo, jangan bikin gue parno dah."

***

Sebuah foto berisikan kedua insan tengah tersenyum bahagia. Kedua mata menatapnya sangat senang. Luna terus menatap foto Alan bersama dirinya.

"Kak Alan, kenapa sih lo gak mau peka, kalau gue tuh sayang banget sama lo kak," gumamnya.

Ya, tak ada salahnya jika pertemanan mereka malah membuat Luna beranggapan lain tentang hal itu. Kedekatan mereka malah membuat Luna semakin nyaman dengan Alan walau mereka sebenarnya tak pernah saling menggoda. Luna sudah bersama Alan begitu lama. Menemaninya ketika bosan, ketika sedih, ataupun ketika bahagia, Alan serasa menjadi boyfriend material baginya saat ini.

ALISTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang