33' Happines

1K 48 0
                                    

Mereka sampai di rumah masing-masing. Bu Laras sangat senang melihat putranya sangat terlihat bahagia saat itu. Tugas ke Amerika pun telah diambil alih oleh Gunawan, sepupu Alan yang berasal dari keluarga besar mereka. Kini, Alan telah bebas memikirkan perasaannya.

Alan pergi melangkah ke kamar Arda.

"Ngapain lo?"

"Kenapa?" tanya balik Arda.

Alan langsung memeluk adiknya itu dan membuatnya risih.

"Lo emang adek gue yang paling baik, makasih makasih makasih." Alan memeluk erat Arda sampai adiknya merasa sesak.

"Bang ... emm .... lepas ih. Jijik tau gak gue. Gue tau gue ini gentle gak kayak lo."

"Masih berani lo bilang gitu depan abang lo." Alan menjitak kepala Arda.

"Ya, gue bisa liat senyum bang Alan sekarang," batin Arda menatap Alan dengan penuh rasa senang.

Sementara Alista pulang dengan wajah datar. Ia sungguh membuat panik Reka yang menyambutnya.

"Kakak kenapa?"

Alista langsung memeluk adiknya itu.

"Dia itu keterlaluan Rey, buat kakak selalu ngerasa kayak gini." Ia tersenyum sendu dipelukan adiknya.

"Maksud kakak, bang Alan?"

"Kamu kok tau?"

"Tau lah. Nih pesan masuk dari bang Alan, hp kakak tadi ketinggalan. Masih muda udah pikun." Reka terkekeh geli.

"Reka!" Alista mengambil paksa ponselnya dari tangan Reka.

"Reka bahagia kok, kalau kakak bahagia. Reka sekarang udah lega, bisa liat senyum kakak lagi." Ucapan Reka membuat Alista tersenyum malu.

"Ciye malu malu ciye."

"Apaan sih, mau dipukul?"

"Hehe iya iya nggak."

*
*
*

Dua bulan berlalu, dan Alista kini mulai menjalani pendidikan S2 untuk mendaftar pendidikan Advokat. Ia diterima karena nilai ilmunya lebih tinggi dari pada yang lain, walaupun dalam tanda kutip ia baru menjalani S2-nya. Mimpinya sedikit demi sedikit bisa tercapai menjadi seorang pengacara bijak dambaan Ayahnya dulu.

"Selamat ya kak."

"Makasih." Senyum Alista.

Terdengar dering ponsel Alista.

Alan menelponnya, dan mereka bertemu di sebuah restoran mewah.

"Alan ... kamu ngapain minta ketemu di sini?" tanya Alista seraya matanya memencar ke sekitaran.

"Sekali-kali saya mau ngajak kamu ke tempat kayak gini, ini belum seberapa sih menurut saya. Tapi kamu suka kan?"

"Ini lebih dari bagus Alan, tapi ini semua gak cocok buat saya. Saya aja berpakaian kayak gini, soalnya habis ikut pendidikan Advokat."

"Kamu serius mau jadi pengacara?"

"Iya, dulu waktu saya kecil ... saya sering banget dapet cacian dari orang, gadis pemimpi lah, gadis aneh lah, apapun lah, karena dulu Ayah saya cuma pekerja buruh. Katanya anak pekerja buruh kayak saya gak bisa dapetin apa yang dia mau. Tapi Ayah gak pernah buat saya sedih, gak buat saya patah semangat, beliau selalu support apa yang saya mau, dan sekarang saya mau lanjutin keinginan ayah, buat jadi pengacara." Ucapan Alista membuat Alan semakin bangga padanya.

Alan menatap penuh wajah Alista dengan tangannya yang kekar menopang dagunya dan membuat Alista salah tingkah.

"Kamu .... kamu ngapain ngeliatin saya kayak gitu?"

ALISTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang