Alista berjalan menuju rumahnya dengan santai. Kepala ia tundukan menatapi kedua kakinya yang bersilang saat berjalan. Walaupun begitu, pikirannya bukan pada kedua kakinya melainkan suara Bu Laras yang mengiang dalam pikirannya ketika pembicaraannya dengan Arda.
"Ada apa sama gue ya? Kenapa lo kayak gini Lis? Please, jangan kayak gini," batinnya.
Alista berhenti di sebuah taman dekat rumahnya. Ia tertunduk seraya duduk di kursi taman yang begitu bersih. Ia tertunduk sejenak, menatap sepatu yang pernah Alan berikan padanya. Tak sadar, kakinya mulai gemetar tak bermaksud.
"Kenapa kaki gue gemeter gini sih, kok gak bisa digerakin? Rumah kan udah deket dari sini, aduh kaki lo kenapa sih?" gumam Alista sambil memukul-mukul lututnya. Matanya sendiri mulai sedikit berkaca tak bermaksud.
Sepiring makanan Reka suguhkan pada customer wanita yang sedari tadi menatapnya dengan heran.
"Reka, lo Reka kan?"
"Lo ... Viona! Iya Vio, lo Vio?"
"Iya gue Vio temen SD lo. Wah, gak nyangka bisa ketemu lo di sini ya Rey."
Mereka berbincang di teras cafe setelah jam kerja Reka selesai.
"Gimana kabar lo Rey?"
"Baik kok. Kalau lo?"
"Gue baik, lo beda sekarang. Lo kerja di sini?"
"Yang lo liat gimana? Lo tinggal di mana?"
"Gue? Semenjak gue ikut paman gue tinggal di Singapore, gue udah lupa tempat ini kayak apa, gue berencana buat kuliah di sini. Oh iya, lo kuliah atau kerja aja?"
"Gue kuliah di kampus Bahana. Kalau lo?"
"Gue kuliah di kampus Erlangga."
"Wah dapat Erlangga. Keren."
Viona Herista, biasa dipanggil Vio. Ia teman Reka sejak Sekolah Dasar. Ia perempuan yang cantik dan juga terlihat dewasa. Hobinya mendaki gunung. Vio tidak berpakaian feminim namun elegan terlihat. Sejak SD mereka memang akrab.
Mata Nana begitu terkejut ketika melihat Reka tertawa bersama perempuan. Iya, seorang perempuan. Pemandangan yang tak biasa Nana lihat tentunya.
"Kak Reka, bicara sama perempuan? Siapa dia?" batin Nana mengintip di balik meja kasir.
Reka terlihat sangat senang berbicara dengan Vio, karena Vio gadis pertama yang sempat disukainya dulu. Sejak kecil, mereka menjadi teman baik dan hanya Vio sahabat terawet yang Reka miliki. Dia seperti kakak juga teman baginya.
Perlakuan Reka yang selalu tersenyum di depan gadis itu membuat Nana cemburu. Ia langsung memasang wajah sendu dengan tangan terus mengelap meja kasir.
"Hati gue berkata gue gak akan pernah pantas untuknya. Dia terlalu tampan buat gue juga terlalu baik buat gue. Gue cuma seekor angsa hitam yang gak pernah akan menjadi putih. Gue seperti noda di bajunya yang selalu membandel dan susah untuk dibersihkan," batin Nana.
Di dapur, Nana terlihat murung hari itu. Ia selalu terbayang akan sosok Reka yang tersenyum di depan gadis cantik itu. Reka melihat gerak-gerik dari Nana yang tidak biasanya. Ia lesu terlihat. Padahal, Reka selalu melihatnya tampil energik walau ada sikap cari perhatian yang Nana tunjukkan padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALISTA
Teen FictionAlista harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kematian kedua orangtuanya. Ia harus menghidupi dirinya dan satu adik laki-lakinya. Beberapa pekerjaan ia lakukan dengan keras termasuk menjadi guru privat anak orang tajir. Sebuah masalah timbul...